Sumber-sumber
Zakat dalam Perekonomian Kontemporer-2
(Zakat Madu, Zakat Perusahaan, Zakat Saham dan Obligasi, Zakat Hasil Bumi atas Sewa Tanah)
Oleh:
Saprida, MHI
Editor: Ust,Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Editor: Ust,Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
D.
Zakat Madu Dan Produksi Hewani
Pendapat
Ulama Tentang Zakat Madu
Abu
Hanifah dan pengikutnya berpendapat, bahwa madu wajib dikeluarkan zakatnya,
dengan syarat lebahnya tidak bersarang di tanah kharajiya,
karena tanah kharajiya sudah di pungut pajaknya, sesuai dengan ketentuan bahwa
dua kewajiban tidak bisa sama-sama terdapat dalam satu kekayaan oleh satu sebab
yang sama pula. Zakat madupun wajib, baik tanah tersebut tanah usyriya
maupun tidak begitu pula bila lebahnya bersarang di hutan atau
di pergunungan besar zakat madu tersebut adalah 10%. Ahmad juga mewajibkan
pengeluaran zakat atas madu demikian juga pendapat Umar, Abu Abdillah yaitu
Ibnu Hanbal, Maklul, Az-Zuhri, Sulaiman bin Musa, Auza‟i,
dan Ishaq. Dalam al-Bahr diriwayatkan pula dari sumber
Umar, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Hadi dan Muayyid Billah, serta juga
merupakan pendapat Syafi‟i. Turmizi diriwayatkan oleh jumhur
berpendapat demikian pula, tetapi disanggah oleh Ibnu Abdil Bar
yang meriwayatkan pendapat yang bertentangan dengan riwayat Jumhur tersebut.
Pendapat
yang mewajibkan madu wajib dikeluarkan zakatnya, mengambil alasan dari hadis
dan qias.
1.
Alasan-alasan berupa Hadist :
a.
Landasan hukum : Dari Amru bin Syuaib dari kakeknya dari Nabi Muhammad SAW.
berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW. mengambil zakat madu
sebesar 1/10 (HR Daruqutni).
b.
Hadist Sulaiman bin Musa
Abu
sayarah mut‟i: saya bertanaya kepada Rosulullah bahwa saya mempunyai lebah
beliau bersabda : keluarkanlah sepersepuluh. Saya meminta kepada Rosulullah,
agar gunung saya dilindungi rosullah. Rosulullah melindungi gunung tersebut
untuk saya, diriwayatkan oleh Ibnu Ahmad dan Ibnu Majah.
2.
Dukungan dari logika dan qias bahwa madu yang terbentuk dari intisari tanaman
dan bunga-bungaan yang terus menerus ditimbun itu wajib dikeluarkan zakatnya,
seperti halnya bijian dan kurma, karena beban tanggung jawab di dalamnya tidak berbeda
dari pada beban tanggung jawab yang terdapat di dalam tanaman dan buahan.
Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa madu wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak
sepersepuluh apabila terdapat di tanah usyriya,
tetapi bila terdapat di tanah kharajiya tidak
wajib dikeluarkan zakatnya sesuai dengan ketentuan bahwa zakat dengan pajak (kharajiya)
tidak boleh terdapat pada satu sasaran zakat, karena tanah kharaj
telah wajib mengeluarkan pajak untuk pengembangan dan
penanamannya, yang oleh karena itu maka tidak wajib lagi mengeluarkan
kewajiban-kewajiban yang lain hanya imam Ahmad menyamakan status kedua macam
tanah itu dan mewajibkan pemilik madu untuk mengeluarkan zakat madunya, baik
madu tersebut berada di tanah usyriya maupun
di tanah kharaj Sedangkan Malik, Syafi‟i
Ibnu Abi laila, Hasan bin Abi Shalih dan Ibnu Al-Mundziri berkata bahwa madu tidak
wajib zakat dengan alasan :
a.
Apa yang dikatakan oleh Ibnu Mundziri, bahwa madu wajib zakat itu tidak
terdapat Hadist yang pasti maupun ijmak, yang
oleh karena itu tidak wajib zakat
b.
Bahwa madu adalah cairan yang keluar dari hewan seperti susu, sedangkan susu
menurut ijmak, tidak wajib zakat.
Pendapat
Abu Ubaid
Dalam
hal ini, Abu Ubaid bersikap menengah antara yang mewajibkan zakatnya, karena
melihat hadist-hadist yang membicarakan masalah tersebut berbeda-beda meskipun
ia sendiri
cenderung untuk mewajibkan zakatnya. Setelah mengemukakan kedua pendapat
tentang zakat madu tersebut, ia mengatakan, “saya
melihat orang-orang yang berpendapat
demikian seakan-akan mewajibkan
pemilik-pemilik madu itu mengeluarkan zakatnya, menganjurkannya atau tidak suka
kepada orang yang membayar zakat madu tersebut, padahal mereka tidak
berkewajiban demikian, yang sama wajibnya dengan zakat hasil tanah dan binatang
ternak dan orang yang tidak membayarnya harus diperangi. Hal itu oleh karena kesahihan
hadist dari Rasulullah dalam masalah ini tidak setegas kesahihan hadist tentang
kewajiban zakat hasil bumi dan binatang ternak. Bila zakat madu sama
kedudukannya dengan zakat yang lain, tentu ia akan mempunyai waktu dan
ketentuan ketentuan yang lain, seperti ketentuan jumlah wasaq
mengenai hasil bumi dan 40
mengenai kambing juga oleh karena tidak ada buku-buku tentang zakat yang
mewajibkan zakatnya. Begitu pula tidak ada seorang imampun sesudahnya yang
menetapkan wajibnya zakat madu tersebut. hanya terdapat ketentuan bahwa bila
seseorang imam diberi zakat madu tersebut agar menerimanya, seperti Umar bin
Al-Khattab menerima dari Adu Zubab. Kemudian ia berkata,
“ketegasannya adalah bahwa tidak membayar zakat madu
bearti mengurangi bakti kepada agama, tetapi memungutnya dengan paksa atau
tidak, tidak ada dasarnya”. (Qardawi 2007, hal. 401).
