Oleh: Ustadh DR Muhammad Arifin Baderi, MA
Editor:
Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Diantara
bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam,
yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan
dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu,
dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada
unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-untungan).
Pembeli (biasanya) mendapatkan
keuntungan berupa:
1. Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2.
Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila
dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan
yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
1. Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna menghindari riba. Dan mungkin ini merupakan salah satu hikmah disebutkannya syari’at jual-beli salam seusai larangan memakan riba. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara
tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Al Baqarah
282)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
berkata:
أشهد أن السلف
المضمون إلى أجل مسمى قد أحله الله في الكتاب وأذن فيه، قال الله عز وجل يا أيها
الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه الآية.
“Saya
bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan
telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur’an , Allah Ta’ala berfirman
(artinya): “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Riwayat As Syafi’i, At Thobary,
Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan oleh Al Albany
dinyatakan sebagai hadits shohih.)
Diantara dalil yang menguatkan penafsiran
sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas ialah akhir dari ayat tersebut
yang berbunyi:
وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيرًا أَو كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا
بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا
“Janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
pembayarannya.Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu.
(Tulislah mu’amalah itu) kecuali bila mu’amalah itu berupa perdagangan tunai
yang kamu jalankan diantara kamu, maka tiada dosa atasmu bila kamu tidak
menulisnya.” (Al Baqarah 282)
Dengan demikian, ayat diatas merupakan dalil
disyari’atkannya jual-beli salam. Diantara dalil disyari’atkannya salam ialah
hadits berikut:
عن ابن عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قال: قَدِمَ النبي صلى الله عليه
وسلم الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ.
فقال: (من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى
أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu Abbas radhiallhu ‘anhuma,
ia berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah,
sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua
tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda: “Barang siapa yang memesan sesuatu,
maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua
belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah
pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih).
Berdasarkan
dalil di atas dan juga lainnya, para ulama’ telah menyepakati akan
disyari’atkanya jual-beli salam. Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami
dari hadits di atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan (persyaratan)
yang harus diindahkan. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk
mewujudkan maksud dan hikmah dari disyari’atkannya salam, serta menjauhkan akad
salam dari unsur riba dan ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat
merugikan salah satu pihak.
Pertama: Pembayaran Dilakukan Di
Muka (kontan).
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya,
yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya
mendahulukan, maka para ulama’ telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as
salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang
atau ditunda.
Adapun bila pembayaran ditunda (dihutang)
sebagaimana yang sering terjadi, yaitu dengan memesan barang dengan tempo satu
tahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan membayar dengan menggunakan cek atau
bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan ayang akan
datang, maka akad seperti ini terlarang dan haram hukumnya. Hal ini berdasarkan
hadits berikut:
عن بن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الكالئ بالكالئ. رواه الدارقطني والحاكم والبيهقي وضعَّفه غير واحد من أهل العلم، منهم الشافعي وأحمد وأقرهما الألباني.
“Dari
sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang jual-beli piutang dengan piutang.” Riwayat Ad Daraquthny, Al Hakim dan Al
Baihaqy dan hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama’ diantaranya Imam As
Syafi’i, Ahmad, dan disetujui oleh Al Albany.
Walau demikian halnya, banyak ulama’ yang
menyatakan bahwa kesepakatan ulama’ telah bulat untuk melarang jual-beli
piutang dengan piutang.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak ada
satu haditspun yang shahih tentang hal ini (larangan menjual piutang dengan
piutang-pen), akan tetapi kesepakatan ulama’ telah bulat bahwa tidak boleh
memperjual-belikan piutang dengan piutang.”
Ungkapan senada juga diutarakan oleh Ibnul
Munzir.(1)
Ibnul Qayyim berkata: “Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan
kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang
tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as
Salam; dikarenakan adanya pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda,
maka termasuk ke dalam penjualan piutang dengan piutang, bahkan itulah sebanarnya
penjualan piutang dengan piutang, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek
untung-untungan.”(2)
Kedua : Dilakukan Pada
Barang-barang Yang Memiliki Kriteria Jelas.
Telah diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan kriteria
tertentu dan pembayaran dimuka. Maka menjadi suatu keharusan apabila barang
yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria.
Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh
kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka
berdua. Dengan demikian, ketika jatuh tempo,–diharapkan- tidak terjadi
percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud.
Adapun barang-barang yang tidak dapat
ditentukan kriterianya, misalnya: kulit binatang,(3) sayur mayur dll, maka
tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena itu termasuk jual-beli
ghoror (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut
(أنَّ النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر) رواه مسلم
“Bahwasannya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan.” Riwayat Muslim.
Ketiga : Penyebutan Kriteria
Barang Pada Saat Akad Dilangsungkan.
Dari hadits di atas, dapat dipahami pula
bahwa pada akad salam, penjual dan pembeli berkewajiban untuk menyepakati
kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala hal
yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta
setiap kriteria yang diinginkan dan dapat mempengaruhi harga barang.
Sebagai contoh: Bila A hendak memesan beras
kepada B, maka A berkewajiban untuk menyebutkan, jenis beras yang dimaksud,
tahun panen, mutu beras, daerah asal serta jumlah barang.
Masing-masing kriteria ini mempengaruhi harga beras, karena –sebagaimana diketahui bersama- harga beras akan berbeda sesuai dengan perbedaan jenisnya, misalnya: beras rojo lele lebih mahal dibanding dengan beras IR.
Sebagaimana beras hasil panen 5 tahun lalu
–biasanya- lebih murah bila dibanding dengan beras hasil panen tahun ini. Beras
grade 1 lebih mahal dari grade 2, dan beras yang dihasilkan di daerah Cianjur,
lebih mahal dari beras hasil daerah lainnya.
Adapun
jumlah barang, maka pasti mempengaruhi harga beras, sebab beras 1 ton sudah
barang tentu lebih mahal bila dibandingkan dengan beras 1 kwintal dari jenis
yang sama. Oleh karena itu Rasulullah bersabda,
(من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ) . متفق عليه
“Barang siapa yang memesan sesuatu, maka
hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua
belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah
pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih).
Bila warna barang memiliki pengaruh pda harga
barang, maka warnapun harus disepakati kedua belah pihak. Misalnya kendaraan,
harganya selain dipengaruhi oleh hal-hal diatas, juga dipengaruhi oleh
warnanya. Kendaraan berwarna putih lebih murah dibanding dengan yang berwarna
metalik atau yang serupa. Karenanya, bila seseorang memesan kendaraan ia harus
menentukan warna kendaraan yang diinginkan.
Setelah kriteria barang yang diperlukan telah
disepakati, maka kelak ketika telah jatuh tempo, ada beberapa kemungkinan yang
terjadi:
A. Kemungkinan Pertama : Penjual berhasil mendatangkan barang sesuai kriteria yang dinginkan, maka pembeli harus menerimanya, dan tidak berhak untuk membatalkan akad penjualan, kecuali atas persetujuan penjual.
Rasulullah SAW bersabda:
(المسلمون على شروطهم) رواه أحمد والبيهقي وغيرهما وصححه الألباني
“Kaum
muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan mereka.” Riwayat Ahmad, Al Baihaqy dan lainnya, dan
oleh Al Albani hadits ini dinyatakan sebagai hadits shahih.
B. Kemungkinan Kedua: Penjual hanya berhasil mendatangkan
barang yang kriterianya lebih rendah, maka pembeli berhak untuk membatalkan
pesanannya dan mengambil kembali uang pembayaran yang telah ia serahkan kepada
penjual.
Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk menunda atau membuat perjanjian baru
dengan penjual, baik yang berkenaan dengan kriteria barang atau harga barang
dan hal lainnya yang berkenaan dengan akad tersebut, atau menerima barang yang
telah didatangkan oleh penjual, walaupun kriterianya lebih rendah, dan
memaafkan penjual atau dengan membuat akad jual-beli baru.
Sikap apapun yang ditentukan oleh pemesan
pada keadaan seperti ini, maka ia tidak dicela karenanya. Walau demikian, ia
dianjurkan untuk memaafkan, yaitu dengan menerima barang yang telah didatangkan
penjual atau dengan memberikan tenggang waktu lagi, agar penjual dapat
mendatangkan barang yang sesuai dengan pesanan. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
(رَحِمَ الله رَجُلاً سَمْحاً إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا
اقْتَضَى) رواه البخاري.
