Skip to main content

Memahami Ekonomi Syariah


Memahami Ekonomi Syariah

Dalam harian Republika tulisan berjudul „Elitisasi Ekonomi Syariah, Pakkana menulis “Banyak persoalan ekonomi di tingkat grass-root luput dari pengamatan  dan  aksi  affirmatif dari penggiat ekonomi syariah.  Persoalan advokasi dan pemberdayaan  ekonomi  masyarakat vulnerable misalnya, tampak minimalis. Kendati ada gerakan pemberdayaan,  terlihat lebih banyak dari kelompok keswadayaan yang berlabel  zakat, infak dan sedekah (ZIS). Tapi, itupun belum  masif  dibanding  gerakan  industri  keuangan  syariah  yang bergerak  elitis  dan  “beternak  uang”.  Demikian  juga di  tingkat  discourse  kebijakan  ekonomi.  Tatkala Memahami Ekonomi syariah,   kedaulatan pangan,  kedaulatan  energi,  eksploitasi sumberdaya alam yang berlebih, rekolonialisasi  ekonomi, kesenjangan  ekonomi yang makin menganga, desentralisasi fiskal,  dan  lainnya,  tampaknya kelompok pegiat ekonomi syariah kerap kurang populer  memperlihatkan   coraknya. Kalaupun terlibat, lebih banyak berada pada tataran  wacana dan ideologi eksklusif-ekstrem yang rapuh kerangka filosofisnya”.
Dari tulisan tersebut, setidaknya ada 3 persoalan yang ingin diangkat Pakkana sekaligus   kritik   terhadap perkembangan ekonomi syariah di tanah air.  Pertama,  adalah  ekonomi  syariah  terjebak  kepada  keuangan syariah  yang  menurut  beliau  cenderung  kepada  beternak  uang,  kedua,persoalan zakat yang belum m asif seperti masifnya  gerakan  industri   keuangan   syariah,   dan   ketiga,  persoalan  sektor  riil, terutama  ekonomi  sumberdaya alam, yang masih luput dari pegiatekonomi syariah. Mari kita lihat persoalan tersebut satu persatu.

Pertama, ekonomi syariah terjebak kepada keuangan syariah. Perlu dipahami, pintu masuk ekonomi syariah adalah lembaga keuangan syariah. Dan dari seluruh lembaga keuangan, bank dulu yang mendapat prioritas untuk disyariahkan, mengapa? Karena lebih dari 90 persen uang beredar adanya di bank. Jadi, kalau bank berhasil disyariahkan, maka upaya untuk mensyariahkan ekonomi akan lebih cepat. Hanya  saja  yang  harus  kita  pahami  adalah,  banksyariah muncul dan berusaha berdiri tegak di tengah-tengah derasnya bank berbasis riba.

Nah, dalam perjalanannya, menjalankan bank syariah ternyata tidak semudah membalikkan  telapak tangan dalam situasi hegemoni bank riba. Kita tidak bisa mengatakan, “Konsep  fiqh muamalahnya   seperti   ini,   lalu   terapkan   saja   di   bank  syariah, Selesai”.  Ternyata tidaksesederhana itu.  Kalau konsep fiqh itu diterapkan, maka bank syariah hari ini dibuka, besok akantutup. Mengapa?  Karena prinsip bagi hasil yang diterapkan  di bank  syariah  akan  menimbulkan konsekuensi berkurangnya uang  nasabah di bank jika usaha yang dijalankan bank mengalami kerugian. Apakah masyarakat  siap jika uangnya yang disimpan di bank berkurang? Tentu tidak. Oleh karena itu,  dicarilah akad yang berbasis  jual beli, meskipun mengakibatkan hutang, seperti murabahah,  karena  keutungannya  jelas, meskipun bukan tidak mengandung resiko ketika gagal membayar cicilannya.

