ZAKAT
DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT ISLAM
Oleh: Muhammad Fathi Rabbani
ABSTRAK
Zakat sebagai
sarana distribusi pendapatan dan pemerataan ekonomi, serta sarana berbuat
kebajikan bagi kepentingan masyarakat menduduki peran penting dalam
perekonomian masyakat secara umum maupun kalangan Muslim, karenanya menarik
untuk dikaji kembali sebagai salah satu potensi dana umat yan sangat besar guna
memecahkan berbagai masalah sosial masyarakat.
Ekonomi Islam
adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari
Al-Qur’an, Sunnah, dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar-dasar pokok
itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu, sejalan dengan
pendapat Dr. Muhammad Syauki Al-Fanjari “ekonomi Islam adalah segala sesuatu
yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok Islam dan
politik ekonominya”
Masalah zakat ini adalah masalah klasik
yang selalu menjadi impian setiap orang muslim untuk mewujudkan keadilan sosial
bagi kelompok miskin dan lemah. Namun dalam kerangka teoritis, zakat dapat
menjelma menjadi suatu alur pemikiran yang mewujudkan kesejahteraan sosial.
Walaupun pada sisi empirisnya, zakat hanyalah angan-angan yang tak pernah
terwujud untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini dalam ajaran Plato yang
dapat dipetik beberapa kesimpulan yang diantaranya adalah : Bahwa di dunia ini
ada kecenderungan siklus hidup, segala sesuatunya tidak abadi.
Kaitannya
dengan zakat dalam perspektif ekonomi adalah suatu potensi yang selama ini
dilaksanakan oleh masyarakat, sejak masuknya agama Islam. Tetapi sangatlah
dipertanyakan bahwa potensi zakat sebagai sarana distribusi pendapatan dan
pemerataaan ekonomi, serta sarana berbuat kebajikan bagi kepentingan masyarakat
belumlah dikelola dan didayagunakan secara maksimal dalam ruang lingkup daerah.
Padahal jika potensi zakat ini dikelola dengan baik tentu akan dapat membawa
dampak besar dalam kehidupan ekonomi masyarakat, terutama dalam upaya
mengentaskan kemiskinan.[1]
Permasalahan yang diangkat dalam
tulisan ini adalah konsep zakat dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi
mayarakat Islam, mengingat banyak kalangan yang belum sepenuhnya melirik
potensi besar dari zakat sebagai sebuah harta karun. Kenyataan di lapangan
banyak orang yang belum sesungguh hati mengelola zakat sebagai sumber
perekonomian masyarakat terutama masyarakat Islam itu sendiri. Karena itu perlu
penataan kembali badan atau unit yang mengelola hal ini.
B.
KONSEP EKONOMI ISLAM
Sebagai sebuah agama, Islam senantiasa
memberikan pijakan dan tuntutan yang jelas dan mengikat kepada umatnya. Islam
secara universal mengarahkan bagaimana umatnya mampu memadukan dalam dirinya
kesadaran trasendental dalam bentuk peribadatan kepada Allah SWT dan bagaimana
ia mampu mengimplementasikan kesadaran sosial dalam bentuk aktualisasi ajaran
pokok Islam dalam kehidupan sehari-hari. Entah itu masalah agama, pendidikan,
ekonomi dan lain sebagainya.
Dalam memberikan batasan atau definisi
tentang ekonomi, lebih khusus ekonomi Islam, terdapat perbedaan pendapat
dikalangan para sarjana dalam mengkategorikan ekonomi Islam, baik sebagai ilmu
atau sebagai sistem. Sebelum mendefinisikan ilmu ekonomi Islam, kita harus
memahami terlebih dahulu pengertian ekonomi secara populer dikalangan ahli
ekonomi konvensional, karena istilah ekonomi itu sendiri adalah suatu hal baru
dalam Islam, walaupun substansi kajian ekonomi sudah ada dan sudah teraplikasi
dalam ajaran Islam.
C. PANDANGAN BEBERAPA AHLI TENTANG EKONOMI ISLAM
Menurut Fuad Fachruddin dan Heri
Sudarsono, dalam Al-Qur’an ekonomi Islam diidentifikasikan dengan iqtishad yang
artinya umat yang pertengahan atau bisa diartikan menggunakan rezeki yang ada
disekitar kita dengan cara berhemat agar kita menjadi manusia-manusia yang baik
dan tidak merusak nikmat apapun yang diberikan kepadanya[2]. Dari sini
bisa dinyatakan bahwa nama ekonomi Islam bukan nama buku dalam terminologi
Islam, tidak ada peraturan atau undang-undang yang menyatakan harus bernama
ekonomi Islam. Sehingga bisa saja orang mengatakan “ekonomi illahinya”,
“ekonomi syariah”, “ekonomi qur’ani” ataupun hanya “ekonomi” saja. Nama ekonomi
Islam lebih populer dikarenakan masyarakat lebih mudah mengidentifikasi nama
Islam dimana nama tersebut lebih “familiar” dengan masalah sehari-hari.