“Dari
sahabat Jabir bin Abdillah semoga Allah meridhai keduanya, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semoga
Allah senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa berbuat mudah ketika ia
menjual, ketika membeli dan ketika menagih.” Riwayat Bukhary.
Selain dianjurkan untuk memaafkan, pemesan
juga disyari’atkan untuk tetap menampakkan budi dan perilaku luhur sebagai
seorang muslim sehingga tidak hanyut dalam amarah, dan bersikap kurang terpuji.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(من طلب حقا فليطلبه في عفاف واف أو غير واف) رواه الترمذي وابن ماجه
وابن حبان والحاكم
“Barang siapa yang menagih haknya, hendaknya
ia menagihnya dengan cara yang terhormat, baik ia berhasil mendapatkannya atau
tidak.” Riwayat At Tirmizy, Ibnu Majah,
Ibnu Hibban dan Al Hakim.(4)
C. Kemungkinan Ketiga : Penjual mendatangkan barang yang lebih bagus dari yang telah dipesan, dengan tanpa meminta tambahan bayaran, maka para ulama’ berselisih pendapat; apakah pemesan berkewajiban untuk menerimanya atau tidak? Sebagian ulama’ menyatakan, bahwa pemesan berkewajiban untuk menerima barang tersebut, dan ia tidak berhak untuk membatalkan pemesanannya. Mereka berdalih bahwa : Penjual telah memenuhi pesanannya tanpa ada sedikitpun kriteria yang terkurangi, dan bahkan ia telah berbuat baik kepada pemesan dengan mendatangkan barang yang lebih baik tanpa meminta tambahan uang.(5)
Sebagian ulama’ lainnya berpendapat: Bahwa
pemesan berhak untuk menolak barang yang didatangkan oleh penjual, apabila ia
menduga bahwa suatu saat penjual akan menyakiti perasaannya, yaitu dengan
mengungkit-ungkit kejadian tersebut dihadapan orang lain. Akan tetapi bila ia
yakin bahwa penjual tidak akan melakukan hal itu, maka ia wajib untuk menerima
barang tersebut. Hal ini karena penjual telah berbuat baik, dan setiap orang
yang berbuat baik tidak layak untuk dicela atau disusahkan:
مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ
“Tiada
jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.” (At Taubah 91).(6)
Pendapat kedua inilah yang lebih moderat dan
kuat, karena padanya tergabung seluruh dalil dan alasan yang ada pada
permasalahan ini, wallahu a’alam bis showab.
Keempat : Penentuan Tempo Penyerahan
Barang Pesanan.
Tidak aneh bila pada akad salam, kedua belah
pihak diwajibkan untuk mengadakan kesepakatan tentang tempo pengadaan barang
pesanan. Dan tempo yang disepakati –menurut kebanyakan ulama’- haruslah tempo
yang benar-benar mempengaruhi harga barang. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
“Hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih).
Sebagai contoh: Bila A memesan kepada B, 1
ton beras jenis cisedani, hasil panen tahun ini, dan mutu no 1, maka keduanya
harus menyepakati tempo/waktu penyediaan beras, dan tempo tersebut benar-benar
mempengaruhi harga beras, misalnya 2 atau 3 bulan.
Akan tetapi bila keduanya menyepakati tempo yang tidak berpengaruh pada harga
beras, misalnya : 1 atau 2 minggu atau kurang, atau bahkan tidak ada tempo sama
sekali, maka – menurut jumhur ulama’- akad mereka berdua tidak dibenarkan. Ini adalah pendapat jumhur ulama’,
mereka berdalil dengan teks hadits di atas:
(إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ) . متفق عليه
“Hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih).
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mensyaratkan agar pada akad salam ditentukan tempo yang disepakati oleh
kadua belah pihak.
