RIBA
Oleh:
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Ar-Riba
-isim maqshur-
diambil dari kata rabaa – yarbuu, sehingga ditulis dengan alif
ar-ribaa ( اَلرِّبَا ). Ar-riba
asal maknanya adalah az-ziyadah (pertambahan) baik pada dzat sesuatu itu
sendiri, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
“…Hiduplah
bumi itu dan suburlah…” [Al-Hajj: 5]
Dan
bisa juga (pertambahan itu) terjadi pada pertukaran seperti satu dirham dengan
dua dirham.
Riba
hukumnya HARAM menurut al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ umat.
Allah
Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم
مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ
وَلَا تُظْلَمُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [Al-Baqarah: 278-279]
Allah
berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” [Al-Baqarah: 275]
Allah
juga berfirman:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا
وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” [Al-Baqarah: 276] [1]
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ
الْمُوبِقَاتِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: اَلشِّرْكُ
بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ
وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ
وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِِ.
“Jauhilah
oleh kalian tujuh (perkara) yang membinasakan.” Para Sahabat bertanya, “Apa
itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh
jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan cara yang haq, memakan riba, memakan
harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menu-duh wanita yang suci bersih
lagi beriman (dengan perzinaan).” [2]
Dari
Jabir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ j آكِلَ الرِّبَا
وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang
mewakilinya, pencatatnya dan dua saksinya. Beliau bersabda, “Mereka semua
sama.”
[3]
Dan
dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu a’nhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلرِّبَا ثَلاَثَةٌ
وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ.
“Riba
memiliki tujuh puluh tiga pintu (dosa), dan yang paling ringan (dosa)nya adalah
bagaikan seseorang yang menikahi ibunya.” [4]
Dari
‘Abdullah bin Hanzhalah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda:
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ
الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً.
“Satu
dirham (harta) riba yang dimakan seseorang yang ia mengetahui (bahwa itu riba)
adalah lebih dahsyat daripada tiga puluh enam zina.” [5]
Dari
Ibnu Mas’ud, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ
الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ.
“Tidaklah
seseorang memperbanyak (memakan) riba kecuali akibat dari perbuatannya adalah
(hartanya akan menjadi) sedikit.” [6]
Riba
ada dua macam: Riba Nasi’ah dan Riba Fadhl.
Adapun
Riba Nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh si
pemberi hutang (ad-da’in) dari si penghutang (al-madiin) sebagai
imbalan atas tempo (yang diberikan). Riba jenis ini HARAM dengan (dalil) al-Kitab,
as-Sunnah dan ijma’ ulama.
Adapun
Riba Fadhl adalah jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan
dengan ada tambahannya. Riba jenis ini HARAM dengan dalil as-Sunnah dan ijma’
karena ia merupakan wasilah kepada riba nasi’ah.
Riba
tidak terjadi kecuali pada al-ashnafus sittah (enam jenis) yang
disebutkan dalam hadits. Dari Ubadah bin ash-Shamit ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً
بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ
شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.
‘Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir,
kurma dengan kurma, garam dengan garam (hendaklah dijual) dengan timbangan yang
sama, persis dan langsung diserah terimakan (kontan). (Namun) jika berlainan
jenisnya maka juallah semau kalian asal ada serah terima.’” [7]. Apabila enam jenis
ini dijual dengan yang sejenisnya seperti emas dengan emas atau kurma dengan
kurma, maka haram dilakukan dengan tafadhul (saling dilebihkan) dan
haram pula dilakukan dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), dan
harus ada persamaan dalam timbangan atau takaran dan tidak perlu melihat kepada
(kualitas) baik dan buruknya, serta harus ada taqabudh (serah terima) di
majelis tersebut.
Dari
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ
بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ولاَ تَشِفُّوا بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ
تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ولاَ تَشِفُّوْا
بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ تَبِيْعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.
“Janganlah engkau
menjual emas dengan emas kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau
melebihkan sebagian atas yang lainnya. Janganlah engkau menjual perak dengan
perak kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan
sebagian atas yang lainnya dan janganlah engkau menjual barang yang ghaib
(tidak ada di majelis) dengan barang-barang yang hadir (di majelis).” [8]
Dari
‘Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلاَّ
هَاءَ وَهَاءَ.
“Emas
dengan emas riba kecuali jika langsung serah terima, gandum dengan gandum riba
kecuali jika langsung serah terima dan sya’ir dengan sya’ir riba kecuali jika
langsung serah terima dan kurma dengan kurma riba kecuali jika langsung serah
terima.”
[9]
Dari
Abu Sa’id, ia berkata, “Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kami pernah diberi kurma jama’ (yaitu) kurma campuran (antara yang bagus dengan
yang jelek), maka kami menjualnya dua sha’ dengan satu sha’. Berita
tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau
bersabda:
لاَ صَاعَيْ تَمْرٍ
بِصَاعٍ وَلاَ صَاعَيْ حِنْطَةٍ بِصَاعٍ وَلاَ دِرْهَمَ بِدِرْهَمَيْنِ.
