Model Pengembangan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Berbasis E-Money Sebagai Upaya Akselesasi Ekonomi Syariah di Indonesia
MODEL
PENGEMBANGAN KOPERASI PONDOK PESANTREN (KOPONTREN) BERBASIS E-MONEY SEBAGAI
UPAYA AKSELERASI EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA
Oleh: Annisa
Nur Salam: Ani Nur Isro’iyah Firdaus (Hasil Karya Orisinalitas dari Penulis), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016
Abstraksi
Pondok
pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang memiliki jaringan kuat.
Hingga saat ini, tercatat ada 27.230 pondok pesantren yang tersebar di seluruh
Indonesia. Dalam era modern saat ini, fungsi pondok pesantren bukan hanya
berfungsi sebagai lembaga pendidikan berbasis agama Islam. Tetapi, pesantren
juga memiliki fungsi sebagai lembaga sosial kemasyarakatan. Pondok pesantren
dipandang potensial menjadi basis ekonomi kerakyatan dan pusat pengembangan
ekonomi umat di daerah-daerah, baik dalam bentuk lembaga keuangan syariah atau
koperasi pondok pesantren. Di samping itu, alat pembayaran elektronik di
Indonesia masih minim digunakan. Padahal dengan menggunakan alat pembayaran
elektronik dapat menjadikan transaksi lebih praktis, efesien dan aman.
Oleh sebab
itu, penulis menawarkan adanya sinergitas antara pihak Bank Indonesia (BI) dan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan seluruh pondok pesantren di Indonesia guna
mengembangkan koperasi pondok pesantren (kopontren). Dimana dalam
imlementasinya, unit-unit usaha yang berada di bawah kopontren diwajibkan untuk
menerapkan e-money sebagai alat pembayaran. Tulisan dengan metode kualitatif
deskriptif ini akan membahas pengembangan model kopontren dengan akad-akad
ekonomi syariah dalam operasionalnya serta e-money sebagai alat transaksinya.
Harapannya,
pondok pesantren beserta masyarakat sekitarnya mampu mandiri secara ekonomi dan
model ini mampu turut mensukseskan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Jika
model ini diimplementasikan diseluruh pondok pesantren di Indonesia, tentunya
akan berkontribusi besar bagi perekonomian nasional. Di samping itu, aplikasi
ekonomi syariah di Indonesia mampu diterapkan dalam ranah keuangan pondok
pesantren.
A.
Pendahuluan
Pesantren
merupakan suatu khazanah pendidikan yang telah hadir jauh sebelum berdirinya
sekolah. Lembaga ini telah memberikan kontribusi besar bagi dunia pendidikan
dan pembentukan sumber daya manusia. Seiring berjalannya waktu, pondok
pesantren telah mengalami perkembangan di Indonesia, baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Kementerian Agama
Republik Indonesia (2012), terdapat 27.230 pondok pesantren yang tersebar di
seluruh Indonesia. Dengan jumlah secara keseluruhan sebanyak 3.759.198 orang
santri, terdiri dari 1.886.748 orang santri laki-laki (50,19%), dan 1.872.450
orang santri perempuan (49,81%).
Adapun
populasi pondok pesantren terbesar berada di Provinsi Jawa Barat sebanyak 7.624
pondok (28%), Jawa Timur sebanyak 6.003 pondok (22,05%), Jawa Tengah sebanyak
4.276 (15,70%), Banten sebanyak 3.500 pondok (12,85%) dan sisanya sebesar 21,4%
atau setara dengan 5.827 pondok berada di provinsi lain.
Pada fase
awal berdirinya, pesantren hanya mengacu pada pengembangan bidang ilmu
pendidikan keagamaan saja. Namun seiring berjalannya waktu, pesantren telah
berhasil melakukan gerakan sosial dengan meberdayakan masyarakat yang berada di
lingkungan sekitarnya. Menurut Azyumardi Azra (1997) sebagaimana dikutip Nadzir
(2015), saat ini pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsi tradisional
sebagai lembaga yang melakukan transfer ilmu-ilmu Islam. Lebih dari itu,
pesantren juga harus mampu menjadi pusat pemberdayaan masyarakat.