Pendapat
yang Lebih Kuat Tentang Zakat Madu
1.
Keumuman nash yang tidak membeda-bedakan satu jenis kekayaan satu harta dari
kekayaan lainnya. Misalnya firman Allah :
“Pungutlah zakat dari harta benda mereka,
dan firmanNya, keluarkanlah oleh sekalian sebagian hasil yang kalian
peroleh, dan sebagian dari yang kami keluarkan untuk kalian dari bumi”.
2.
Qias zakat madu itu dengan hasil tanaman dan buah-buahan.
Yaitu
bahwa penghasilan yang di peroleh dari bumi dinilai sama dengan penghasilan
yang diperoleh dari lebah.
3.
Hadist-hadist yang menyangkut masalah itu diriwayatkan dari sumber yang banyak.
Semua hadist tersebut menurut Ibnu Qayyim saling menguatkan dan mempunyai sumber riwayat
yang banyak, dan yang mursal dikuatkan oleh yang musnat.
Karena itulah Turmizi tidak menolak kesahihan hadisthadist tentang
masalah ini secara tegas seperti penolakan orang
lain.
Besar
Zakat Madu
Para
ulama yang mewajibkan zakat madu sepakat bahwa besar zakat madu adalah 10%
berdasarkan hadist-hadist diatas dan pengiasannya kepada tanaman dan
buah-buahan untuk itu dimasukkan kedalam faktor kesulitan dan biaya. Abu Ubaid meriwayatkan
dari Umar tentang zakat madu. Bila madu tersebut berada di tanah datar maka
zakatnya sepersepuluh tetapi bila berada di pegunungan maka zakatnya seperdua
puluh. Dengan demikian
jelas bahwa kesulitan dan biaya berpengaruh dalam mengurangi besar wajib zakat,
sama halnya dengan hasil tanaman. Jadi zakat madu diambil dari pendapatan
bersih madu tersebut atau setelah biaya-biaya dikeluarkan, sebesar
sepersepuluh, sama halnya dengan zakat tanaman dan buahbuahan.
Nisab
Zakat Madu
Mengenai
besar nisab madu, tidak ada hadist yang menentukanya dengan tegas, oleh karena
itu para ulama berbeda-beda pendapat dalam masalah itu. Abu Hanifah berpendapat
bahwa baik sedikit maupun banyak zakatnya sepersepuluh, berdasarkan pada
landasan biji-bijian dan buah-buahan. Menurut Abu Yusuf, nisab madu diukur sama
dengan nilai lima wasaq gandum yang paling rendah
kualitasnya. Bila harganya mencapai nilai tersebut, wajib zakat sebesar
sepersepuluh sedangkan bila tidak, tidak wajib pula zakatnya hal itu
berdasarkan ketentuan nisab wasaq barang
yang tidak bisa ditimbang.
Menurut
Ahmad nisab madu sepuluh farq, Umar
diriwayatkan berpendapat demikian. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa nisab
madu besarnya sama dengan harga lima wasaq makanan
pokok tingkat sedang seperti gandum, karena gandum adalah makanan pokok tingkat
sedang internasional. Syariat telah menetapkan besar nisab hasil tanaman dan
buah-buahan lima wasaq sedangkan madu diqiaskan
kepada hasil tanaman tersebut karena
itulah dipungut zakatnya sepersepuluh.
Sedangkan
produk hewani sepeti sutera, susu dan sebagainya zakatnya sama dengan madu
sebesar sepersepuluh dari penghasilan bersih (berlaku pada ternak-ternak
piaraan yang khusus
diambil susunya dan tidak merupakan barang dagangan). Ketentuan yang bisa kita
tegaskan di sini adalah bahwa dasar yang belum dikeluarkan zakatnya wajib
dikeluarkan zakatnya dari produksinya, seperti hasil tanaman dari tanah, madu
dari lebah, susu dari binatang ternak, telur dari ayam, dan sutera dari ulat
sutera. Hal ini adalah pendapat imam Yahya, salah satu seorang Fuqaha Syi'ah,
yang mewajibkan sutera dikeluarkan zakatnya. Seperti zakat madu karena
kedua-duanya dikeluarkan dari pohon. Tetapi tidak mewajibkan zakat pada ulat
suteranya seperti juga tidak pada lebahnya, kecuali jika ulat sutera tersebut untuk
perdagangan.
Jadi,
Jumhur ulama tidak mewajibkan zakat madu dengan alasan tidak ada dalil yang
kuat. Abu Hanifah dan Ahmad mewajibkan zakat madu dengan dasar keumuman ayat
dan hadits. Imam Abu Hanifah tidak menetapkan nishab madu dan menetapkan
tarifnya 10 %. Imam Ahmad menentukan nishabnya sebanyak 16 liter Bagdadi.
Sebagian Ulama menganalogikan pada hasil pertanian maka nishabnya adalah
senilai 652,8 kg sedangkan tarifnya
10 % jika terdapat di tanah yang datar dan 5 % jika berada di pegunungan.