Nama ekonomi Islam dipengaruhi oleh
penafsiran kita terhadap praktek ekonomi Islam yang kita temukan. Bila
pengalaman ekonomi Islam berkaitan dengan aturan-aturan tentang perintah dan
larangannya, maka makna ekonomi Islam lebih banyak berkaitan norma. Hal ini
akan membangun pengertian bahwa ekonomi Islam sebagai ilmu normatif.[3]
Bila pengalaman yang kita temukan banyak
berkaitan tentang persoalan aktual, misalnya praktek bank dan lembaga keuangan
syariah dan sebagainya maka menghasilkan makna nama ekonomi Islam yang berbeda.
Adapun secara terminologi, menurut
Abdullah Abdul Husain At-Tariqi para pakar ekonomi Islam mendefinisikan
“Ekonomi Islam” dengan sedikit berbeda, antara lain :
1.Dr.
Muhammad Bin Abdullah Al Arobi mendefinisikan bahwa ekonomi Islam adalah
kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari Al-Qur’an,
Sunnah, dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar-dasar pokok itu dengan
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.[4]
2. Dr.
Muhammad Syauki Al-Fanjari mendefinisikan bahwa ekonomi Islam adalah segala
sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok
Islam dan politik ekonominya.[5]
3. Dengan
posisinya yang merupakan cabang dari ilmu fiqih, maka kami mendefinisikan bahwa
: ekonomi Islam adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat apliktip yang diambil
dari dalil-dalilnya yang terperinci tentang persoalan yang terkait dengan
mencari, membelanjakan, dan cara-cara mengembangkan harga.[6]
Abdullah Abdul Husain At-Tariqi
menjelaskan ekonomi Islam bukan merupakan bagian ilmu tentang keyakinan, namun
umumnya merupakan asumsi-asumsi, karena posisinya yang menjadi bagian dari
hasil pengambilan dalil-dalil umum tentang ekonomi, hadis-hadis ahad standar
perkiraan atau sejenisnya. Walaupun begitu, perkiraan ini haruslah diamalkan sebagaimana
dalil yang qat’i. pengamalannya juga dikategorikan sebagai ilmu.[7]
Mengenai bahan ekonomi Islam sebagai
ilmu, Arkhom Khan sebagaimana yang dikutip oleh Heri Sudarsono dalam bukunya
Konsep Ekonomi Islam menjelaskan, ekonomi Islam berarti juga metode
mengakomodasi berbagai faktor ekonomi dengan melibatkan seluruh manusia yang
mempunyai potensi yang berbeda guna melibatkan sumberdaya ekonomi yang ada di
bumi. Ilmu ekonomi memustakan studi tentang kesejahteraan manusia yang dicapai
dengan mengorganisasikan sumber daya atas dasar kerjasama dan partisipasi.
Pengembangan ekonomi Islam adalah upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Langkah ini oleh beberapa ahli ilmu
ke-Islaman ditempuh melalui upaya pemantapan dan pemberdayaan masyarakat
melalui reaktualisasi fungsi zakat.[8]
Pada prinsipnya para ahli / ulama Islam
melihat ekonomi Islam tidak hanya berfungsi sebagai sebuah ritual sosial serta
bagaimana mengatur manusia dalam mencapai kesejahteraan bersama tetapi juga
sebagai sebuah ilmu. Ilmu menurut kami sebagaimana yang dijelaskan oleh
Muhammad adalah pengetahuan yang tersusun secara logis dan sistematis serta
telah teruji kebenarannya. Dan dalam Islam, menurut ilmu adalah kewajiban baik
bagi laki-laki maupun perempuan.
PRINSIP DASAR SISTEM EKONOMI ISLAM
Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun
yang dapat berfikir jernih dan logis, bahwa Islam merupakan sistem hidup.
Sebagai suatu pedoman hidup, ajaran Islam yang terdiri atas aturan-aturan
mencakup keseluruhan sisi kehidupan manusia. Secara garis besar aturan-aturan
tersebut dibagi dalam tiga bagian, yaitu : aqidah, akhlak dan syari’ah yang
terdiri atas bidang muamalah (sosial), dan bidang ibadah (ritual).[9]
Menurut KH Abdullah Zaky Al-Koap
prinsip pokok ekonomi Islam terbagi atas lima hal penting, yaitu :
1. Kewajiban
Berusaha
Islam tidak mengizinkan umatnya
menjauhkan diri dari pencaharian kehidupan dan hidup hanya dari pemberian
orang. Tidak ada dalam masyarakat Islam, orang-orang yang sifatnya
non-produktif (tidak menghasilkan) dan hidup secara parasit yang menyandarkan
nasibnya kepada orang lain.
