Skip to main content

Muzara'ah

MUZARA’AH
Oleh: Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Al-Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap tanah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia mem-peroleh setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya.
Dari Nafi’ bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma memberitahukan kepadanya:
عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ.
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap tanah di Khaibar dan mereka mendapat setengah dari hasil buminya berupa buah atau hasil pertanian.”[1]
Imam al-Bukhari berkata [2] , Qais bin Muslim telah berkata dari Abu Ja’far, ia berkata, "tidaklah di Madinah ada penghuni rumah Hijrah kecuali mereka bercocok tanam dengan memperoleh sepertiga atau seperempat (dari hasilnya), maka Ali, Sa’ad bin Malik, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Qasim bin ‘Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga ‘Umar, keluarga ‘Ali dan Ibnu Sirin melakukan muzara’ah.
Dari siapakah biaya (perawatannya)?. Tidak mengapa apabila biaya perawatan dibebankan kepada pemilik tanah atau kepada penggarap atau kepada mereka berdua. Imam al-Bukhari berkata [3] , “’Umar bermuamalah dengan orang-orang (dengan perjanjian) bila ‘Umar yang membawa benih maka ia memperoleh setengah (dari hasilnya) dan bila mereka yang membawa benih, maka mereka memperoleh sekian.”. Ia (al-Bukhari) melanjutkan, “Berkata al-Hasan, ‘Tidak mengapa tanah tersebut jika milik salah satu dari mereka berdua, lalu mereka bersama-sama mengeluarkan biaya. Maka apa yang dihasilkan dibagi antara kedua belah pihak.’ Demikianlah yang menjadi pendapat az-Zuhri.”
Tidak diperbolehkan muzara’ah (dengan perjanjian) bahwa petak yang ini (hasilnya) bagi si pemilik tanah dan petak yang di sana bagi si penggarap. Demikian pula tidak boleh bagi si pemilik tanah untuk mengatakan, “Aku memperoleh darinya (tanah ini) sekian dan sekian wasaq.”
Diriwayatkan dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khudaij, ia berkata, “Dua orang pamanku bercerita kepadaku bahwa dahulu mereka pernah menyewakan tanah di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan memperoleh hasil) dari apa yang tumbuh di atas Arbu’a (yaitu sungai kecil) atau sesuatu yang dikecualikan oleh si pemilik tanah, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang akan hal tersebut.” Aku lalu bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana jika (disewakan) dengan dinar atau dirham?” Rafi’ menjawab, “Tidak mengapa jika dengan dinar atau dirham.”
Al-Laits berkata, “Yang dilarang adalah (apabila) orang-orang yang mengerti tentang halal dan haram melihat kepadanya, maka mereka tidak memperbolehkannya karena ada unsur mengadu peruntungan.” [4]
Disebutkan juga dari Hanzhalah ia berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak? Ia menjawab, “Tidak mengapa dengannya, hanyalah orang-orang di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewakan dengan imbalan (apa yang tumbuh) di tepian-tepian sungai dan sumber-sumber air serta sesuatu dari pertanian, maka yang sisi (petak) ini hancur dan petak yang lainnya selamat, dan petak yang ini selamat petak yang lain hancur. Dan orang-orang tidak menyewakan tanah kecuali dengan cara ini, oleh karena itulah dilarang. Adapun sesuatu yang jelas dan dijamin, maka tidak mengapa dengannya.” [5]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis: Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
________________
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/13, no. 2329), Shahiih Muslim (IX/1186, no. 1551), Sunan Abi Dawud (IX/272, no. 3391), Sunan Ibni Majah (II/824, no. 2467), Sunan at-Tirmidzi (II/421, no. 1401).
[2]. Shahih: Shahiih al-Bukhari (V/10).
[3]. Ibid.
[4]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/299)], Shahiih al-Bukhari (V/25, no. 2346, 2347), Sunan an-Nasa-i (VII/43) tanpa perkataan al-Laits, dan al-Arbu’aa adalah jamak dari Rabii’ yaitu sungai kecil.
[5] Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/302)], Shahiih Muslim (III/1183, no. 1547 (116)), Sunan Abi Dawud (IX/250, no. 3376), Sunan an-Nasa-i (VII/43). Al-Madz-yanat adalah sungai-sungai, ia diambil dari perkataan ‘ajam (non Arab) yang kemudian masuk ke dalam perkataan mereka. Aqbaalul jadawil, yaitu per-mulaan dan kepala jamak dari qubl dengan dhammah. Dan qubl artinya juga puncak gunung. Al-jadawil jamak dari jadwal yaitu sungai kecil, (selesai). Diambil dari Hasyiah as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa-i (VII/43).

( Sumber: https://almanhaj.or.id/1646-muzaraah.html )

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Portfolio and Default Risk of Islamic Microfinance Institutions

Portfolio and Default Risk of Islamic Microfinance Institutions By: Dr. Luqyan Tamanni, MEc Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Abstract Islamic microfinance is a growing sector that is expected to provide a long-term solution to poverty in the Muslim world. The role of microfinance institutions in poverty alleviation is still debatable, however, established literature provides assurance that microfinance does contribute to the development of the financial sector and reduction of poverty in developing countries. The rise of competition in the microfinance sector has forced many microfinance institutions to resort to commercial funding and lending activities, which according to some studies has led microfinance institutions to become riskier. The paper explores portfolio and default risk of Islamic Microfinance Institutions (IMFIs) and finds that they are facing relatively lower risks than conventional MFIs. Using Ordinary Least Squares regression to analyse port...