Akad Istishna’ (Pesan Pembuatan)
Oleh: Ustadh DR. Muhammad Arifin Baderi,
MA.
Editor: Ust.Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Akad istishna’ ialah
salah satu bentuk transaksi yang dibolehkan oleh para ulama’ sejak dahulu kala,
dan menjadi salah satu solusi islami tepat dalam dunia perniagaan di masa kini.
Akad Istishna’ ialah
akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu
barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu
barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara
keduanya. (Badai’i As shanaai’i oleh Al Kasaani 5/2 &Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu
Nujaim 6/185).
Hukum Akad Istishna’ :
Ulama’ fiqih sejak dahulu
telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam dua pendapat:
Pendapat pertama: Istishna’ ialah akad yang tidak
benar alias batil dalam syari’at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut
mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi . (Al Furu’
oleh Ibnu Muflih 4/18, Al Inshaf oleh Al Murdawi 4/300, Fathul Qadir
oleh Ibnul Humaam 7/114, & Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)
Ulama’ mazhab Hambali
melarang akad ini berdalilkan dengan Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu:
(لاَ
تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ)
“Janganlah engkau menjual
sesuatu yang tidak ada padamu.” (Riwayat
Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi’i, Ibnul Jarud,
Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem.)
Pada akad istishna’ pihak
ke-2 yaitu produsen telah menjual barang yang beluam ia miliki kepada pihak
pertama, tanpa mengindahkan persyaratan akad salam. Dengan demikian, akad ini
tercakup oleh larangan dalam hadits di atas. (Al Furu’ oleh Ibnu
Muflih 14/18 & Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.). Sebagaimana
mereka juga beralasan: Hakikat Istishna’ ialah menyewa jasa
produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati. (Fathul
Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114).
Pendapat kedua: Istishna’ adalah
salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila
memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan
salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam
mazhab Maliki & Syafi’i. (Mawahibul Jalil oleh Al Hatthab 4/514, Al
Muqaddmat Al Mumahhidaat 2/193, Al Muhazzab oleh As Syairozi 1/297, Raudhatut
Thalibin oleh An Nawawi 4/26.)
Ulama’ yang berfatwa dengan
pendapat kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad
salam. Bila demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua ini, maka dapat
disimpulkan bahwa bila pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan bahan baku, maka
berbagai persyaratan salam harus dipenuhi.
Akan tetapi bila pihak 1
(pemesan) mendatangkan bahan baku, maka yang terjadi adalah jual/sewa jasa dan
bukan salam, maka berbagai persyaratan pada akad sewa jasa harus dipenuhi,
diantaranya yang berkaitan dengan tempo pengkerjaan, dan jumlah upah.
Pendapat ketiga: Istishna’ adalah
akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan ulama’ penganut
mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama’ ahli fiqih zaman sekarang. (Al Mabsuth
oleh As Sarakhsi 12/138, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114, & Al
Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al Auraaq Al Maaliyah Baina As
Sayari’ah Al Islamiyyah wa An Nuzhum Al Wad’iyyah oleh Dr. Khursyid Asyraf
Iqbal 448).
Ulama’ mazhab Hanafi
berdalilkan dengan beberapa dallil berikut guna menguatkan pendapatnya:
Dalil pertama: Keumuman dalil yang
menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah Ta’ala:
] وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا[ البقرة: 275
“Padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Al Baqarah 275)
Berdasarkan ayat ini dan
lainnya para ulama’ menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal,
kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
عَنْ
أَنَسٍ t أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ r كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى
الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ
خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ. قَالَ كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى
بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Diriwayatkan dari sahabat
Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non Arab, lalu
dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non-Arab tidak sudi menerima
surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin
stempel dari bahan perak. Anas mengisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat
menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” Riwayat Muslim.
Perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna’ adalah
akad yang dibolehkan. Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115)
Dalil ketiga: Sebagian ulama’ menyatakan
bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut
konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang
dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat
atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
melarangnya. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138 & Fathul
Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115).
Dalil keempat: Para ulama’ di sepanjang
masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada ditengah umat Islam telah menggariskan
kaedah dalam segala hal selain ibadah:
الأصل
في الأشياء الإباحة، حتى يدل الدليل على التحريم
“Hukum asal dalam segala
hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya .”
Dalil kelima: Logika; banyak dari
masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang
spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang
dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa
perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini
tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah
barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak
mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. (Badai’i As shanaai’i oleh Al Kasaani
5/3)
Alasan ini selaras dengan
slah satu prinsip dasar agama Islam, yaitu taisir (memudahkan):
(إِنَّ
الدِّينَ يُسْرٌ) رواه البخاري
“Sesungguhnya agama itu
mudah.” Riwayat
Bukhari
Dalil keenam: Akad istishna’ dapat
mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur
riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak
merugikan kedua belalh pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa
mendapatkan keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang demikian ini adanya,
sudah sepantasnya untuk diizinkan dan tidak dilarang.
Berdasarkan pemaparan
singkat di atas, dapat anda saksikan bahwa pendapat ketiga lebih kuat, dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa akad istishna’ adalah akad yang
dibenarkan dalam syari’at islam.
