Skip to main content

Menerima Hadiah dengan Menabung di Bank Syariah, Bolehkah?

Menerima Hadiah dengan Menabung di Bank Syariah, bolehkah?
Pertanyaan:
Bank ……. (Nama dirahasiakan-Ed). menawarkan tabungan yg hadianya di awal.
Contoh mau ambil hadiah HP seharga 2 juta dengan cara nabung di bank.
ini lg marak di purbalingga tadz. Jadi setor pertama 12.080.000 langsung dapat hadiah HP samsung S8…trus tiap bulan nabung 11.000.000 setiap bulan ..x 24 =264.000.000. Total uang = 12.080.000 + 264.000.000 = 276.080.000. Begitu tadz…sepertinya nabung tapi hadiah di awal….mohon jawaban hukum nya dari masalah tsb tadz.

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Izinkan kami menyimpulkan, inti dari kasus yang Anda sampaikan adalah, bolehkah mendapatkan hadiah ketika kita menabung di bank?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita akan melihat lebih rinci, bagaimana status akad, nasabah yang menabung di bank, dengan melihat konsekuensinya.
Ketika kita menyerahkan uang ke bank dengan maksud menabung, di sana ada beberapa kemungkinan bentuk akad, dengan konsekuensi berbeda:
[1] Wadiah (titipan).
Konsekuensi dari posisinya sebagai Wadiah, uang itu tidak boleh dimanfaatkan karena tidak pindah hak milik, dan harus dijaga oleh pihak yang dititipi dengan penjagaan normal. Jika bank menggunakan uang itu, berarti bank telah menyalahi Amanah.
Rumus Wadiah = harus dijaga + tidak boleh dipakai
[2] Investasi (mudharabah).
Konsekuensi dari posisinya sebagai modal, uang itu tetap milik pemodal, yang boleh digunakan untuk penyertaan modal dalam usaha yang dijalankan oleh bank. Penerima tidak boleh menggunakan dana itu, kecuali untuk kepentingan bisnis yang disepakati. Dan investor berhak mendaapatkan bagi hasil sesuai kesepakatan. Namun dia juga harus menanggung resiko jika ada kerugian. Sehingga dana investasi tidak boleh dijamin, dalam arti bisa saja dana itu berkurang jika terjadi resiko kerugian.
Rumus Mudharabah = boleh dipakai + tidak boleh dijamin
[3] Utang (Qardh).
Konsekuensi dari posisinya sebagai utang, uang itu telah pindah hak milik ke penerima. Hanya saja dia harus menjamin bahwa uang itu akan dikembalikan dalam bentuk yang sama ke pemilik, dan penerima dibenarkan menggunakan uang itu sesuai yang dia inginkan.
Rumus Qardh = Boleh Dipakai + Wajib Dijamin
Realita di Bank
Pada saat nasabah menyerahkan uang tabungannya di bank, secara aturan, bank dibenarkan untuk menggunakan uang itu sekalipun tanpa meminta izin nasabah. Bahkan nasabah tidak boleh membatasi bank untuk menggunakan uang itu. Sehingga dengan kenyataan ini, uang yang diserahkan nasabah ke bank bukan wadiah. Jika tetap disebut wadiah, berarti bank menyalah gunakan amanah, sebagaimana keterangan di atas.
Dana dari nasabah juga dijamin oleh bank. Dalam arti, resiko apapun yang terjadi pada uang itu, akan diganti oleh bank. Bahkan dana ini dijamin oleh negara, tepatnya oleh LPS (lembaga penjamin simpanan). Berdasarkan kenyataan ini berarti dana tabungan di bank tidak bisa disebut sebagai modal mudharabah. Karena modal mudharabah tidak boleh dijamin. Berdasarkan hadis,
وَلاَ رِبْحَ مَا لَمْ يُضْمَنْ
“Tidak boleh ada keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian.” (HR. Ahmad 6671, Nasa’i 4647 dan dishahihkan Syua’ib al-Arnauth).
Dalam hadis lain, dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Hasil keuntungan itu sebagai ganti dari resiko yang dia tanggung.” (HR. Ahmad 24224, Nasai 4507, dan yang lainnya).