Para
ulama bersepakat bahwa zakat madu diambil dari pendapatan bersih madu, atau
setelah dikurangi dari biaya-biaya untuk mendapatkannya dan besarnya
sepersepuluh (10%). Sedangkan zakat atas produk hewani seperti harus
diperlakukan sama dengan madu. Hal ini berlaku pula pada ternak-ternak piaraan
yang memang khusus diambil susunya dan tidak merupakan barang dagangan. Zakat
atas produk hewani adalah sebesar sepersepuluh dari penghasilan bersih atau
setelah dikurangi biaya-biaya. Diantara ulama fiqh ada pula yang berpendapat
jika seseorang yang membeli hewan untuk dijual produknya, misalnya sapi untuk
dijual susunya, ulat sutera untuk dijual suteranya, atau sejenisnya; maka orang
itu harus menghitung nilai benda-benda tersebut dengan produknya pada akhir
tahun, lalu mengeluarkan zakatnya seperti zakat perniagaan (2,5%). Apabila
madu dipanen dari miliknya, atau dari tempat tidak bertuan dari pohon-pohon dan
gunung-gunung, maka zakatnya sepersepuluh. Nisabnya adalah seratus enam puluh
(160) kati Iraq, yaitu sama dengan enam puluh dua (62) kg. Jika ia menjual
belikan madu, ia mengeluarkan zakatnya sebagai barang dagangan, yaitu
seperempat puluh (1/40).
Produksi
hewani seperti madu, telur, sutera dan susu merupakan bentuk dari usaha yang
dapat mengakibatkan kekayaan pada seseorang. Dengan demikian, ia menjadi suatu keniscayaan
untuk dikeluarkan zakatnya. Para ulama yang mewajibkan zakat madu dan produk
hewani lainnya menggunakan qiyas (analogi)
dengan zakat hasil tanaman dan buah-buahan bahwa penghasilan yang dihasilkan
dari bumi (tanah) dinilai sama dengan penghasilan yang dikeluarkan oleh lebah,
ulat, dan sebagainya. Nishab zakat untuk produksi hewani seperti madu, susu,
telur, sutera, dan sebagainya adalah setara dengan 653 Kg makanan pokok yang
ada di negeri tersebut tanpa harus menunggu masa satu
tahun (haul). Sedangkan kadarnya adalah
10% dari pendapatan bersih setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan
(Qardawi 2007, hal. 404).
E.
Zakat Perusahaan
Definisi
Zakat Perusahaan
Yusuf
Qardawi menghimpun jenis ini dengan sebutan harta yang diusahakan, yaitu harta
yang diusahakan oleh para pemiliknya untuk berusaha dengan cara menyewakannya
atau
menjual
hasilnya. Perbedaanya dengan harta perniagaan adalah bahwa keuntungan yang
diperoleh dalam perdagangan adalah lewat penjualan atau pemindahan benda-benda
itu ke tangan orang lain. Sedangkan harta perusahaan masih berada di tangan pemilik,
dan keuntungan diperoleh dari penyewaan atau penjualan produknya.
Zakat
perusahaan (Corporate zakat) adalah sebuah fenomena baru, sehingga hampir dipastikan
tidak ditemukan dalam kitab fiqih klasik. Ulama kontemporer melakukan dasar
hukum zakat perusahaan melalui upaya qiyas, yaitu zakat perusahaan kepada zakat
perdagangan. Zakat perusahaan hampir sama dengan zakat perdagangan dan
investasi. Bedanya zakat perusahaan bersifat kolektif. Gejala ini dimulai
dengan prakarsa para pengusaha dan manajer muslim modern untuk mengeluarkan
zakat perusahaan. Kaum cendekiawan muslim ikut mengembangkan sistem ini, dan akhirnya
BAZ (Badan Amil Zakat) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) juga ikut memperkokoh
pelaksanaannya. Para ulama peserta
muktamar internasional menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat
perdagangan, karena dipandang dan aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah
perusahaan intinya adalah berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan. Oleh
karena itu, nishabnya adalah sama dengan nishab zakat perdagangan yaitu 85 gram
emas (Hasan 2003, hal. 161).
Berdasarkan
prinsip-prinsip di atas dapat dipahami bahwa modernisasi dalam bidang muamalah
diizinkan oleh syariat Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa
syariat Islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan manusia
selalu berkembang dan berubah, maka syariat Islam dalam bidang muamalah, pada
umumnya hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum secara umum. Sedangkan perinciannya
diserahkan kepada umat Islam, dimana pun mereka berada. Tentu perincian itu
tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam.
Dalam konteks
inilah perusahaan ditempatkan sebagai muzakki/wajib zakat.
Dasar
Hukum Zakat Perusahaan
Perusahaan
wajib mengeluarkan zakat, karena keberadaan perusahaan adalah sebagai badan
hukum (recht person) atau yang dianggap orang. Oleh karena itu diantara
individu itu kemudian timbul transaksi meminjam, menjual, berhubungan dengan
pihak luar, dan juga menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirnya
pun dinikmati secara bersamasama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah
SWT. dalam bentuk zakat. (Khalid 2007, hal. 55). Demikian halnya juga, para
ulama sepakat bahwa hukummenginvestasikan harta melalui pembelian/pemilikan
saham adalah sah secara syar‟i dan keuntungannya wajib
dizakatkan. Pemegang saham merupakan bagian dari pemilik perusahaan yang
mewakilkan operasionalnya kepada pihak manajemen untuk menjalankan operasional
perusahaan dimana keutungan dan kerugian perusahaan ditanggung bersama oleh
pemegang saham. Keuntungan dan kerugian perusahaan dapat diketahui pada waktu
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan pada saat itulah zakat di wajibkan. Namun
para ulama berbeda tentang kewajiban pengeluaran zakatnya.
Pendapat
pertama, yang dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman Isa dalam kitabnya
“al-Muamalah al-Hadîtsah Wa Ahkâmuha”, mengatakan bahwa yang harus diperhatikan
sebelum pengeluaran zakat adalah status perusahaannya, untuk lebih jelasnya
sebagai berikut:
a.
Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bergerak dibidang layanan jasa
semata, misalnya biro perjalanan, biro iklan, perusahaan jasa angkutan (darat,
laut, udara), perusahaan hotel, maka sahamnya tidak wajib dizakati. Hal ini dikarenakan
saham-saham itu terletak pada alat-„alat, perlengkapan, gedung-gedung, sarana
dan prasarana lainnya.
Namun
keuntungan yang diperoleh dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham
tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya jika telah mencapai
nisab dan haul.
b. Jika
perusahaan tersebut adalah perusahaan dagang murni yang melakukan transaksi
jual beli barang tanpa melakukan proses pengolahan, seperti perusahaan yang
menjual hasil–
hasil
industri, perusahaan dagang Internasional, perusahaan ekspor-impor, dan lain
lain, maka saham-saham perusahaan tersebut wajib dikeluarkan zakatnya disamping
zakat dari
keuntungan
yang diperoleh. Caranya adalah dengan menghitung kembali jumlah keseluruhan
saham kemudian dikurangi harga alat-alat, barang-barang ataupun inventaris
lainnya
baru kemudian dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Hal ini dapat dilakukan
setiap akhir tahun.
c.
Jika perusahaan tersebut bergerak dibidang industri dan perdagangan, artinya
melakukan pengolahan suatu komoditi dan kemudian menjual kembali hasil
produksinya, seperti perusahaan Minyak dan Gas (MIGAS), perusahaan pengolahan
mebel, marmer dan sebagainya, maka sahamnya wajib dizakatkan. Cara penghitungan
dan pengeluaran zakatnya adalah sama dengan cara penghitungan zakat perusahaan
yang bergerak dibidang perdagangan.
Pendapat
kedua, yaitu pendapat Abû Zahrah yang mengatakan bahwa saham adalah harta yang
beredar dan dapat diperjual-belikan, dan pemiliknya mendapatkan keuntungan dari hasil
penjualan tersebut, karena itu wajib dizakati. Ini termasuk dalam kategori
barang dagangan dan besarnya suku zakat adalah 2,5%. Caranya adalah setiap
akhir tahun, perusahaan melakukan penghitungan harga saham sesuai dengan harga
yang beredar dipasaran, kemudian menggabungkannya dengan keuntungan yang
diperoleh. Jika besarnya harga saham dan keuntungannya mencapai nisab maka
wajib dizakatkan. Beda halnya, Yûsuf Qardâwi mengatakan jika saham perusahaan
berupa barang atau alat seperti mesin produksi, gedung, alat transportasi dan
lain lain, maka saham perusahaan tersebut tersebut tidak dikenai zakat. Zakat
hanya dikenakan pada hasil bersih atau keuntungan yang diperoleh sebesar 10%.
Hukum ini juga berlaku untuk asset perusahaan yang dimiliki oleh individu/perorangan.
Lain halnya kalau saham perusahaan berupa komoditi yang diperdagangkan. Zakat
dapat dikenakan pada saham dan keuntungannya sekaligus karena dianalogikan
dengan urûd tijârah. Besarnya suku zakat adalah 2,5 %. Hal ini juga
berlaku untuk aset serupa yang dimiliki oleh perorangan.
Al-hasil,
dalam konteks Indonesia, mengenai zakat perusahaaan, belum lama ini telah
mencuat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui sidang ijtima‟
telah mewajibkan zakat perusahaan. Menurut Agustianto Mingka dasar hukum
kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang bersifat umum sebagaimana terdapat dalam
surat Al-Baqarah ayat 267 :
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Perhitungan
Zakat Perusahaan
Ketentuan
Zakat Perusahaan :
a.
Berjalan 1 tahun (haul), Pendapat Abu Hanifah lebih kuat dan realistis yaitu
dengan menggabungkan semua harta perdagangan pada awal dan akhir dalam satu
tahun kemudian dikeluarkan zakatnya.
b.
Nisab zakat perusahaan sama dengan nisab emas yaitu senilai 85 gr emas c.
Kadarnya zakat sebesar 2,5 %
d.
Dapat dibayar dengan uang atau barang
e.
Dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.
Perhitungan
: (Modal diputar + Keuntungan + piutang yang dapat dicairkan) - (hutang +
kerugian) x 2,5 %.
Contoh
: “Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri,
agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha
(seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dan lain-lain) nishabnya adalah 20 dinar
(setara dengan 94 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun
(tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara
dengan 94 gram emas (asumsi jika pergram Rp 75.000,- = Rp 6.375.000,-), maka ia
wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 % ”.
Pada
badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika semua anggota syirkah
beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada
pihak-pihak yang bersyirkah.
Tetapi jika anggota syirkah terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya
dikeluarkan dari anggota syirkah muslim saja (apabila jumlahnya lebih dari
nishab). Kekayaan yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu
atau lebih dari tiga bentuk di bawah ini :
1.
Kekayaan dalam bentuk barang
2.
Uang tunai
3.
Piutang
Maka
yang dimaksud dengan harta perusahaan yang wajib dizakati adalah yang harus
dibayar (jatuh tempo) dan pajak.
Contoh:
Sebuah perusahaan mebel pada tutup buku per Januari tahun 2012 dengan keadaan
sebagai berikut :
1.
Sofa atau Mebel belum terjual 5 set Rp 10.000.000
2. Uang
tunai Rp 15.000.000
3.
Piutang Rp 2.000.000
4.
Jumlah Rp 27.000.000
5.
Utang & Pajak Rp 7.000.000
6.
Saldo Rp 20.000.000
7.