Sebagaimana mereka juga berdalil dengan hikmah dan tujuan disyari’atkannya akad
salam, yaitu pemesan mendapatkan barang dengan harga yang murah, dan penjual
mendapatkan keuntungan dari usaha yang ia jalankan dengan dana dari pemesan
tersebut yang telah dibayarkan di muka. Oleh karenanya bila tempo yang
disepakati tidak memenuhi hikmah dari disyari’atkannya salam, maka tidak ada
manfaatnya akad salam yang dijalin.(7)
Pendapat kedua: Ulama’ mazhab Syafi’i tidak sependapat dengan
jumhur ulama’, mereka menyatakan bahwa penentuan tempo dalam akad salam
bukanlah persyaratan yang baku, sehingga dibenarkan bagi pemesan untuk memesan
barang dengan tanpa tenggang waktu yang mempengaruhi harga barang, atau bahkan
dengan tidak ada tenggang waktu sama-sekali. Mereka beralasan bahwa : bila
pemesanan barang yang pemenuhannya dilakukan setelah berlalu waktu cukup lama
dibenarkan, yang mungkin saja penjual tidak berhasil memenuhi pesanan, maka
pemesanan yang langsung dipenuhi seusai akad lebih layak untuk dibenarkan.(8)
Bila kita cermati kedua pendapat di atas,
maka kita dapatkan pendapat kedualah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan
alasan-alasan berikut:
1. Hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada permasalahan kita ini, tidak ada satu dalilpun yang nyata-nyata melarang akad salam yang tidak mengandung tenggang waktu pada proses penyerahan barang pesanan.
1. Berdasarkan alasan di atas, sebagian ulama’ menyatakan bahwa selama suatu akad dapat ditafsiri dengan suatu penafsiran yang benar, maka penafsiran itulah yang semestinya dijadikan sebagai dasar penilaian.
2. Adapun hadits di atas, maka tidak tegas dalam pensyaratan tempo, sebagaimana hadits ini dapat ditafsirkan: “bila kalian memesan hingga tempo tertentu, maka tempo tersebut haruslah diketahui/disepakati oleh kedua belah pihak”. Penafsiran ini nampak kuat bila kita kaitkan dengan hal lain yang disebutkan pada hadits di atas, yaitu timbangan dan takaran. Para ulama’ telah sepakat bahwa timbangan dan takaran tidak wajib ada pada setiap akad salam. Timbangan dan takaran wajib diketahui bersama bila akad salam dijalin pada barang-barang yang membutuhkan kepada takaran atau timbangan. Adapun pada barang yang penentuan jumlahnya dilakukan dengan menentukan hitungan, misalnya, salam pada kendaraan, maka sudah barang tentu takaran dan timbangan tidak ada perlunya disebut-sebut. (9)
Setelah persyaratan tempo pengadaan barang ini disepakati oleh kedua belah pihak, maka ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi pada saat jatuh tempo:
A. Kemungkinan pertama: Pedagang berhasil mendatangkan barang pesanan
tepat pada tempo yang telah disepakati, maka pada keadaan ini, pemesan
berkewajiban untuk menerimanya.
B. Kemungkinan Kedua : Pedagang tidak dapat mendatangkan
barang pesanan, maka pemesan berhak menarik kembali uang pembayaran yang telah
ia serahkan atau memperbaharui perjanjian, dengan membuat tempo baru.(10)
C. Kemungkinan Ketiga : Pedagang mendatangkan barang sebelum tempo
yang telah disepakati. Pada keadaan ini apabila pemesan tidak memiliki alasan
untuk menolak barang yang ia pesan, maka ia diwajibkan untuk menerimanya. Hal
ini dikarenakan pedagang telah berbuat baik, yaitu dengan menyegerakan pesanan,
dan orang yang berbuat baik tidak layak untuk disalahkan:
مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ
“Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.” (At Taubah 91).
Adapun bila pemesan memiliki tujuan yang
dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati,
maka ia dibenarkan untuk menolaknya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
(لا ضَرَرَ ولا ضِرَار). رواه احمد وابن ماجة وحسنه الألباني.
“Tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan”. Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadits hasan.
Sebagai contoh: bila barang yang dipesan adalah,
buah-buahan, sehingga cepat rusak, padahal pemesan bermaksud menjualnya pada
tempo yang telah disepakati, karena pada saat itu harga buah tersebut lebih
mahal, atau banyak peminatnya, maka pemesan dibenarkan untuk tidak menerima
pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati.
Atau barang pesanannya membutuhkan gudang
yang luas, sedangkan saat itu gudang yang dimiliki oleh pemesan sedang penuh,
maka ia dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang
telah disepakati.