Sehingga akad yang paling tepat untuk kegiatan menabung di bank adalah utang. Dana itu dimanfaatkan oleh bank, dan bank siap menanggung resiko apapun terhadap uang nasabah. Karena itu, ketika nasabah menabung di bank, hakekatnya dia sedang memberi utang ke bank.
Di bank-bank Saudi, produk tabungan diistilahkan dengan al-Hisab al-Jari (Rekening giro). Dan secara status, sama persis seperti skema rekening bank di Indonesia. Dan para ulama memahami, al-Hisab al-Jari (Rekening giro) hakekatnya adalah utang.
Dalam juklak panduan perbankkan syariah yang dikeluarkan AAOIFI (lembaga internasional standardisasi produk perbankan syariah) dalam Bab: Al-Qardh, dinyatakan,
حقيقة الحسابات الجارية أنها قروض؛ فتتملكها المؤسسة ويثبت مثلها في ذمتها
“Al-Hisabat Al-Jariyah (Rekening giro), hakikatnya adalah qardh, dimana Lembaga keuangan syariah memiliki dana yang disimpan dalam rekening giro dan menjamin dana tersebut dalam tanggungannya.” (al-Ma’ayir Asy-Syar’iyyah, hlm. 271)
Mengingat rekening tabungan yang ada di bank adalah utang maka hadiah yang diberikan bank statusnya hadiah karena utang. Dan itu termasuk RIBA yang terlarang. Karena dalam islam, kita tidak diizinkan untuk mendapat manfaat dari utang sedikitpun.
Al-Baihaqi menyebutkan riwayat pernyataan sahabat Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu,
كُلُّ قَـرضٍ جَرَّ مَنفَـعَـةً فَهُوَ رِباً
“Setiap piutang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah RIBA.” (Sunan as-Sughra, 4/353).
Al-Khalil mengatakan,
“وحرم هديته”، والمعنى أن من عليه الدين يحرم أن يهدي لصاحب الدين هدية ويحرم على صاحب الدين قبولها
Dalam Mkhtashar Khalil dinyatakkan, “HARAM menerima hadiah dari debitor ke kreditor”
Maknanya, bahwa siapa yang memiliki utang ke orang lain (misal, ke si A), maka terlarang baginya memberikan hadiah kepada kreditor (si A), dan haram bagi si A untuk menerimanya. (Syarh Mukhtashar Khalil – al-Kharsyi, 16/301).
Keterangan lain, disampaikan Syaikhul Islam,
فنهى النبي صلى الله عليه وسلم المقرض عن قبول هدية المقترض قبل الوفاء، لأن المقصود بالهدية أن يؤخر الاقتضاء وإن كان لم يشترط ذلك
“Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang menghutangi untuk menerima hadiah sebelum pelunasan, karena tujuan memberi hadiah adalah agar masa pelunasan bisa ditunda, meskipun dia tidak mempersyaratkan hal itu.” (al-Fatawa al-KubrA, 6/160).
Kita sangat memahami, bank memberikan hadiah semacam ini, sebagai bentuk terima kasih atas dana yang disetorkan nasabah kepadanya. Dengan demikian, HP, Laptop, Sepeda Motor, Kereta, Kulkas, merchandise lainnya dari bank tsb, jika diberikan karena anda menjadi nasabah yang menabung di bank, tidak boleh diterima.
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah?

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah? By  Nizar Alshubaily Editor: Ust Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Recent debates in social media still point to a level of unease about what constitutes currency in Shariah and doubts remain about paper money.  Some claim that paper money is Haram, and insist that only gold and silver are legitimate currencies. Others demand that paper money must be backed by gold and silver. Some see paper money as a product of the interest-bearing international banking system, and therefore non-Shariah compliant.  Some of the statements made concerning currencies in Shariah claim that Fiat currencies are Haram since they are based on debt and interest, while other statements claim that Shariah requires a currency to have intrinsic value. Yet others believe gold and silver are Sunnah, specifically Sunnah Taqririya, one of the three types of Sunnah, more related to tacit approval.  Nothing could be further from the truth....