Di samping
itu, dengan semakin berkembangnya masyarakat dan arus globalisasi, pondok
pesantren dituntut untuk mengadakan perubahan-perubahan secara perlahan tanpa
menanggalkan ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan agama. Perubahan-perubahan
yang dilakukan pesantren salah satunya adalah pesantren dikembangkan tidak
hanya mengajarkan tentang agama atau kitab kuning saja, tetapi juga pesantren
dapat dikembangkan menjadi basis ekonomi kerakyatan dan pusat pengembangan
ekonomi umat di daerah-daerah, baik dalam bentuk lembaga keuangan syariah atau
koperasi pondok pesantren (Eljunusi: 2012).
Salah satu
isu yang sedang banyak diperbincagkan terkait pondok pesantren kaitannya dengan
unsur ekonomi dan keuangan ialah adanya kerja sama yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan beberapa pondok pesantren dalam menerapkan Layanan Keuangan
Digital (LKD). Pesantren dipanadang potensial dalam mengembangkan LKD karena
institusi tersebut memiliki jaringan kuat dan pengaruh besar hingga ke kalangan
alumni-alumni santrinya dan masyarakat sekitar. Selain itu, pesantren juga
telah memiliki unit usaha yang memiliki legalitas, yang telah berpengalaman
melayani transaksi keuangan bagi masyarakat rural. (Departemen Komunikasi BI:
2015).
Salah satu
indikator yang berkaitan denga LKD ialah adanya implementasi pembayaran non
tunai. Dalam perkembangannya, dari tahun 2010 sampai 2014, transaksi non tunai
di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan publikasi
Bank I donesia pada triwulan ke 3 tahun 2014, nilai transaksi pembayaran non
tunai meningkat sebesar Rp8.742,08 triliun (26,97%). Sedangkan volume
transaksinya meningkat sebesar 36,12 juta transaksi atau setara dengan 3,16%
(Bank Indonesia: 2014).
Meskipun
nilai transaksi pembayaran non tunai meningkat, numun jika dibandingkan dengan
penggunaan uang tunai, selisihnya masih jauh tertinggal. Nilai transaksi yang
menggunakan Uang Elektronik pada tahun 2013 sebesar Rp 1,27 triliun dan volume
transaksinya tercatat sebesar Rp 64,99 juta transaksi atau lebih kecil nilai
transaksinya dari penggunaan uang kartal sebesar Rp 420,9 trliun (Bank Indonesia:
2014). Persentase antara penggunaan e-money dengan uang tunai selisih
perbedaannya sangat jauh yaitu 0.3% dibandingkan dengan 99,7%.
Padahal,
terdapat beberapa keuntungan dengan menngunakan uang elektronik. Menurut Dias
(1999) dalam Pramono et al (2006 : 24), keberadaan alat pembayaran non tunai
menggunakan kartu dapat mengurangi biaya menunggu dan biaya transaksi
masyarakat untuk memegang uang baik untuk keperluan transaksi maupun
berjaga-jaga. Penggunaan alat pembayaran non tunai berbasis kartu dapat terasa
lebih praktis dan efisien serta menghemat biaya transaksi serta menghemat
waktu. Kemudahan yang diberikan oleh e-money membuat para pengguna tidak perlu
menyiapkan atau membawa dana tunai kemanapun saat pergi dan terhindar dari
adanya uang palsu yang mungkin didapat jika melalukan transaksi secara tunai
(Abidin: 2015).
Berdasarkakan
pemaparan di atas, tulisan ini bertujuan untuk menawarkan model pengembangan
implementasi e-money sebagai salah satu alat pembayaran elektronik. Bentuk
pengembangan tersebut dapat diimplementasikan melalui kerjasama dengan pondok
pesantren sebagai instansi yang memiliki jaringan yang kuat dan dipercaya oleh
masyarakat. Dimana e-money wajib digunakan di lingkunagan pondok pesantren
ketika bertransaksi di seluruh unit usaha yang tergabung dalam koperasi pondok
pesantren.
Harapannya,
pondok pesantren dan masyarakat di sekitarnya mampu mandiri secara ekonomi
dengan keberadaan koperasi pondok pesantren (kopontren). Di samping itu,
aplikasi kegiatan transaksi di kopontren dapat berlangsung secara praktis,
efesien dan aman dengan menggunakan alat pembayaran e-money. Tentunya hal
tersebut sekaligus mendorong dan mempercepat Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT)
agar segera dikenal oleh beragai lapisan masyarakat.