Kelima : Barang Pesanan
Tersedia Di Pasar Pada Saat Jatuh Tempo.
Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah
pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh
tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu
dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari’at
Islam.
Sebagai contoh: Bila seseorang memesan buah
musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: “barang harus diadakan
pada selain waktu musim buah durian dan mangga “, maka pemesanan seperti ini
tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur gharar (untung-untungan), akad
semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip
dasar perniagaan dalam islam ialah “memudahkan”, sebagaimana disebutkan pada
hadits berikut:
(لا ضَرَرَ ولا ضِرَار). رواه احمد وابن ماجة وحسنه الألباني.
“Tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan”. Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadits hasan.
Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya
barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan
dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan
menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang. Oleh
karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لا تحاسدوا ولا تناجشوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يبع بعضكم على بيع بعض وكونوا عباد الله إخوانا، المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره) متفق عليه
“Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah engkau saling hasad, janganlah saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), janganlah saling membenci, janganlah saling merencanakan kejelekan, janganlah sebagian dari kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya, tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, dan tidaklah ia membiarkannya dianiaya orang lain, dan tidaklah ia menghinanya.” Muttafaqun ‘alaih
Keenam : Barang Pesanan Adalah
Barang Yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha.
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin
adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun
pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki
kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari
ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain .
Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan
akad salam dari unsur ghoror (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika
jatuh tempo, pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang
dari ladangnya, atau dari perusahaannya.
Sebagai contoh: Bila seorang pedagang memesan
gabah kepada seorang petani dengan kriteria yang telah disepakati, maka pada
akad salam ini, petani tidak boleh dibatasi ruang kerjanya, yaitu dengan
menyatakan: gabah yang didatangkan harus dari hasil ladang miliknya sendiri.
Akan tetapi petani harus diberi kebebasan, sehingga ketika jatuh tempo, ia
berhak menyerahkan gabah dari hasil ladang sendiri atau dari hasil ladang orang
lain, yang telah ia beli terlebih dahulu .
Contoh lain: Seorang pedagang yang di tokonya
telah tersedia 100 bungkus semen, @ 50 kg, dari merek tertentu, tatkala anda
memesan 50 bungkus semen dari merek tersebut yang beratnya @ 50 kg, untuk tempo
4 bulan yang akan datang. Maka ketika anda membuat perjanjian salam dengannya,
anda berdua tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar semen yang diserahkan
kelak adalah dari ke 100 bungkus semen yang sekarang ini telah dimiliki oleh
pedagang. Karena mungkin saja semen yang serang telah ada ketika telah jatuh
tempo menjadi rusak, atau dicuri orang.
Persyaratan ini adalah pendapat jumhur
ulama’, sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa persyaratan ini tidak
diperlukan,(11) dengan alasan:
1. Hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang telah nyata-nyata
diharamkan dalam dalil.
2. Berdasarkan hukum asal di atas, sebagian ulama’ menyatakan: selama suatu akad dapat ditafsiri dengan suatu penafsiran yang benar, maka penafsiran itulah yang semestinya dijadikan sebagai dasar penilaian.
Oleh karena itu ulama’ yang berpendapat
dengan pendapat kedua ini menyatakan: bahwa akad pemesanan dari barang yang
telah ada dan terbatas jumlahnya, pada hakekatnya bukanlah akad
salam/pemesanan, akan tetapi akad jual beli biasa, hanya saja diiringi dengan
akad lain, yaitu penitipan barang dalam tempo waktu yang disepakati.
Dengan demikian, pada contoh kasus pemesanan
semen diatas, pemesan telah membeli 50 bungkus semen, ketika akad berlangsung,
dan sekaligus menitipkan semen yang telah ia beli kepada pemilik toko hingga
tempo 4 bulan.(12)
Permasalahan ini tercakup oleh kaedah fiqih
yang sangat masyhur, yaitu:
هَلْ العِبْرَةُ بِصِيَغِ العُقُودِ أَوْ بِمَعَانِيهَا ؟
“Apakah yang menjadi pedoman dalam menghukumi suatu akad adalah kata-kata yang diucapkan ketika menjalankan akad, atau maknanya?(13)
Bila demikian adanya, maka pendapat yang lebih kuat ialah pendapat kedua.(14)
Inilah persyaratan akad salam secara global,
dan yang –berdasarkan ilmu saya yang sempit- rajih dari berbagai persyaratan
yang disebutkan dalam berbagai bukuh fiqih.