Hakekat Akad istishna’:
Ulama’ mazhab Hanafi
berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna’, sebagian dari
mereka menganggapnya sebagai akad jual beli barang yang disertai dengan syarat
pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa
(ijarah). (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/139, & 15/84-85 &
Badai’i As shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3).
Sebagian lainnya
menganggapnya sebagai akad ijarah (jual jasa) pada awal
akad istishna’ dan setelah produsen selesai dari pekerjaannya
memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli.
(Fathul Qadir Ibnul Humam 7/116).
Menurut hemat saya,
pendapat pertamalah yang lebih selaras dengan fakta akad istishna’.
Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali
akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya membeli barang-barang
yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia mengolahnya terlebih dahulu
menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.
Beberapa persyaratan Akad
istishna’.
Dengan memahami hakekat
akad istishna’, kita dapat pahami bahwa akad istishna’ yang
dibolehkan oleh Ulama’ mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana
yang berlaku pada akad salam diantaranya:
- Penyebutan & penyepakatan Kriteria
Barang Pada Saat Akad Dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah
terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo
penyerahan barang yang dipesan.
- Tidak dibatasi waktu penyerahan
barang. Bila
ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara otomatis berubah
menjadi akad sala, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam,
demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah. Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu
Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat
bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya
berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu
kala dalam akad istishna’. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat
ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari’at. (Al Mabsuth oleh As
Sarakhsi 12/140 & Badai’i As shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3).
- Barang yang dipesan adalah barang yang
telah biasa dipesan dengan akad istishna’. Persyaratan ini
sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna’. Telah
dijelaskan di atas bahwa akad istishna’ dibolehkan
berdasarlkan tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala.
Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang
oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna’. Adapun
selainnya, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu (Badai’i As
shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3 ‘ Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm 7/115 & Al
Bahru Ar Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6//185).
Akan tetapi, dengan meruju’
dalil-dalil dibolehkannya akad istishna’ yang telah saya sebutkan di atas, maka
dengan sendirinya mempersyaratan hal ini adalah satu pendapat yang kurang kuat.
Betapa tidak, karena akad istishna’ bukan hanya berdasarkan
tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As
Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna’ pada
barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan sekema istishna’ saja.
Konsekwensi akad Istishna’.
Imam Abu Hanifah dan
kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad istishna’ ke dalam
jenis akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, sebelum barang diserahkan
keduanya berhak untuk mengundurkan diri akad istishna’; produsen
berhak menjual barang hasil produksinya kepada orang lain, sebagaimana pemesan
berhak untuk membatalkan pesanannya.
Sedangkan Abu Yusuf murid
Abu Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat dengan gurunya. Beliau menganggap
akad istishna’ sebagai salah satu akad yang mengikat. Dengan
demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang, dan produsen berhasil
membuatkan barang sesuai dengan pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk
mengundurkan diri dari pesanannya. Sebagaiman produsen tidak berhak
untukmenjual hasil p[roduksinya kepada orang lain. (Fathul Qadir oleh Ibnul
Humamm 7/116-117 & Al Bahru Ar Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6//186)
Menurut hemat saya,
pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua belah pihak telah
terikat janji dengan saudaranya. Bila demikian, maka keduanya
berkewajiban untuk memenuhi perjanjiannya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
(المُسْلِمُوْنَ
عَلَى شُرُوطِهِمْ) رواه أبو داود والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
“Kaum muslimin senantiasa
memenuhi persyaratan mereka.” Riwayat
Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al
Albany.
Kesimpulan.
Dari pemaparan singkat di atas,
dapat disimpulkan bahwa akad istishna’ ialah akad tersendiri, dan
tidak sama dengan akad salam. Dengan demikian, hukum keduanyapun berbeda. Dan
para ulama’ yang membahas kedua akad ini menyebutkan beberapa perbedaan, akan
tetapi menurut hemat saya perbedaan yang paling menonjol antara keduanya
terletak pada dua berikut:
1. Obyek akad keduanya; pada akad salam
yang menjadi objek adalah barang semata, tanpa ada proses pengolahan. Sedangkan
objek akad istishna’ ialah barang dan jasa pengolahan barang secara bersamaan.
2. Waktu pembayaran, pada akad salam, para
ulama’ telah sepakat bahwa pembayaran dilakukan seutuhnya dimuka alias tunai.
Sedangkan pada akad istishna’, pembayaran dapat dilakukan di muka dan juga
boleh dilakukan dengan pembayaran terhutang.
Wallahu a’alam bisshawab.
(Sumber: https://arifinbadri.com/366-akad-istishna-pesan-pembuatan.html)
=====================
* Ust. Dr. Muhammad Arifin
Baderi, M.A, Jurusan Fikih dari Universitas Islam Madinah, Saudi
Arabia. Rektor sekaligus dosen pengajar di Sekolah Tinggi Dirasat
Islamiyah (STDI) Imam Syafi’i Jember serta dosen tamu untuk Program
Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pakar dalam fikih muamalah,
aktif mengisi berbagai seminar nasional, dan membina Komunitas Pengusaha Muslim
Indonesia (KPMI). Beliau menulis beberapa buku muamalah syar’i diantaranya
yang bertajuk “Sifat
Perniagaan Nabi“, “Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syariah“, dan “Ekonomi Syariah”.
Comments
Post a Comment