Nah, ketika bank syariah masif mempraktekkan murabaha ini, maka konsekuensinya memangseolah olah tidak berbeda  dengan bank  konvensional,  karena sama sama meninggalkan hutang yang harus dibayar  dengan pendapatan  yang sifatnya fix. Padahal, keduanya sangat berbeda.  Dalam murabaha, terjadi jual beli putus, dimana harga  sudah  pasti, kemudian tinggal di cicil. Jika terjadi  menunggak,  klien tidak dikenakan  tambahan  yang harus dibayarkan  seperti  di bank konvensional, tetapi membayar  penalti  yang  nantinya  akan  diserahkan ke lembaga sosial seperti lembaga zakat infak   dan   sedekah   (ZIS). Jadi,   tidak  ada  beternak  uang.  Beternak  uang diartikan  sebagai  uang  yang  menghasilkan uang dengan berjalannya waktu. Jika menunda pembayaran,  diekenakan tambahan (riba) yang berlipat-lipat.  Beternak uang diartikan  dari  „tidak  ada menjadi ada‟. Dalam murabaha tidak ada beternak uang. Ketika  menunda  pembayaran, penalti akan dikenakan kepada klien yang nantinya diserahkan  kepada l embaga zakat, bukan diambil dan dimiliki oleh bank. Cara inipun diambil  sebagai  upaya agar klien membayar cicilannya tepat  waktu.  Jadi, klaim bahwa  bank  syariah  beternak uang sama  sekali  salah.  Namun,  murabaha  yang mendominasi  pembiayaan  syariah  juga  tidak  dapat  dibiarkan  terus menerus. Harus beralih ke pembiayaan  bagi hasil. Ke arah inilah kita semua menuju, yang saya istilahkan “towards islamic  financial  system”. Dari  uraian diatas,  sangat  diperlukan   integrasi   lembaga  keuangan  syariah  dengan lembaga  zakat.   Semakin  banyak  yang  menunggak,  semakin  besar perolehanlembaga zakat.  Besarnya perolehan lembaga  zakat  ini  dapat  digunakan untuk kegiatan sosial seperti membeli ambulance, dan lain-lain.

Lembaga kuangan shariah dalam hal ini bank syariah harus untung, karena ini adalah lembaga bisnis, buka lembaga sosial. Lembaga bisnis yang harus menggaji karyawannya,  membayarbiaya-biaya overhead,  operasional,  dll. Lembaga bisnis yang harus  berkembang, bukan stagnan, apalagi mati.  Oleh karena itu, bank syariah diharuskan  untuk  untung, karena sifatnya bisnis. Ketika dihadapkan dengan harus untung  dan  membayar  semua biaya-biaya, maka kerap marginyang diterapkan di bank  syariah,  terkesan  lebih  mahal dari bank konvensional. Namun, ini sekali lagi  adalah  masalah  economic of scale. Efisiensi bank syariah dengan aset yang lebih besarakan  lebih  tinggi  daripada  bank  yang  asetnya  lebih kecil (lihat hasil penelitian Endri, Tazkia, 2011).
Modal bank syariah belum cukup besar untuk menetapkan margin  yang  kecil.   Oleh  karena itu, strategi yang dilakukan adalah memperbesar kue market  share   perbankan  syariah seperti strategi yang ditempuh oleh Bank Indonesia selama ini.

Kedua, persoalan zakat yang belum masif seperti masifnya gerakan industri keuangan syariah. Ini diakibatkan  sedikitnya  perolehan  zakat  di  tanah  air.  Dari  potensi  217 triliun  hitungan  BAZNAS (2012), maka hanya 2,3 triliun yang berhasil  dihimpun  BAZNAS  dan semua BAZ/LAZ se-Indonesia  tahun  2012 .  Hal ini  menunjukkan  bahwa  perolehan    zakat  belum  populer di  tengah-tengah  masyarakat.  Padahal,  di pakistan,  negara  sudah  mewajibkan  setiap 1  ramadhan  semua tabungan di seluruh bank  yang  melebihi  nisab  zakat,  dipotong  2,5%  mau tidak mau, suka tidaksuka.  Ini menunjukkan  peran  pemerintah  dan pembuat undang-undang sangat  besar. Jika keberpihakan  pembuat undang-undang (legislatif) sangat tinggi, maka niscaya perolehan  zakat akan sangat besar. Nah, disinilah urgensi zakat.   Jika dana zakat besar,    maka    pengurangan   kemiskinan   akan   masif. Lembaga   zakat   akan menggerakkan  ekonomi  informal yang non-bankable.  Lembaga zakat akan menggerakkan ekonomi di level grass-root.  Biarkan bank syariah mengambil pasar mereka yang bankable,  dan  biarkan  lembaga  zakat  menggarap mereka yangnon- bankable.  Jika keduanya berjalan dengan baik, niscaya ekonomi akan lebih baik.

Ketiga, persoalan sektor riil, terutama ekonomi sumberdaya alam, yang masih luput dari pegiatekonomi syariah.  Sebenarnya persoalan sektor riil ini tidak dapat dipisahkan  dari lembaga keuangan bebas riba dan sistem zakat. Ketiga pilar ini merupakan  pilar  ekonomi  Islam yang tercantum  dalam surat Al Baqarah ayat 275-277.  Sistem riba,  akan  memicu  eksploitasi  sumberdaya  alam yang besar.  Untuk menutup biaya bungabank dan  mengejar keuntungan  yang ditargetkan, maka  pabrik akan memproduksi  output yanglebih besar daripada sistem non-bunga.  Untuk memproduksi  output yang lebih banyak, diperlukansumberdaya bahan baku yang lebih banyak. Jika bahan  bakunya  adalah  hasil  hutan,  maka akan terjadi eksploitasi hutan.