Adapun
teori-teori umum yang digunakan dalam penulisan ini adalah
sebagai
berikut:
a) Pondok
Pesantren.
Istilah
pesantren diangkat dari kata santri yang berarti murid. Sedangkan pondok
berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) yang berarti rumah penginapan atau
hotel. Akan tetapi podok di Indonesia ialah perumahan sederhana yang
dipetak-petak dalam bentuk kamar yang merupakan asrama bagi santri (HA Timu
Jailani: 1982 dalam Abdullah: 2012). Pesantren juga dapat dipahami sebagai
lembaga pendidikan dan pen
gajaran
agama, yang diselenggarakan dengan cara nonklasikal. Seorang kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada
santri-santri berdasarkan kitab- kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh
ulama abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok dalam
pesantren tersebut (Sudjono:1982 dalam Azizah: 2014).
Mengutip
dari Rasyid (2015), menurut Zamakhsari Dhofier terdapat lima elemen dasar yang
menjadi unsur pesantren, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab
klasik, dan kyai. Adapun fungsi dari pesantren tidak hanya sebagai pusat
pengkaderan pemikir-pemikir agama (center of exellence), sebagai lembaga yang
mencetak sumber daya manusia (human resource), tetapi juga diharapkan menjadi
lembaga yang dapat melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development)
dalam segala bidang termasuk dalam bidang ekonomi (Nadzir: 2015). Senada dengan
pendapat Abdurrahman (2015), bahwasanya pondok pesantren diharapkan mampu
berdampingan dan memberikan kontribusi bagi perkembangan masyarakat di sekitar
lingkungannya, baik dalam bidang keagmaan maupun bidang lainnya, seperti
sosial, ekonomi dan budaya.
Pondok
pesantren merupakan salah satu lembaga yang masih lemah dalam bidang
ekonominya. Oleh sebab itu, menurut Suwito (2010) sebagaimana dikutip oleh
Azizah (2014), pesantren memerlukan konsep manajemen yang dimaksudkan untuk
pendorong dan penguat ekonomi santri, kelembagaan, inovasi dan networking,
memperkuat potensi ekonomi lokal, serta pemberdayaan ekonomi umat. Sebagai
dampak dari hasil implementasi manajmen unit usaha pondok pesantren yang
berhasil, maka akan terbentuk karakteristik secara umum, seperti pelaksanaan
kegiatan unit usaha berbasis leraning by doing, implementasi prinsip self
berduring system, terbentuknya kemandirian ekonomi pesantren serta keseimbangan
kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah (Fasa: 2014).
b) Koperasi
Pondok Pesantren (Kopontren)
Koperasi
pondok pesantren adalah pondok pesantren yang memiliki badan usaha yang
berbentuk koperasi dan angota-anggotanya adalah masyarakat pesantren baik yang
berada di dalam pondok maupun di luar pondok. Secara organisasi koperasi pondok
pesantren tidak hanya merupakan organisasi yang menggunakan sistem ekonomi
sosial tetapi juga mempunyai dimensi religi yang terintergalistik dengan
kegiatan-kegiatan individu (anggota) yang bertekat untuk memperbaiki situasi
ekonomi dan sosial mereka, melalui usaha-usaha bersama saling membentu dan
amanah yang berdasarkan akidah-akidah agama untuk kepentingan bersama. (Eljunusi:
2012).
Aji (2011)
dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa hal-hal yang harus diperhatikan dalam
mengelola koperasi pondok pesantren diantaranya ialah: memberi kesempatan
pendidikan dan pelatihan yang merata kepada anggota; keterbukaan ide; semua
anggota memperoleh kesempatan yang sama dalam akses informasi; meningkatkan
kesejahteraan anggota; meningkatkan pelayanan pada anggota; anggota selalu
dilibatkan dalam berbagai kebijakan strategis; serta menjalin kerjasama dengan
lembaga-lembaga lain dalam rangka memperkuat dan menjalin networking koperasi
pondok
pesantren.