Besar zakat = 2,5 % x Rp 20.000.000,- = Rp 500.000,-
Pada
harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari,
etalase pada toko, dan lain-lain, tidak termasuk harta yang wajib dizakati
sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang). Usaha yang
bergerak dibidang jasa, seperti perhotelan, penyewaan apartemen, taksi, renal
mobil, bus/truk, kapal laut, pesawat udara, dan lain-lain, kemudian dikeluarkan
zakatnya dapat dipilih diantara 2 (dua) cara:
a.
Pada perhitungan akhir tahun (tutup buku), seluruh harta kekayaan perusahaan dihitung,
termasuk barang (harta) penghasil jasa, seperti taksi, kapal, hotel, dan
lain-lain, kemudian
keluarkan zakatnya 2,5 %.
b.
Pada Perhitungan akhir tahun (tutup buku), hanya dihitung dari hasil bersih
yang diperoleh usaha tersebut selama satu tahun,
kemudian zakatnya dikeluarkan 10%. Hal ini diqiyaskan dengan perhitungan zakat
hasil pertanian, dimana perhitungan zakatnya hanya didasarkan pada hasil pertaniannya,
tidak dihitung harga tanahnya.
Para
ulama kontemporer menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan,
karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan
intinya berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan. Hal tersebut dikuatkan
oleh keputusan seminar zakat di Kuwait, tanggal 3 April 1984 tentang zakat perusahaan
sebagai berikut:
Zakat
perusahaan disamakan dengan perdagangan apabila kondisi-kondisi sebagai berikut
terpenuhi :
1.
Adanya peraturan yang mengharuskan pembayaran zakat perusahaan tersebut.
2.
Anggaran Dasar perusahaan memuat hal tersebut.
3.
RUPS mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan hal itu.
4.
Kerelaan para pemegang saham menyerahkan pengeluaran zakat sahamnya kepada
dewan direksi perusahaan.
Pendapat
ini berdasarkan prinsip usaha bersama yang diterangkan dalam hadis Nabi SAW.
tentang zakat binatang ternak yang penerapannya digeneralisasikan oleh beberapa
madzhab fikih dan yang disetujui pula dalam Muktamar Zakat I. Idealnya
perusahaan yang bersangkutan itulah yang membayar zakat jika memenuhi keempat
kondisi yang disebutkan di atas. Jika tidak, maka perusahaan harus menghitung
seluruh zakat kekayaannya kemudian memasukkan ke dalam anggaran tahunan sebagai
catatan yang menerangkan nilai zakat setiap saham untuk mempermudah pemegang
saham mengetahui erapa
zakat sahamnya. (Fatwa zakat kontemporer).
Mengingat
penganalogian zakat perusahaan kepada zakat perdagangan maka pola penghitungan,
nisab dan syarat-syarat lainnya juga mengacu pada zakat perdagangan. Dasar penghitungan
zakat perdagangan adalah mengacu pada suatu riwayat yang diterangkan Oleh Abu
Ubaid dalam kitab Al Amwal “Apabila telah sampai batas waktu untuk
membayarzakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) ataupun
barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai
uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan
kurangkanlah atas apa yang engkau miliki” Dari penjelasan di atas maka pola
penghitungan zakat perusahaan adalah didasarkan pada neraca (balance sheet)
dengan mengurangkan kewajiban lancar atas aktiva lancar. Metoda penghitungan
ini biasa disebut dengan metoda Syar’iyyah,
Metode ini digunakan di Saudi Arabia dan beberapa negara Islam lainnya sebagai
pendekatan penghitungan zakat perusahaan (Khalid 2007, hal. 56).
F.
Zakat Saham dan Obligasi
Saham
dan obligasi adalah salah satu bentuk dari surat-surat berharga. Surat-surat
berharga adalah: “Dokumen untuk menetapkan adanya hak pemilikan dalam suatu
proyek atau hutang dalam hal itu”. Transaksi dalam surat berharga tersebut bukan
atas surat itu sendiri melainkan atas hak-hak yang dipresentasikan oleh
kertas-kertas tersebut. Surat berharga dalam hal ini yang dipresentasikan
adakalanya berupa bonds (surat pengakuan hutang/obligasi). Masing-masing jenis
surat berharga tersebut mempunyai pembagian yang bermacam-macam sesuai dengan
sifat hak dan kewajiban yang terkandung oleh surat-surat tersebut. (Ali 2003,
hal. 58).
1.
Zakat Saham
Saham
adalah kertas yang mempresentasikan hak pemiliknya dalam pemilikan sebagian
dari perusahaan dan memberikannya hak untuk ikut serta dalam mengatur dalam
perusahaan, baik dengan jalan saham atau dengan jalan komisaris. Menurut Abdurrahman
Isa, tidak semua saham dizakati, apabila saham-saham itu berkaitan dengan
perusahaan/perseroan yang menangani langsung perdagangan, untuk diperdagangkan;
maka wajib dizakati seluruh sahamnya. Tetapi apabila saham itu berkaitan dengan
perusahan/perseroan yang tidak menangani langsung perdagangan atau tidak
memproduksi barang untuk diperdagangkan, seperti perusahaan bus angkutan umum, penerbangan,
pelayaran, perhotelan, dimana nilai saham-saham itu terletak pada
pabrik-pabrik, mesin-mesin, maka pemegang saham tidak wajib menzakati
saham-sahamnya, tetapi hanya keuntungan dari saham itu digabungkan dengan harta
lain yang dimiliki oleh pemegang saham yang wajib menzakatinya.