Selanjutnya, di bawah ini beberapa fatwa Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyyah dan
Fatwa kerajaan Saudi Arabia yang berkaitan dengan berbagai transaksi salam:
A. Pertanyaan:
Apabila ada seseorang yang sedang
dalam kebutuhan, lalu ia mengambil dari orang lain sejumlah uang, dengan
perjanjian: penghutang akan membayarnya setelah beberapa lamanya dengan
beberapa sho’ gandum atau kurma. Dan perjanjian ini dilakukan sebelum gandum
dan kurma menua siap dipanen.?
Jawaban:
Bila penghutang berjanji untuk membayar piutang dengan sejumlah sho’ yang telah
disepakati, maka kasus ini tergolong ke dalam permasalahan salam. Dan salam
adalah salah satu bentuk transaksi jual-beli yang dibolehkan dengan beberapa
persyaratan, yaitu :
Pertama :
Dilakukan pada barang-barang yang dapat ditentukan kriterianya.
Kedua : Kedua
belah pihak menyepakati berbagai kriteria barang yang mempengaruhi harganya.
Ketiga : Hendaknya
jumlah barang ditentukan, baik dengan takaran pada komoditi yang ditakar, atau
dengan timbangan pada komoditi yang ditimbang, atau dengan meteran pada
komoditi yang dihitung panjangnya.(15)
Keempat :
Hendaknya pengadaan barang dilakukan setelah berlalunya tempo yang disepakati.
Kelima :
Hendaknya komoditi yang dipesan adalah komoditi yang banyak diperoleh pada saat
jatuh tempo.
Keenam : Hendaknya pembayaran dilakukan pada saat transaksi berlangsung.
Ketujuh : Hendaknya barang pesanan adalah barang yang pengadaannya dijamin oleh pengusaha, dan bukan barang yang telah ada.
Keenam : Hendaknya pembayaran dilakukan pada saat transaksi berlangsung.
Ketujuh : Hendaknya barang pesanan adalah barang yang pengadaannya dijamin oleh pengusaha, dan bukan barang yang telah ada.
Dasar dihalalkannya transaksi Salam dari Al
Qur’an adalah firman Allah Ta’ala berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai,
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Al Baqarah 282).
Ibnu Abbas berkata: “Saya bersaksi bahwa transaksi salaf
(salam) yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan
diizinkan Allah dalam Al Qur’an , kemudian beliau membaca ayat tersebut.
Diriwayatkan oleh Sa’id (bin Manshur-pen).
Dan diantara dalil dari As Sunnah ialah hadits
yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallallahu ‘anhuma bahwa tatkala
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota madinah, (beliau mendapatkan
penduduknya) memesan buah-buahan dalam tempo satu atau dua tahun, maka beliau
bersabda:
(من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى اجل معلوم) متفق
عليه
“Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah
takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang
telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui
(oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih).
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan
salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.(16)
B. Pertanyaan:
Seseorang memberikan sejumlah pinjaman uang kepada pengusaha lebah madu, dengan
perjanjian: ketika musim panen tiba, pemberi pinjaman berhak mengambil madu
yang ia suka seharga pinjaman tersebut. Dan kadang kala musim panen tiba,
sedangkan pengusaha lebah madu tidak mendapatkan madu sesuai kriteria pemberi
piutang, atau mungkin pengusaha lebah telah menjual lebahnya atau lebahnya
pergi. Apa hukum uang pinjaman tersebut? Berilah kami arahan, semoga Allah
membalas kebaikan anda.
Jawaban:
Transaksi jual beli yang disebutkan pada pertanyaan adalah salah satu bentuk
transaksi salam, hanya saja transaksi tersebut terlaksana dengan cara-cara yang
tidak dibenarkan, karena menyelisihi ketentuan akad salam. Yang demikian itu
karena salam adalah akad jual-beli terhadap sesuatu barang yang telah
ditentukan kriterianya dan dijamin pengadaanya oleh pengusaha, dengan disertai
persyaratan berikut:
– Penentuan kriterianya, dimulai dari jumlah takaran atau timbangan, atau
meteran, dan juga jenis serta segala kriteria yang mempengaruhi harganya.