Koperasi
pondok pesantren memiliki posisi yang strategis untuk terus dikembangkan karena
beberapa hal sebagaimana berikut: terdapat banyak pondok pesantren di Indonesia;
pondok pesantren bersentuhan langsung dengan kehidupan sosial keagamaan
masyarakat di sekitar pesantren; pesantren hidup selama 24 jam sehari semalam;
pesantren mengakar pada masyarakat; pesantren dipercaya oleh masyarakat; serta pesantren
merupakan lembaga pengembangan watak yang populis dan egaliter (Eljunusi:
2012).
c) Akad
Wadiah, Musyarakah dan Mudharabah
Wadi’ah
merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun
badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja ketika yang
menitipkan menghendakinya (Mustofa: 2013). Dalam konteks wadi’ah, barang yang
dititipkan hanyalah sebatas titipan, tidak dibolehkan adanya tambahan ketika
dikembalikan kepada penitipnya, terkecuali adanya bonus (Murdadi: 2016).
Berikut merupakan skema akad wadi’ah: Musyarakah merupakan kerjasama antara dua
orang atau lebih, di
mana semua
orang yang bekerjasama tersebut berkontribusi dalam modal (baik itu uang
ataupun tenaga kerja). Jika mengalami keuntungan maka dibagikan kepada
masing-masing sesuai kesepakatan. Dan jika mengalami kerugian, maka dibagikan
pula berdasarkan persentase kontribusi modal (Antonio, 2008).
Sedangkan
mudharabah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih, di mana sebagian orang
hanya berkontribusi modal, dan sebagiannya lagi berkontribusi sebagai tenaga
kerja. Jika terjadi kerugian maka ditanggung oleh pemilik modal. Namun, jika
kerugian tersebut akibat dari kesalahan pengelola modal, maka ditanggung oleh
pengelola modal tersebut. Adapun keuntungan yang diperoleh dibagikan sesuai
kesepakatan (Antonio, 2008).
Namun,
implementasinya di lembaga keuangan memiliki permasalahan sehingga tidak sesuai
dengan teori fikih muamalat. Sebagaimana hasil penelitian Nugraheni (2010) yang
menyimpulkan bahwa dalam prakteknya Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) tidak
menyatakan dengan jelas terkait kewajiban LKS dalam menaggung kerugian dan
resiko
secara
bersama-sama. Selain itu, LKS juga mematok proyeksi pendapatan yang pada
akhirnya dapat mengaburkan mekanisme bagi hasil dan cenderung menyerupai
praktik di bank konvensional.
d) Uang
Elektronik (E-Money)
Uang
elektronik adalah uang yang digunakan dalam transaksi internet dengan cara
elektronik. Biasanya, transaksi ini melibatkan penggunaan jaringan komputer.
Uang elektronik memiliki nilai tersimpan (stored-value) atau prabayar (prepaid)
dimana sejumlah nilai uang disimpan dalam suatu media elektronis yang dimiliki
seseorang (Adiyanti: 2015). Uang elektronik (e-money) ini dapat digunakan untuk
berbagai macam jenis pembayaran (multi purposed), tidak seperti kartu telepon
yang merupakan single-purpose prepaid card (Ramdani: 2016).
Nilai uang
elektronis dapat diperoleh dengan menyetorkan sejumlah uang tunai atau dengan
pendebetan rekeningnya di bank untuk kemudian disimpan dalam peralatan
elektronis yang miliknya. Dengan peralatan tersebut, pemiliknya dapat melakukan
pembayaran atau menerima pembayaran, dimana nilainya akan berkurang pada saat
digunakan untuk melakukan pembayaran atau bertambah jika menerima pembayaran
atau pada saat pengisian kembali (Abidin: 2015).
Uang
elektronik (e-money) merupakan sebuah inovasi untuk kebutuhan transaksi
pembayaran yang bersifat mikro (retail) yaitu pembayaran dalam jumlah sedikit.
Penggunaan e-money hanya menempelkan kartu pada sensor alat yang disediakan
penerbit pada pedagang (merchant) maka transaksi pembayaran berhasil dilakukan
dengan
pemotongan saldo yang ada pada kartu. Hal ini mempermudah konsumen karena tidak
perlu membawa uang tunai jika ingin melakukan pembayaran, sehingga dapat
mengurangi tingkat kriminalitas (Candrawati:2013).