Contoh
operasional dasar-dasar perhitungan zakat saham :
Untuk
menghubungkan hukum-hukum fiqh dan dasar-dasar perhitungan zakat saham diatas
dengan penerapan operasional, berikut dipaparkan contoh penerapannya :1000
lembar saham dari perusahaan Al-Mu‟amalat
Al-Islamiyah. Nilai nominal perusahaan 500 dinar. Harga pasar ketika datang
waktu pembayaran zakat adalah 600 dinar dan keuntungan yang dicapai selama
setahun adalah 20 dinar per lembar saham.
Jawab
:
Saham
Perusahaan : 1000 x 600 dinar : Rp. 600.000
Deviden/
keuntungan : 1000 lembar x 20 dinar : Rp. 20.000
Total
: Rp. 620.000
Berdasarkan
hal di atas, sesungguhnya hukum Islam, hukum asalnya adalah kewajiban zakat
dibebankan kepada pemilik saham dan boleh bagi perusahaan membantu mereka atas perhitungan
zakat setiap saham. Berdasarkan keterangan informasi yang dimiliki serta
menyerahkan proses, pembayaran kepada pemilik saham. Hal ini jika tidak ada
peraturan perusahaan
atau undang-undang negara yang mengharuskan perusahaan untuk membayar zakat.
Apabila sebuah perusahaan sudah membayarkan kewajiban zakat hartanya, para
pemilik saham tidak lagi berkewajiban mengeluarkan zakat dari kepemilikan
saham. Tetapi, apabila perusahaan tidak membayarkan kewajiban zakat hartanya,
maka para pemilik saham wajib mengeluarkan zakat saham dengan perhitungan zakat
sebagai berikut:
1.
Apabila kepemilikan saham bertujuan untuk penerimaan laba perusahaan (deviden),
saham tersebut masuk dalam ketentuan wajib zakat dari kategori aset keuangan,
yaitu dengan ketentuan sebagai berikut: Jika pemilik saham dapat mengetahui
nilai setiap saham dari total kekayaan perusahaan yang wajib zakat, si pemilik
tersebut wajib membayar zakat kepemilikan sahamnya sebesar 2,5% dari nilai
saham tersebut. Akan tetapi, jika si pemilik tidak dapat mengetahuinya, maka
laba saham tersebut dengan asset keuangan lainnya harus digabungkan.
2.
Seandainya kepemilikan saham bertujuan untuk diperjual belikan (capital
gain), saham tersebut masuk dalam ketentuan wajib zakat dari kategori
zakat perniagaan.
Contoh
:
Ibu
Amanda memiliki 650.000 lembar saham pada PT Anugerah Makmur, dengan harga
nominalnya Rp. 5.000 per lembar. Pada akhir tahun atau setelah satu tahun
kepemilikan, ia memperoleh laba (deviden)
sebanyak 550 per lembar, maka penghitungan zakatnya adalah:
Nilai
saham 650.000 X 5.000 = Rp. 3.250.000.000,-
Laba
saham 5.000 X 550 = Rp. 2.750.000,-
Rp.
3.252.750.000,-
Maka
zakatnya adalah 2,5% X 3.252.750.000 = Rp. 81.378.750,-
2.
Zakat Obligasi
Obligasi
merupakan istilah dari surat berharga bagi penerapan hutang dari pemilik/pihak
yang mengeluarkan obligasi atas suatu proyek dan memberikan kepada pemegang hak
bunga telah disepakati. Disamping nilai nominal obligasi tersebut pada saat
habisnya masa. Obligasi ialah surat pinjaman dan sebagainya yang dapat
diperdagangkan dan biasa dibayar dengan jalan untuk tiap-tiap tahun. Kalau
pemegang perusahaan turut memiliki perusahaannya dan nilai/kurs saham-sahamnya bisa
naik-turun, sehingga pemilik sahamnya bisa untung-rugi, seperti Mudharabah,
maka berbeda dengan pemilik obligasi, sebab ia hanya memberikan pinjaman kepada
pemerintah, bank yang mengeluarkan obligasi dengan diberi bunga tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu berlaku obligasi itu.
Mengenai
zakat obligasi ini, selama si pemilik obligasi belum dapat mencairkan uang
obligasi, karena belum jatuh temponya atau belum mendapat undiannya, maka ia
tidak wajib menzakatinya, sebab obligasi adalah harta yang tidak dimiliki secara
penuh, karena masih hutang, belum di tangan pemiliknya. Demikianlah pendapat
Malik dan Abu Yusuf. Apabila sudah bisa dicairkan uang obligasinya, maka wajib
segera dizakatinya sebanyak 2,5 % (Hasan 2003, hal. 59).
G.
Zakat Hasil Bumi Atas Tanah Yang Disewakan
Para
ulama‟ telah sepakat mewajibkan zakat atas hasil bumi berupa
tanam-tanaman dan buah-buahan yang sudah mencapai nisabnya (750 kg) pada setiap
panen, berdasarkan Al-Qur‟an surat Al-An‟am ayat 141 yang artinya: “Dan
dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung,
pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya
(yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan”. Hadist Nabi (dari Ibnu Umar r.a bahwa Nabi SAW.) bersabda : “Tanam-tanaman
yang dialiri oleh hujan dan mata air atau air yang datang sendiri, zakatnya
sepersepuluh, dan yang dialiri dengan alat penyiram seperduapuluh”.
(Hadist riwayat Bukhari dan lainlain).
Ayat
di atas menunjukan bahwa semua hasil bumi wajib dizakati tanpa ada terkecuali termasuk
pula hasil yang terkena pajak, tanaman keras seperti cengkeh, tanaman hias
seperti bunga anggrek, semua jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Zakat bumi
ini berkaitan dengan masa panennya bukan setahun sekali tetapi bisa lebih dari
sekali, jika bisa panen lebih dari sekali setahun dan sebaliknya bisa lebih
dari setahun sekali zakatnya,
jika
tanaman itu panennya lebih dari setahun.