“Janganlah
menjual dua sha’ kurma dengan satu sha’ dan jangan pula menjual dua sha’ gandum
dengan satu sha’ dan jangan pula satu dirham dengan dua dirham.” [10]
Dan
apabila enam jenis ini dijual dengan jenis yang lain seperti emas (dijual)
dengan perak atau gandum dengan sya’ir maka boleh tafadhul dengan syarat harus
diserahterimakan di majelis karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits ‘Ubadah yang telah disebutkan: “(Namun) jika berlainan jenisnya
maka juallah semau kalian asalkan ada serah terima.”
Dan
juga karena sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah
yang terdapat dalam riwayat Abu Dawud dan yang lainnya:
وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ
الذَّهَبِ بِالْفِضَّةِ، وَالْفِضَّةُ أَكْثَرُهُمَا, يَدًا بِيَدٍ, أَمَّا
نَسِيْئَةُ فَلاَ, وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ، وَالشَّعِيْرُ
أَكْثَرُهُمَا يَدًا بِيَدٍ، وَأَمَّا نَسِيْئَةُ فَلاَ.
“Tidak
mengapa menjual emas dengan perak dengan jumlah perak lebih banyak (apabila)
langsung serah terima adapun dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah
terimanya), maka tidak boleh. Dan tidak mengapa menjual gandum dengan sya’ir
dengan jumlah sya’ir lebih banyak (apabila) langsung serah terima, adapun
dengan cara nasi’ah maka tidak boleh.” [11]
Dan
apabila enam jenis ini dijual dengan jenis dan ‘illat (sebab) yang
menyelisihinya, seperti emas dengan gandum dan perak dengan garam, maka boleh
tafadhul dan juga nasi’ah.
Dari
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ
وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ.
“Bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
(pembayaran) tempo, dan beliau menggadaikan baju perangnya kepadanya.” [12]
Al-Amir
ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salaam (III/38), “Ketahuilah bahwa ulama
telah sepakat atas bolehnya menjual barang riba dengan barang riba lain yang
tidak sama jenisnya dengan cara ditangguhkan dan saling dilebihkan, seperti
menjual emas dengan gandum, perak dengan sya’ir dan yang lainnya dari
barang-barang yang ditakar.” (Selesai).
Juga
tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering kecuali bagi ahlul
‘araya, mereka adalah orang-orang fakir yang tidak memiliki pohon kurma,
maka mereka boleh membeli ruthab dari pemilik pohon kurma yang mereka makan dari
pohonnya dengan memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering).
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ، وَالْمُزَابَنَةُ
بَيْعُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلاً وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً.
“Bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang muzabanah (yaitu) menjual kurma basah
dengan tamr (kurma kering) dengan takaran dan menjual anggur basah dengan
anggur kering dengan takaran.” [13]
Dari
Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِصَاحِبِ الْعَرِيَّةِ أَنْ
يَبِيعَهَا بِخَرْصِهَا مِنْ التَّمْرِ
“Bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan bagi pemilik ariyah (pemilik
pohon kurma) untuk menjual kurma basah dengan memperkirakan (takarannya) dengan
tamr (kurma kering).”
[14]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah melarang menjual
ruthab dengan tamr lanaran ruthab apabila mengering akan berkurang takarannya,
se-bagaimana disebutkan dari Sa’id bin Abi Waqqash.
Dari
Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ j سُئِلَ عَنْ بَيْعِ
الرُّطَبِ بِالتَّمْرِ فَقَالَ أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ؟ قَالُوْا:
نَعَمْ فَنَهَى عَنْ ذلِكَ.
“Bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang menjual ruthab dengan tamr, maka beliau
menjawab, ‘Bukankah ruthab akan menyusut apabila mengering?’ Mereka menjawab,
‘Ya.’ Maka beliau melarangnya.” [15].. Juga tidak boleh menjual barang ribawi dengan yang sejenisnya,
sedangakan bersama keduanya atau bersama salah satunya jenis yang lain.
Dari
Fadhalah bin ‘Ubaid Radhiyallahu a’nhu, ia berkata, “Aku membeli kalung pada hari Khaibar seharga dua belas dinar, pada
kalung tersebut ada emas dan mutiara. Lalu aku melepas mutiaranya. Tiba-tiba
aku menemukan padanya lebih dari dua belas dinar. Lalu aku menceritakannya
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تُبَاعُ حَتَّى
تُفَصَّلَ.
‘Jangan
engkau jual sehingga engkau pisahkan (emas dengan mutiara).’” [16]
[Disalin
dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh
Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap,
Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir,
Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. (Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia akan memusnahkan riba, yakni Dia akan menghilangkannya baik secara keseluruhan dari tangan pemiliknya atau (dengan cara) menghalanginya dari berkah hartanya sehingga ia tidak bisa mengambil manfaat darinya bahkan Dia menghilangkannya ketika di dunia dan pada hari Kiamat akan mengadzabnya.
[2]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/393, no. 2766), Shahiih Muslim (I/92, no. 89), Sunan Abi Dawud (VIII/77, no. 2857), Sunan an-Nasa-i (VII/257).
[3]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 955), Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 509)], Shahiih Muslim (III/1219, no. 1598).