Berbeda
dengan alat pembayaran elektronik lainnya (phone banking, internet banking,
kartu debit/kredit, kartu ATM), uang elektronik tidak memotong saldo rekening
nasabah yang menggunakannya. Dengan demikian pada prisipnya seseorang yang
memiliki e-money sama dengan memiliki uang tunai. Hanya saja nilai uang
tersebut telah dikonversi ke dalam bentuk elektronik (Utomo: 2016).
B. Metode
Penulisan
Metode yang
dilakukan dalam penulisan ini yaitu melalui pendekatan penelitian, metode
pengumpulan data dan metode analisis data. Pendekatan penelitian yang digunakan
adalah pendekatan secara kualitatif. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu
memberikan gambaran yang lebih eksploratif ketika menjelaskan komponen-komponen
penting yang dibahas dalam tulisan ini. Adapun metode pengumpulan data yaitu
dengan cara melakukan studi literatur dari berbagai buku, naskah akademik,
jurnal, artikel, serta dokumen- dokumen
yang terkait lainnya. Dan anlisis data yang digunakan ialah bersifat deskriptif.
C.
Pembahasan
a) Model
Pengembangan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) sebagai
Roda
Penggerak Perekonomian Masyarakat
Saat ini
pondok pesantren dipandang mampu menjadi lembaga yang berfungsi dalam
memberdayakan masyarakat disekitarnya termasuk dalam bidang perekonomian.
Menurut Azizah (2014), diperlukan adanya konsep ekoproteksi yang diterapkan di
setiap pondok pesantren. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa ekoproteksi adalah
perlindungan dalam rangka memandirikan ekonomi dan mewujudkan atau melepaskan
diri dari ketergantungan. Serta membangun dan mempertahankan eksistensinya, melalui
ekonomi yang diaktualisasikan dalam fungsi manajemen ekonomi.
Dalam hal
ini penulis menawarkan konsep koperasi pondok pesantren (Kopontren) sebagai
lembaga yang berafiliasi dengan pondok pesantren. Dengan adanya kopontren,
masyarakat disekitar pondok pesantren dapat membuka unit-unit usaha yang menunjang
kebutuhan santri maupun usaha lainnya yang dibutuhkan masyarakat. Tentunya hal
tersebut merupakan hal menarik yang mampu dijadikan roda penggerakan ekonomi
masyarakat. Baik dari sisi mengurangi pengangguran maupun meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Menurut
Sinaga (2010), koperasi memiliki sistem sosio ekonomi dengan ciri-ciri seperti
cooperatives group, self help, cooperative enterprise, serta member promotion.
Disamping itu, koperasi juga memiliki asas dari rakyat untuk rakyat oleh
rakyat. Maka jika diterapkan dalam lingkungan pondok pesantren yang penuh
dengan kebersamaan, tolong-menolong dan kekeluargaan dirasa akan mudah diterima
oleh semua pihak.
Satu
diantara banyak fungsi dari kopontren adalah sebagai lembaga simpan pinjam
berskala mikro yang dapat diakses oleh keluarga besar pondok pesantren, para
santri dan masyarakat sekitar. Dalam implementasinya, lembaga simpan pinjam ini
beroperasi sesuai dengan syariah-syariah Islam. Oleh sebab itu, lembaga ini
disebut dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS). LKMS ini harus memiliki
izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang mengawasi seluruh
lembaga keuangan di
Indonesia.
Sehingga akan menjadi lembaga yang formal, legal dan tidak menyalahi regulasi
yang ada. Di samping di bawah pengawasan OJK, kopontren juga bekerjasama dengan
Bank Indonesia dalam penggunaan alat pembayaran e-money yang akan dijelaskan
secara khusus dalam sub bab pembahasan terakhir.
Kopontren
merupakan lembaga bersama yang dimiliki oleh anggota yang tergabung di
dalamnya. Maka modal atau sumber dana kopontren didapat dari anggota serta dari
dana infaq dan shadaqoh. Dimana hasil dana yang terkumpul digunakan untuk
kepentingan bersama, bukan hanya untuk kepentingan satu pihak saja. Yaitu
kembali pada para anggotanya dan untuk memfasilitasi sarana prasaran pondok
pesantren sebagai lembaga publik. Karena sebagaimana yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwasanya kopontren didirikan oleh anggota dan untuk anggota.