– Adanya praduga kuat tentang kemampuan pengusaha untuk mengadakan barang
ketika jatuh tempo.
– Penentuan tempo pengadaan barang.
– Pembayaran sepenuhnya dilakukan dimuka, ketika akad berlangsung.
Sedangkan kasus yang disebutkan pada
pertanyaan, maka itu adalah transaksi terhadap suatu barang yang pengadaannya
tidak dijamin oleh pengusaha, dikarenakan ia memesan hanya dari hasil ladang
lebah yang telah dimiliki. Sebagaimana halnya mereka berdua belum menyepakati
jumlah madu dalam hitungan kilo yang dipesan, serta tidak menyebutkan tempo
penyerahan madu.
Tatkala Nabi tiba
di kota Madinah, beliau melarang akan hal itu, dengan alasan goror
(untung-untungan) yang ada padanya. Karena mungkin saja kebun tersebut terkena
musibah, sehingga tidak menghasilkan.rTransaksi ini serupa dengan transaksi yang
dahulu dilakukan oleh penduduk Madinah yang menerima pesanan kurma dari hasil
kebun mereka sendiri.
Ibnu Hajar dalam kitab (Fathul Bary 4/433)
berkata: “Ibnu Munzir menukilkan kesepakatan jumhur ulama’ yang melarang transaksi
salam pada ladang tertentu; karena itu adalah ghoror/untung-untungan”.
Oleh karenanya dinyatakan pada hadits Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma:
قَدِمَ النبي صلى الله عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ
بِالتَّمَارِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلاَثَ. فقال: (من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي
كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ) . متفق عليه
tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk
Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga
tahun, maka beliau bersabda: “Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya
ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak),
dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga
tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih).r“Ketika
Nabi
Berdasarkan itu, maka transaksi salam yang disebutkan pada pertanyaan tidak sah,
karena tidak memenuhi kebanyakan dari persyaratan salam. Dengan demikian,
transaknya tidak sempurna, dan wajib atas pengusaha (lebah) untuk mengembalikan
uang tersebut kepada pemesan.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.(17)
C. Pertanyaan:
Di Sudan ada seseorang yang biasa memanfaatkan perekonomian masyarakat (kaum
muslimin) yang susah, dengan membeli hasil panen mereka jauh-jauh hari sebelum
musim panen tiba, dengan harga yang sangat murah, dan ketika musim panen tiba,
ia benar-benar menerima seluruh hasil panen mereka. Menurut Syari’at, apa hukum
perbuatannya tersebut?
Jawaban :
Bila orang tersebut membeli dari para petani atau lainnya hasil panen ladang
mereka, dengan persyaratan yang sesuai dengan jual-beli salam, yaitu dengan
cara menyebutkan kriteria hasil ladang, dalam takaran atau timbangan yang telah
disepakati, serta pembayaran sepenuhnya dilakukan pada saat transaksi, tanpa
menentukan bahwa hasil ladang yang ia beli adalah hasil dari ladang tertentu,
maka transaksi ini dibolehkan, dan itulah transaksi salam yang disyari’atkan,
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى اجل معلوم) متفق
عليه
“Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah
takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang
telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui
(oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih).
Adapun bila orang tersebut membeli hasil
panen ladang tertentu sebelum masa tanaman menua dan siap panen, maka itu tidak
dibolehkan. Hal itu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita
untuk menjual buah-buahan hingga menua dan biji-bijian hingga mengeras .
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab
shohihnya dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu anhuma :
أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع النخل حتى يزهو، وعن
بيع السنبل حتى يبيض ويأمن العاهة، نهى البائع والمشتري) متفق عليه
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli kurma hingga
menua, dan jual-beli biji-bijian hingga memutih dan selamat dari bencana
(puso), beliau melarang penjual dan pembeli.”. Muttafaqun ‘alaih.
Tanda menuanya buah-buahan ialah dengan
berwarna merah atau kuning dan enak untuk dimakan.