2. Membasmi
Pengangguran
Kewajiban setiap individu adalah
bekerja, sedangkan negara diwajibkan menjalankan usaha membasmi pengangguran.
Tidak boleh ada pengangguran.
3. Mengakui
Hak Milik
Berbeda dengan paham komunis, Islam
senantiasa mengakui hak milik perseorangan berdasarkan pada tenaga dan
pekerjaan, baik dari hasil sendiri ataupun yang diterimanya sebagai harta
warisan. Selain dari keduanya tidak boleh diambil dari hak miliknya kecuali
atas keridhaan pemiliknya sendiri.
4. Kesejahteraan
agama dan sosial
Menundukkan ekonomi dibawah hukum
kepentingan masyarakat merupakan suatu prinsip yang sangat penting masa kini.
Prinsip ini ditengok oleh Islam dengan suatu instruksi dari Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW. sebagai kepala Negara Islam. Yang diantaranya adalah
kewajiban untuk mengambil zakat kepada kaum muslimin.
5. Beriman
kepada Allah SWT
Pokok pendirian terakhir ialah soal
ketuhanan. Mengimankan ketuhanan dalam ekonomi berarti kemakmuran yang
diwujudkan tidak boleh dilepaskan dari keyakinan kutuhanan. Sewajarnya urusan
ekonomi jangan melalaikan kewajiban kepada Allah SWT, harus menimbulkan cinta
kepada Allah SWT, menafkahkan harta untuk meninggikan syi’ar Islam dan
mengorbankan harta untuk berjihad dijalan Allah SWT,[10]
E.
PENGERTIAN ZAKAT
Secara etimologi (bahasa) kata zakat
merupakan kata dasar (masdar) dari (ﺍﻠﺰﻜﺎﺓ)
. Zakat yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Sesuatu itu zaka, berarti
tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu zaka, berarti orang itu baik, ditinjau
dari sudut bahasa, adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji : semua digunakan
dalam qur’an dan hadis. Kata dasar zakat berarti bertambah dan tumbuh, sehingga
bisa dikatakan, tanaman itu zaka, artinya tumbuh, sedang setiap sesuatu yang
bertambah disebut zaka artinya bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat,
maka kata zakat disini berarti bersih.[11]
Dalam terminologi fikih, zakat berarti
sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang
yang berhak, disamping berarti mengeluarkan sejumlah itu sendiri demikian
Qardhawi mengutip pendapat Zamakhsari. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan
itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih
berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan. Sedangkan menurut
terminology syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah
mencapai syariat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan
diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.[12]
Hubungan antara pengertian zakat
menurut bahasa dan pengertian menurut istilah sangat nyata dan erat kekali.
Bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjdi berkah, tumbuh, berkembang
dan bertambah suci dan bersih (baik).
F.
PANDANGAN BEBERAPA ULAMA TENTANG ZAKAT
Para ulama fiqih, memiliki pemahaman
yang sangat beragam tentang masalah zakat. Diantaranya adalah sebagaimana
dibawah ini :
Menurut Didin Hafidhuddin zakat secara
termologi adalah mengeluarkan sebagian harta dengan persyaratan tertentu untuk
diberikan kepada kelompok tertentu (mustahik) dengan syarat-syarat tertentu
pula.
Wahbah Zuhaili dalam karyanya Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu sebagaimana yang dikutip oleh Suyitno dalam buku Anatomi
Fiqih Zakat mendefinisikan zakat dari sudut empat Imam Mazhab, yaitu :
1) Madzhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian yang tertentu dari harta
yang tertentu pula yang sudah mencapai nishab (batas jumlah yang mewajibkan
zakat) kepada orang yang berhak menerimanya, manakalah kepemilikan itu penuh
dan sudah mencapai haul (setahun) selain barang tambang dan pertanian;
2) Madzhab Hanafi berpandangan bahwa zakat adalah menjadikan kadar tertentu dari
harta tertentu pula sebagai hak milik yang sudah ditentukan oleh pembuat
syari’at semata-mata karena Allah SWT;
3) Menurut Madzhab Syafi’i, zakat adalah nama untuk kadar yang dikeluarkan dari
harta atau benda dengan cara-cara tertentu.