Jenis unit
usaha yang berada di bawah kopontren bisa berbagai jenis sesuai dengan potensi
dan kondisi di masing-masing lokasi pondok pesantren. Unit usaha yang pada
umunya berada di sekitar pondok pesantren ialah poliklinik, apotik, foto copy,
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), warung makan, foto studio, wartel,
loundry, percetakan, mini mart, took buku, kendaraan umum, warnet, air minum
dan lain sebagainya. Dengan adanya unit usaha yang telah penulis contohkan di
atas, tentunya dapat memberikan kemudahan para santri yang mondok di pesantren
dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sehingga tercipta sesuatu yang saling menguntungkan
antara pihak pondok pesantren dengan masyarakat.
b) Model
Implementasi Akad Syariah dalam Operasional Kopontren
Kopontren
sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) didirikan untuk memberikan jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melaui pinjaman atau
pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat. Hal lainnya
ialah melakukan pengelolaan simpanan dan pemberian jasa konsultasi pengembangan
usaha. Kopontren ini tidak semata-mata hanya ingin mencari keuntungan saja,
akan tetapi lebih berfokus pada kesejahteraan pondok pesantren beserta
masyarakat sekitarnya.
Di samping
itu, masyarakat di sekitar pondok pesantren juga dapat melakukan simpanan di
kopontren dengan menggunakan akad wadiah dan mudharabah. Akad wadiah digunakan
bagi anggota yang ingin menyimpan uangnya saja. Sedangkan akad mudharabah
digunakan bagi anggota yang ingin menyimpan uangnya untuk kemudian dijadikan
pemebrian modal bagi anggota yang defisit. Sehingga nantinya anggota yang
surplus akan mendapatkan keuntungan bagi hasil. Anggota juga dapat melakukan pembiayaan
atau pinjaman dana dengan menggunakan akad musyarakah dan mudharabah.
Musyarakah dilakukan oleh anggota yang membutuhkan dana tambahan. Sedangkan
mudharabah dilakukan oleh anggota yang sama sekali tidak memiliki dana untuk
usahanya.
Dana yang
terkumpul di kopontren diberdayakan melalui unit-unit usaha yang dibentuk dalam
dua cluster, yaitu cluster jasa dan cluster barang. Cluster jasa dapat
dicontohkan seperti jasa foto copy, foto studio dan loundry. Adapun cluster
barang misalnya mini market, warung makan dan toko buku. Dengan adanya
pembagian cluster seperti ini, akan mempermudah pihak kopontren dalam melakukan
pembinaan serta pendampingan para pengusaha yang notabene masih berskal kecil. Pembiayaan
maupun penyimpanan dana di kopontren didasarkan atas asas kekeluargaan,
kepercayaan dan keadilan. Sehingga semuanya dapat merasakan kemaslahatan tanpa
ada rasa takut adanya kemadaharatan. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu
yang tidak mungkin untuk diwujudkan karena lingkungan di pondok pesantren pada
dasarnya memang sudah terjalin sikap saling percaya dan tolong-menolong. Di
samping itu, usaha para anggota juga bukan hanya dibantu dari sisi permodalan,
tapi juga diberikan training, pelatihan dan pendampingan. Sehingga skill para
anggota kopontren
dan kualitas
produknya dapat terus dikembangkan.
c) Aplikasi
E-Money sebagai Media Transaksi di Unit Usaha Kopontren
Menurut Dias
(20000, kemudahan transaksi non tunai dapat mendorong penurunan biaya transaksi
dan pada gilirannya dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut Dias
mengemukakan bahwa penggunaan alat pembayaran non tunai memiliki dual effect
baik itu kepada konsumen maupun produsen sebagai pelaku kegiatan ekonomi.
Manfaat bagi konsumen, kemudahan dan kecepatan transaksi menggunakan e-money
dapat mengurangi biaya bertransaksi dan biaya berjaga-jaga, sehingga pendapatan
masyarakat meningkat dan diikuti dengan konsumsi yang meningkat juga.
Penigkatan
konsumsi tersebut sebagai implikasi dari kemudahan belanja melalui alat non
tunai sehingga dapat mendorong perputaran uang atau velocity of money.