Apabila ia membeli hasil ladang setelah
buah-buahan menua dan biji-bijian mengeras, maka itu adalah transaksi yang
dibolehkan, dan tidak mengapa.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.(18)
D. Pertanyaan :
Apa hukumnya menyewakan kebun kelapa? Maksudnya: Seseorang yang memiliki kebun
kelapa, kemudian ia menerima dari orang lain uang sebesar 1000 Peso, dengan
perjanjian: Buah kelapa kebun tersebut menjadi milik penyewa selama lima tahun
Apakah transaksi in dibolehkan dalam Islam atau tidak?
Jawaban:
“melarang dari jual-beli buah-buahan
hingga memerah atau menguning”,(19) dan telah tetap pula bahwa beliau “melarang
dari jual-beli biji-bijian hingga mengeras”.(20) Sebagaimana beliau juga
melarang dari “jual-beli al mu’awamah /tahunan”,(21) serta jual-beli as
sinin/tahunan”.(22)rTransaksi ini terlarang, dikarenakan padanya
terdapat unsur ketidak jelasan dan ghoror (untung-untungan). Yang demikian itu
karena mereka tidak dapat mengetahui seberapa banyak buah kelapa yang akan
dihasilkan oleh kebun tersebut selama lima tahun kedepan. Mungkin saja kebun
itu berbuah dan mungkin juga tidak berbuah, mungkin berbuah sedikit dan mungkin
juga berbuah banyak. Dan telah tetap bahwa Nabi
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.” (23)
E. Pertanyaan
Salah seorang masyarakat mendatangi seseorang yang kaya raya, untuk memesan
satu unit mobil. Pada saat itu disepakati jenis dan model mobil yang
diinginkan. Kemudian Orang tersebut menyerahkan sejumlah uang yang ia mampu
bayarkan, dengan perjanjian ia akan memberi keuntungan –misalnya- sebesar
sepuluh ribu atau lebih, sesuai dengan harga mobil di showroom. Setelah
kesepakatan itu orang kaya tersebut akan pergi ke showroom guna membeli mobil
dimaksud, kemudian ia menyerahkannya kepada pemesan. Pada gilirannya pemesan
melunasi sisa pembayaran dengan dicicil sesuai dengan perjanjian.
Jawaban:
Bila perjanjian jual-beli antara kedua belah pihak dengan harga dan mobil, dan
setelah keduanya menyepakati kriteria mobil tanpa menentukan barangnya, dan
sebelum pengusaha tersebut membeli mobil dimaksud. Bila demikian adanya, maka
itu termasuk akad salam tanpa ada tempo, dikarenakan pembayaran atau
sebagainnya terhutang, sehingga termasuk jual-beli piutang dengan piutang.
Disebabkan dengan disepakatinya akad jual-beli, maka mobil pembeli menjadi
terhutang oleh pengusaha, sebagaimana harga mobil terhutang oleh pemesan,
karena keduanya sama-sama belum menyelesaikan tanggungannya. Dan transaksi
semacam ini adalah terlarang.
Metode yang benar ialah: hendaknya kedua belah pihak tidak terlebih dahulu
membuat akad jual-beli, akan tetapi pengusaha membeli mobil dan membawanya
pulang terlebih dahulu. Setelahnya ia dibolehkan untuk menjual mobil tersebut
dengan harga yang mereka sepakati. Dengan pembayaran dicicil beberapa kali atau
dengan sekali pembayaran pada tempo tertentu. Metode ini disebut dengan
jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan itu dibolehkan.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.”(24)
Sumber: https://arifinbadri.com/324-jual-beli-salam-pemesanan-dengan-pembayaran-tunai.html
==========================
* Ust. Dr. Muhammad Arifin
Baderi, M.A, Jurusan Fikih dari Universitas Islam Madinah, Saudi
Arabia. Rektor sekaligus dosen pengajar di Sekolah Tinggi Dirasat
Islamiyah (STDI) Imam Syafi’i Jember serta dosen tamu untuk Program
Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pakar dalam fikih muamalah,
aktif mengisi berbagai seminar nasional, dan membina Komunitas Pengusaha Muslim
Indonesia (KPMI). Beliau menulis beberapa buku muamalah syar’i diantaranya
yang bertajuk “Sifat
Perniagaan Nabi“, “Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syariah“, dan “Ekonomi Syariah”.
Comments
Post a Comment