Ulama hanya mewajibkan zakat atas empat macam hasil tanam-tanaman dan buah-buahan
yang ditetapkan berdasarkan nash itu tidak berarti bahwa selain empat macam
hasil bumi tersebut bebas zakat sama sekali. Sebab apabila selain empat macam
hasil bumi yang ditetapkan zakatnya berdasarkan nash hadist itu ditanam untuk
dijadikan komoditi perdagangan, maka sudah tentu wajib dizakati atas nama
perdagangan (2,5% setahun) bukan zakat hasil pertanian/perkebunan, misalnya
cengkeh, tebu dan kopi. Maka dari itu, apabila hasil bumi berupa tanam-tanaman dan
buah-buahan ditanam di atas tanah sewaan, siapakah yang wajib menzakati hasil tanah
yang disewakan, pemilik tanahkah atau penyewa tanah yang mengeluarkan zakat hasil
tanahnya?
Pendapat
Ulama Tentang Zakat Hasil Bumi Atas Tanah Yang Disewakan
Dalam
hal ini ada beberapa pendapat sebagai berikut:
1.
Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat, jika ada orang yang menyewa
sebidang tanah lalu ditanaminya atau dia meminjam tanah kemudian menanaminya
dengan tanaman yang berbuah, maka hasil atas tanah itu dikenakan zakat. Kewajiban
mengeluarkan zakat dibebankan kepada penyewa atau orang yang meminjam tanah
itu, bukan kepada pemilik tanah
karena sesungguhnya zakat itu diwajibkan atas tanaman. Tidak adil bila
kewajiban zakat diberikan kepada pemilik tanah sebab zakat dikenakan atas
tanamannya, dengan demikian dia berkewajiban mengeluarkan zakat karena menanami
tanahnya. Begitulah keterkaitan antara zakat, tanah, dan tanamannnya. Mahmud
Syaltut memperkuat pendapat jumhur dengan alasan bahwa beban zakat berkaitan dengan
hasil tanamannya, sehingga zakatnya itu sebagai pernyataan syukur yang bersangkutan
atas hasil tanaman yang baik, selamat dari musibah banjir, hama wereng dan sebagainya.
2.
Abu Hanifah berpendapat, pemilik tanah yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya,
sebab tanah itulah asal mula timbulnya kewajiban zakat, tiada tanah tiada pula
hasil tanaman. Madzab Maliki dan Syafi‟i
tidak sepakat dengan Abu Hanifah, mereka mengatakan, kewajiban zakat tanah sewaan
dibebankan kepada pihak penyewa karena tanah yang menghasilkan diwajibkan
zakatnya sebesar sepersepuluh dan yang menikmati hasil tanah itu adalah pinak
penyewa. Oleh karena itu pihak penyewa dibebani untuk membayar zakat sebesar
sepersepuluh dan dia dianggap sebagai peminjam, akan tetapi kita harus meminta Fatwa
imam untuk melaksanakannya karena begitulah makna lahiriyah riwayat yang ada.
Bila kewajiban zakat atas penyewa itu akan membawa manfaat yang lebih bagi
fakir miskin, kewajiban itu mesti dilaksanakan karena memang begitulah fatwa ulama‟
mutaakhirin.
Berkata
Ibnu Rusyd, ”sebab pertikaian mereka adalah, apakah zakat itu
kewajiban tanah atau kewajiban tanaman, ataukah kedua-duanya, yakni tanah dan
hasilnya. Nampaknya Jumhur melihat kepada harta benda yang wajib
dizakati, ialah berupa hasil tanaman itu, sedangkan Abu Hanifah melihat kepada “harta
benda yang menjadi asal mula timbulnya kewajiban zakat yaitu tanah”. Maka
dari itu Ibnu Qudamah memandang pendapat jumhur lebih kuat, katanya, ”zakat itu wajib pada tanaman, maka
terpikullah atas si pemilik tanaman itu, seperti menzakatkan uang sebagai harga
dari barang dagangan, dan mengeluarkan tanaman hasil tanah kepunyaan sendiri.
Jalan yang baik dan aman dalam pandangan agama adalah zakat dikeluarkan
oleh pemilik tanah dan penyewa walaupun jumlah yang dikeluarkan tidak sama besarnya”.
Mungkin si pemilik tanah yang lebih besar atau sebaliknya atas kesepakatan
bersama pada saat di buat perjanjian sewa-menyewa, dapat juga dengan cara bahwa
pemilik tanah mengeluarkan zakat dari hasil sewanya bila telah mencapai
nisab,demikian juga penyewa tanah mengeluarkan zakat dari hasil tanah yang dikelolanya,
dengan jalan ini baik pemilik tanah maupun penyewanya telah bersih jiwanya atau
dirinya. Begitu pula dengan harta yang diperoleh pemilik tanah (sewanya) dan penyewa
(hasil tanah yang diolah) telah bersih dari hak orang lain di dalamnya. Dengan cara
ini tidak ada helah atau upaya dari masing-masing pemilik dan penyewa
membebaskan diri dari kewajiban zakat, namun kuncinya sangat tergantung kepada kesadaran
kedua belah pihak.
Akan
tetapi dari pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan di atas bahwa yang berhak
mengeluarkan zakatnya adalah penyewa tanah atau yang memiliki tanaman tersebut
yang
mana
sesuai dengan pendapat jumhur yang lebih kuat yang dikemukakan oleh Ibnu
Qudamah dan juga pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Syafi‟i,
Ats-Tsauri Ibnu Mubarak, Abu Tsaur dan golongan fuqaha‟
lainnya. Sedangkan zakat yang harus dikeluarkan darinya ialah 10% atau 5% tergantung
dari tanahnya apa diairi dengan alat mekanik (dengan biaya) atau tidak, sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan/disepakati para ulama‟
berdasarkan hadist Nabi. (Didin 2002, hal. 65).