Footnote
[1]. (Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia akan memusnahkan riba, yakni Dia akan menghilangkannya baik secara keseluruhan dari tangan pemiliknya atau (dengan cara) menghalanginya dari berkah hartanya sehingga ia tidak bisa mengambil manfaat darinya bahkan Dia menghilangkannya ketika di dunia dan pada hari Kiamat akan mengadzabnya.
[2]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/393, no. 2766), Shahiih Muslim (I/92, no. 89), Sunan Abi Dawud (VIII/77, no. 2857), Sunan an-Nasa-i (VII/257).
[3]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 955), Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 509)], Shahiih Muslim (III/1219, no. 1598).
[4].
Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3539)], Mustadrak al-Hakim (II/37).
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3375)], Ahmad (Fat-hur
Rabbaani, XV/69, no. 230).
[6].
Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (5518)], Sunan Ibni Majah
(II/765, no. 2279)
[7]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 949)], Shahiih Muslim (III/1211, no. 1587 (81))
[8]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/379, no. 2177), Shahiih Muslim (III/ 1208, no. 1584), Sunan an-Nasa-i (VII/278), Sunan at-Tirmidzi (II/355, no. 1259) dengan lafazh yang seperti ini.
[7]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 949)], Shahiih Muslim (III/1211, no. 1587 (81))
[8]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/379, no. 2177), Shahiih Muslim (III/ 1208, no. 1584), Sunan an-Nasa-i (VII/278), Sunan at-Tirmidzi (II/355, no. 1259) dengan lafazh yang seperti ini.
[9].
Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/347, no. 2134) dan ini adalah
lafazh-nya, Shahiih Muslim (III/1209, no. 1586), Sunan at-Tirmidzi (II/357, no.
1261), Sunan an-Nasa-i (VII/273) dan pada riwayat mereka, lafazh yang pertama
adalah: “Emas dengan perak.” Sunan Abi Dawud (IX/197, no. 3332) dengan dua
lafazh.
[10].
Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1216, no. 1595) dan ini adalah lafazhnya,
Shahiih al-Bukhari (IV/311, no. 2080) secara ringkas dan Sunan an-Nasa-i
(VII/272)
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/195)], Sunan Abi Dawud (IX/198, no. 3333).
[12]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1393)], Shahiih al-Bukhari (IV/399, no. 2200).
[13]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/384, no. 2185), Shahiih Muslim (III/ 1171, no. 1542) Sunan an-Nasa-i (VII/266)
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/195)], Sunan Abi Dawud (IX/198, no. 3333).
[12]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1393)], Shahiih al-Bukhari (IV/399, no. 2200).
[13]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/384, no. 2185), Shahiih Muslim (III/ 1171, no. 1542) Sunan an-Nasa-i (VII/266)
[14].
Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1169, no. 1539 (60)) dan ini adalah
la-fazhnya, juga diriwayatkan dengan lafazh sejenis dalam Shahiih al-Bukhari
(IV/390, no. 2192), Sunan Abi Dawud (IX/216, no. 3346), Sunan an-Nasa-i
(VII/267), Sunan at-Tirmidzi (II/383, no. 1218), Sunan Ibni Majah (II/762, no.
2269). Dan definisi ‘Ariyah yaitu memberikan buah kurma tanpa pohonnya.
Di musim kemarau, bangsa Arab (biasanya), orang yang memiliki pohon kurma
bersedekah kepada orang yang tidak memiliki buahnya sebagaimana orang yang
memiliki kambing atau unta bersedekah dengan manihah (yaitu) memberikan susu
tanpa memberikan hewannya. Dan telah diperselisihkan tentang apakah yang
dimaksud dengannya secara syara’. Imam Malik berkata, “’Ariyah adalah seseorang memberikan pohon kurma kepada orang lain,
kemudian ia merasa terganggu dengan masuknya ia (ke kebunnya), maka ia diberi
rukhsah untuk membelinya darinya dengan tamr.” Yazid berkata dari Sufyan
bin Husain, “’Araya adalah pohon kurma
yang dihibahkan kepada orang-orang miskin dan mereka tidak sanggup untuk
menunggunya, maka diberikan rukhsah bagi mereka untuk menjualnya dengan apa
yang mereka kehendaki dari tamr.” . Lihat Fat-hul Baarii (IV/390).
[15].
Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1352)], Sunan Abi Dawud (IX/211, no. 3343),
Sunan Ibni Majah (II/761, no. 2264), Sunan an-Nasa-i (VII/269), Sunan
at-Tirmidzi (II/348, no. 1243).
[16]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1356)], Shahiih Muslim (III/1213, no. 1591 (90)), Sunan at-Tirmidzi (II/363, no. 1273), (IX/202, no. 3336), Sunan an-Nasa-i (VII/279).
[16]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1356)], Shahiih Muslim (III/1213, no. 1591 (90)), Sunan at-Tirmidzi (II/363, no. 1273), (IX/202, no. 3336), Sunan an-Nasa-i (VII/279).
( Sumber: https://almanhaj.or.id/1647-riba.html
)
Comments
Post a Comment