4) Madzhab Hambali memberikan definisi zakat sebagai hak (kadar tertentu) yang
diwajibkan untuk dikeluarkan dari harta tertentu untuk golongan yang tertentu
dalam waktu yang tertentu pula.
5) Dalam
Kifayatul Akhyar dijelaskan nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah
mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan
diberi kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
6) Menurut Al-Syarkoni seperti yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy, mengatakan
bahwa zakat adalah memberikan sebagian harta yang cukup nisab kepada orang
fakir dan sebagainya yang tidak berhalangan secara syara’.[13]
Secara umum, dapat dipahami bahwa zakat
adalah penyerahan atau penunaian hak dan kewajiban yang terdapat dalam harta
untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang
terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60: “60. Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
G. ZAKAT
SEBAGAI PEMBERDAYAAN EKONOMI UMMAT
Zakat
merupakan sesuatu yang tidak asing lagi terdengar di telinga kita sebagai
masyarakat muslim, bahkan zakat tersebut merupakan sesuatu yang
sakral dan wajib diaplikasikan bagi setiap masyarakat muslim yang mampu. Setiap
2,5 % (minimalnya) dari harta yang dimiliki setiap orang mampu (kaya) wajib
dikeluarkan kepada yang membutuhkan, karena di 2,5 % itu bukan hak dari si
pemilik harta. Harta tersebut merupakan hak bagi masyarakat yang membutuhkan.
Zakat tersebut bisa merupakan zakat yang dapat dikonsumsi langsung (Zakat
Konsumtif) maupun Zakat yang tidak berhenti di konsumsi, tetapi justru Zakat
yang berbentuk investasi dan terus diproduksi (Zakat Produktif). Yaitu berupa
pendidikan bagi anak yang kurang mampu, penyuluhan-penyuluhan di daerah miskin,
pemberian modal usaha bagi si penerima zakat, dll.
Ternyata,
tidak salah bahwa Islam telah mensyari’atkan Zakat bagi umatnya yang mampu
untuk dilaksanakan. Faktanya, zakat sangat berperan bagi pembangunan ekonomi
masyarakat modern ini. Disamping itu pula, zakat sangat berperan
terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat.[14] Distribusi kesejahteraan masyarakat tersebut
dapat digambarkan melalui Equilibrium (Keseimbangan) Pasar.
Ditinjau dari
fungsinya, Zakat memiliki 2 peran yang sangat penting 1. Zakat
berfungsi untuk mengurangi tingkat pendapatan yang siap dikonsumsi oleh segmen
orang kaya (muzakky). Oleh karena itu, pengimplementasian zakat
diharapkan akan mampu mengerem tingkat konsumsinya orang kaya sehingga kurva
permintaan segmen kaya tidak terlalu meningkat terlalu tajam. Hal ini pada
akhirnya akan memiliki dampak positif, yaitu menurunnya dampak atas
peningkatan harga-harga komoditas.
2. Zakat berfungsi
sebagai media transfer pendapatan sehingga mampu meningkatkan daya beli orang
miskin. Dalam hal ini diharapkan dengan menerima zakat, maka segmen miskin akan
meningkatkan daya belinya sehingga mampu berinteraksi dengan segmen
kaya.[15]
Sekarang yang
menjadi pertanyaan adalah, apakah zakat konsumtif akan menumbuhkan perekonomian
? Apakah zakat konsumtif akan menimbulkan dampak yang leih baik dibanding zakat
produktif ? Mari
kita lihat dasar analisis berikut.
Pembayaran Zakat pada tahap pertama
akan menurunkan permintaan orang kaya dari DH1 menuju DH2. Turunnya permintaan
ini akan diterima oleh orang miskin sehingga akan berpengaruh terhadap pasar
segmen miskin. Jika zakat diterima dalam bentuk barang konsumsi, maka
permintaan permintaan orang miskin akan dari Ds1 menuju Ds2 sehingga
akan mendorong harga di segmen meningkat. Namun, jika zakat diterima dalam
bentuk modal kerja atau produktif, maka penawaran segmen miskin akan meningkat
dari Ss1 menuju Ss2. Jumlah permintaan segmen kecil akan meningkat lebih kecil
namun diikuti oleh harga yang menurun. Dari gambaran ini dapat disimpulkan
bahwa zakat konsumtif aupun zakat produktif akan meningkatkan pertumbuhan
perekonomian selama penurunan permintaan segmen kaya (XH1-XH2) akan diimbangi
oleh peningkatan volume perdagangan segmen miskin(Xs3-Xs0) yang lebih besar Hal
ini dipengarui oleh :
1. Kepekaan konsumen miskin terhadap harga
barang. Semakin konsumen miskin peka atau elastis terhadap harga, maka zakat
produktif akan memiliki dampak inflasioner lebih rendah dan peningkatan output
lebih tinggi daripada zakat konsumtif.