Adapun
manfaat bagi produsen, meningkatnya konsumsi masyarakat yang diikuti dengan
efisiensi biaya transaksi akan meningkatkan profit bagi produsen dan berpotensi
untuk mendorong kegiatan usaha serta ekspansi usaha. Semakin efisien biaya
transaksi yang diperoleh dari penggunaan alat pembayaran non tunai semakin
besar potensi peningkatan output. Hal ini pada gilirannya mendorong peningkatan
produksi di sektor riil yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Penggunaan
e-money di lingkungan pondok pesantren dapat diimplementasikan melalui
kopontren sebagai lembaga penampung semua rekening anggota. Dalam hal ini
kopontren bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) dalam pengadaan alat atau
mesin transaksinya. Jika kopontren tidak memungkinkan berdiri sendiri,
kopontren dapat melakukan link dengan salah satu Bank Umum Syariah yang mudah
untuk diakses.
Adapun
teknis penggunaan e-money secara riil, anggota dapat melakukan pengisian
electronic value di kopontren dengan sejumlah nominal rupiah tertentu. Setelah
melakukan pengisian electronic value, maka anggota tersebut memperoleh e-money
yang dapat ditukarkan dengan barang dan atau jasa di unit usaha kopontren.
Penggunaan e-money ini diwajibkan bagi semua santri, para ustadz, keluarga
pondok pesantren, anggota kopontren serta para alumni pondok pesantren tersebut.
E-money ini juga dapat diterapkan dalam pembayaran gaji, uang bayaran santri
dan transaski lainnya yang berkaitan dengan pondok pesantren.
Dengan
adanya elektronifikasi ini, aktivitas transaksi di lingkungan pesantren
diharapkan menjadi lebih efisien, praktis, dan aman. Selain itu, dengan
jaringan pesantren yang luas, kebiasaan penggunaan LKD dan uang elektronik
diharapkan semakin meluas di masyarakat. Adanya perluasan ini diharapkan juga
dapat dimanfaatkan oleh perbankan syariah untuk perluasan produk perbankan
syariah. Pada gilirannya, penggunaan uang elektronik ini dapat membantu
meningkatkan kemampuan ekonomi rumah tangga dan perekonomian daerah, sekaligus
mensukseskan Gerakan Nasional Non Tunai.
D.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan
peamaparan keseluruhan tulisan ini, maka dapat
disimpulkan
beberapa hal sebagaimana berikut:
1. Koperasi
pondok psantren (kopontren) merupakan wadah bagi keluarga besar pondok
pesantren beserta masyarakat lingkungan sekitarnya untuk mandiri secara
ekonomi. Dengan adanya kopontren, maka akan banyak unit usaha yang dapat
dijadikan sumber utama penggerak roda perekonomian pesantren dan masyarakat
sekitar.
2. Kopontren
dapat digolongkan sebagai salah satu LKMS yang dalam operasionalnya menggunakan
akad-akad syari’ah dan diawasi oleh OJK serta BI. Hal tersebut guna berjalan
sesuai dengan aturan formal, legal dan sesuai regulasi.
3. Santri,
para ustadz, anggota kopontren dan keluarga besar pondok pesantren wajib untuk
menggunakan alat pembayaran e-money untuk bertransaksi di unit usaha kopontren.
Penggunaan e-money ini akan memberikan efek positif baik itu untuk konsumen
maupun produsen, terlebih lagi untuk perekonomian nasional.
4. Dengan
adanya kapontren di seluruh pondok pesantren di Indonesia maka dapat dikatakan
sebagai upaya akselerasi ekonomi syariah secara nasional. Karena tentunya
operasional kopontren ini tidak akan terlepas dari prinsip-
prinsip dan
akad ekonomi syariah.
Beberapa
saran dapat kami sampaikan kepada beberapa pihak terkait:
1.
Kementerian Agama sebagai induk pondok pesantren sebaiknya mampu mendorong
pondok pesantren di Indonesia untuk mendirikan kopontren beserta menggunakan
alat pembayaran e-money dilingkungannya.
2. Bank
Indonesia beserta Otoritas Jasa Keuangan sebaiknya dapat memberikan stimulus
agar pondok pesantren di Indonesia mau bergabung untuk memajukan program GNNT
dan Financial Inclution.
3. Pondok
pesantren sebaiknya faham akan manfaat dari terbentuknya kopontren sebagai
media kemandirian ekonomi dan e-money sebagai alat transaski yang aman, praktis
dan efesien.
=====================
Comments
Post a Comment