Yusuf
Qardawi memberikan pendapat bahwa menguatkan pendapat jumhur yang mewajibkan
zakat kepada pihak penyewa sehingga dia berkewajiban membayar uang sewanya dan sekaligus
membayar zakatnya, sementara pihak pemilik tidak dibebani membayar zakat. Imam
Al-Rafi’i dalam Syarah Al-Kabir juga sama pendapatnya dan mengatakan :
Tidak ada perbedaan antara tanah milik dan tanah dapat menyewa dalam hal wajib zakat
10% (atau 5%). Penyewa membayar zakat dan uang sewanya seperti halnya seorang
pedagang yang menyewa tempat untuk berdagang (toko), dia membayar uang sewa
toko dan zakat dagangannya. Selanjutnya Qardawi mengkritisi dan mengatakan bahwa
pendapat ini tidak dapat diterima dengan alasan bahwa karena pedagang akan
membayar zakatnya setelah mencapai haul dan setelah menghitung biaya-biaya yang
telah dikeluarkan, termasuk uang sewa dan gaji pegawai dan lain-lainnya
pertanian tidak demikian, dia harus membayar zakatnya pada setiap kali panen.
Menurut Qardawi yang adil adalah dikenakan wajib zakat pada keduanya karena
keduanya telah sama-sama memperoleh hasilnya. Tidaklah benar apabila membebaskan
sama sekali pihak penyewa dan membebankan keseluruhannya kepada pihak pemilik
seperti ketentuan madzhab Abu Hanifah, atau membebaskan pihak pemilik sama
sekali dan membebankan keseluruhannya kepada pihak penyewa seperti ketentuan
Jumhur ulama, tetapi harus dibebankan kepada keduaduanya.
Ibnu
Rusydi telah mengingatkan dengan pemikiran filsafatnya bahwa beban kewajiban
yang menyangkut pertanian bukanlah beban atas tanah semata-mata dan bukan pula
beban atas tanaman semata-mata, tetapi beban atas kedua-duanya. Ini berarti
bahwa beban kewajiban itu ditanggung bersama antara pemilik dan penyewa.
Selanjutnya Qardawi menjelaskan mengenai teknisnya dengan contoh-contoh di
Mesir. Di sini seandainya pemilik tanah menyewakan tanahnya seluas 10 Ha dengan
harga 2 juta permusim atau 4 juta pertahun dan penyewa memperoleh hasilnya 6,5
ton perhektar permusim atau 13 ton perhektar pertahun, maka pemilik
mengeluarkan zakatnya 10% X
Rp. 40.000.000,00 = Rp 4.000.000,00 sedangkan penyewa mengeluarkan zakatnya 10%
X 65 ton ditambah 20% (catu/upah derep) dikurangi uang sewa Rp.40.000.000,00,
jika harga gabah rata-rata Rp 1.250.000,00 perton, maka zakatnya = 10% X 78 ton
– 30 ton = 4,8 ton atau uang senilai Rp. 6.000.000,00. (Fiqh al-Zakat, I :
398-403).
Pengembangan
illat hukum selanjutnya dapat
dilihat dari praktek-praktek di lapangan, bahwa pemilik tanah, terutama yang
mencapai puluhan hektar menyewakan tanahnya pada setiap tahun dengan tujuan
untuk memperoleh keuntungan dengan resiko yang relatif kecil, seperti halnya
memiliki investasi berupa hotel atau tempat-tempat penginapan yang sengaja dibangun
untuk disewakan. Demikian pula orang-orang yang menyewa tanah dalam jumlah yang
besar, ditanami padi, jagung, tebu, tembakau, bawang, dan palawija tujuannya
untuk mengembangkan usaha melalui sektor-sektor yang dianggap akan
menguntungkan. Dengan demikian pola usaha yang mereka lakukan bukanlah pola
petani, tetapi pola pengusaha. Dalam prakteknya telah banyak orang yang membeli
sawah berpuluhpuluh hektar dengan tujuan untuk disewa-sewakan. Dengan demikian
mereka dikenakan wajib zakat usaha, bukan zakat pertanian, dengan menghitung
haul dan masing-masing hanya mengeluarkan 2,5%-nya. (Fahrur 20011, hal. 111).
Nishab
dan Kadar Zakat Sewa Tanah
Bagi
yang menyewakan sebidang tanah yang ia miliki, maka ia wajib membayar zakat
harga (sewa) berupa uang bila telah mencapai nishab (seharga 85 gram emas
murni) dan berlalu satu tahun dari sejak akad sewa-menyewa dengan kadar zakat
2,5%. Dari „Ali RadhiyAllahu „anhu, ia berkata, “Tidak
ada kewajiban zakat untukmu sehingga engkau memiliki 20 dinar (85 gram emas)
dan tekah lewat setahun. Yang zakatnya adalah setengah dinar”. Hasan.
HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi 620. (Hasan 2003, hal. 12).
Contoh
Perhitungan : Seseorang memiliki sebidang tanah yang disewakan dengan sewa
sebesar Rp. 20.000.000. Kadar nishab adalah 85 gram emas. Seandainya harga
setiap gram emas adalah Rp. 200.000 maka nishabnya adalah Rp. 17.000.000. Dengan
demikian uang hasil sewa tanah tersebut mencapai nishab dan harus dihitung
zakatnya. Besar zakat yang harus dikeluarkan : 2,5% x Rp. 20.000.000 = Rp.
500.000.
Comments
Post a Comment