2. Hubungan antara harga dan
penjualansegmen miskin. Semakin elastis penawaran segmen miskin, maka semakin
tinggi efek zakat konsumtif terhadap penigkatan output daripada zakat
produktif.
3. Hasrat untuk konsumsi segmen miskin.
Hasrat ini menunjukkan seberapa besar bagian pendpatan yang akan dikonsumsi dan
bisa dicerminkan dari nilai elastisitas permintaan terhadap pendapatan. Semakin
elastis permintaan terhadap pendapatan berarti tambahan pendapatan segmen
miskin akan dihabiskan untuk konsumsi, dan hal ini semakin meningkatkan
besarnya efek zakat konsumtif.
Dari gambaran ini, tidak selalu zakat
produktif memiliki efek terhadap perekonomian yang lebih baik, hal ini terutama
dipengaruhi oleh perilaku ekonomi masyarakat mustahiq.[16]
G.
KESIMPULAN
Secara umum umat Islam mengharapkan
agar pelaksanaan zakat dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya berdasarkan
syari’at Islam. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah termasuk ulama
dan ilmuwan agar implementasi zakat terlaksana.
Untuk itu sebenarnya konsep operasional
penerapan zakat, dapat dijadikan contoh dan terus dikembangkan pada masa
sekarang, serta diaktualisasikan sesuai dengan pertumbuhan dan tuntutan
masyarakat.
Dengan memberdayakan zakat secara
optimal (mulai dari pemetaan data muzakki, pencatatan muzakki, pengumpulan dana/benda
zakat, pendistribusian dana/benda zakat, pemetaan dan pencatatan penerima
zakat) yang selalu diupdate, insya Allah masalah perekonomian khususnya tentang
kemiskinan finansial masyarakat kita akan mendapat enjeksi solutif, sehingga
kita akan melihat lahirnya masyarakat yang sejahtera dari sisi ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Ensklopedia
Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta, Peradnyo Paramita, Tahun 1991.
Ariswanto, Buku
Pintar Teori Ekonomi, Jakarta : Penerbit Aribu Mitra Mandiri, Tahun
1997. http://www.salafy.or.id.
Husain,
Abdullah, Abdul At-Tariqi, Ekonomi Islam Prinsip Dasar dan Tujuan, Yogyakarta,
Magistra Insania Press, Tahun 2004.
Wahba
Al-Zahayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung PT Remaja
Rosda Karya Tahun 1997.
Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta, Ekonomi
Islam, Jakarta, PT Rajawali Pers, 2009.
Yusuf
Qardawi, Hukum Zakat, Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, Tahun
2004.
Notes:
[1] Ariswanto, Buku
Pintar Teori Ekonomi, Jakarta : Penerbit Aribu Mitra Mandiri, Tahun
1997. Hal : 35
[2] Abdurrahman, Ensklopedia
Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta, Peradnyo Paramita, Tahun
1991. Hal : 14
[3] Ariswanto, Buku
Pintar Teori Ekonomi, Jakarta : Penerbit Aribu Mitra Mandiri, Tahun 1997.
Hal : 40
[4] Abdullah
Abdul At-Tariqi Husain, Ekonomi Islam Prinsip Dasar dan Tujuan,
Yogyakarta, Magistra Insania Press, Tahun 2004. Hal : 20
[5] Ibid,
Hal : 21
[6] Ibid, Hal
: 23
[7] Ibid, Hal
: 27
[8] Yusuf
Qardawi, Hukum Zakat, Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, Tahun
2004. Hal : 15
[9] Abdullah
Abdul At-Tariqi Husain, Ekonomi Islam Prinsip Dasar dan Tujuan,
Yogyakarta, Magistra Insania Press, Tahun 2004. Hal : 7
[10] Ibid, Hal
: 30
[11] Sumber : http://www.salafy.or.id
[12] Yusuf
Qardawi, Hukum Zakat, Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, Tahun 2004.
Hal : 21
[13] Wahba
Al-Zahayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung PT Remaja Rosda
Karya Tahun 1997. Hal : 29-31
[14] Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta,Ekonomi Islam, Jakarta,
PT Rajawali Pers, 2009. Hal : 404
[15] Ibid,
Hal : 405
[16] Ibid,
Hal; 407-408
=====================
* Muhammad Fathi Rabbani, Institut Studi Islam Darussalam, Gontor, Kampus Siman.
Comments
Post a Comment