Sistem zakat jika dikenakan kepada sumberdaya alam, yang besarnya  20%  (rikaz)  seperti  zakat barang  pertambangan,  seperti  minyak  dan gas  bumi,  emas, perak, nikel, dan lain-lain,  maka zakat yang  diperoleh  niscaya  dapat  menutupi belanja negara di sektor-sektor  riil  seperti  pendidikan, infrastruktur,  dan lain-lain. Agar pemerintah dapat    memungut    zakatnya,    maka sumberdaya    alam   tersebut   harus   dikelola pemerintah,  bukan  oleh  asing. Menurut Abraham Samad ketuaKPK, tidak kurang dari  7200  triliun rupiah  setiap  ahunnya  dapat diperoleh negara dari sektor pertambangan  seperti  minyak,  gas,  batubara,  tembaga,  emas, perak, nikel dan lain lain.

Artinya, untuk menunjang sektor  riil,  sangat  mutlak  adanya  lembaga  keuangan bebas riba, dansistem zakat yang baik.    Tampaknya,  sudah ada  beberapa  pegiat syariah  yang berpikir  kearahitu,  tetapi  karena tema-tema yang diangkat dalam seminar- seminar  ekonomi  syariah selama inimasih bertema keuangan syariah, maka ide-ide penguatan sektor  riil  belum  terlalu banyak digali.  Namun, Alhamdulillah, beberapa bulan  terakhir,  seminar-seminar   ekonomi  islam  sudah  banyak  mengangkat  tema sektor  riil seperti  pertanian,  misalnya  talkshow  ekonomi  islam di STAIN  Palopo  mengangkat   tema  “  Menggagas  Sektor  Agribisnis  syariah, menuju masyarakat  sejahtera”,   dan di Universitas Negeri Malang 27  Maret 2014 dengan tem “Agaria untuk kemandirian ekonomi Indonesia”

Yang lebih penting lagi, adalah keberpihakan pemerintah pada rakyat dengan melakukan distribusi  kekayaan  kepada rakyat.    Jangan  kekayaan  negara ini hanya  berputar  di tangan  segelintir  konglomerat  saja. Jangan sampai konglomerat menguasai  dari mulai  hulu sampai  hilir. Jangan sampai sumber-sumber kekayaan negara  diambil  alih oleh  asing.   Harusnya sumber-sumber tersebut dikelola oleh negara.  Hal  yang  dapat  dilakukan di sektor kehutanan,misalnya, adalah membuat Hutan tanaman rakyat. Jika Rakyat mengelola hutan seluas 5 juta hektar saja, maka akan menghasilkan 50 juta ton pulp.  Jika harga pulp perton adalah US 500 dollar, maka akan tercipta penghasilan  rakyat sebesar US 25 milyar dollar atau lebih dari 250 triliun rupiah. Artinya, 10,2 juta  rakyat  miskin yang di tinggal di hutan atau sekitar hutan, dapat dikeluarkan  dari kemiskinannya.
Kesimpulannya,  memahami  ekonomi  syariah  tidak  dapat  dilakukan  hanya  pada semata-mata kinerja  keuangan  syariah, tapi harus holistik meliputi sektor riil dan penegakan sistem zakat.  Kita smua menjadi penyebab ekonomi seperti sekarang ini, namun di saat yang sama,  kita  semua juga menjadi  penyelamat  ekonomi untuk  Indonesia yang lebih baik.

Oleh  karena  itu,  sebagai  solusi,  setidaknya  ada  lima  hal  yang  dapat  dilakukan. Pertaa, mari kita edukasi masyarakat untuk menyimpan uangnya di Bank Syariah, dengan  harapn banksyariah akan mencapai economic of scale. kedua, mendorong bank  untuk  menerapkan sistembagi hasil, dan pada saat yang sama, menggalakkan kejujuran  di kalangan pebisnis karena kejujuran adalah kunci dalam pelaksanaan akad bagi  hasil.   Ketiga,  mendorong individu-individumuslim untuk membayar zakatnya, Keempat  mendorong lembaga legislatif untuk merumuskanundang-undang terkait  ekonomi  yang  pro  kepada  kesejahteraan  rakyat. Kelima,  mendorong pemerintah untuk  menguasai kembali sumber-sumber kekayaan negara serta mengelolanya dan melakukan distribusi   kekayaan kepada   rakyat melalui program-programnya. Wallahu A’lam

Tulisan: Hendri Tanjung, Ph.D
Editor: Ust.Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Portfolio and Default Risk of Islamic Microfinance Institutions

Portfolio and Default Risk of Islamic Microfinance Institutions By: Dr. Luqyan Tamanni, MEc Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Abstract Islamic microfinance is a growing sector that is expected to provide a long-term solution to poverty in the Muslim world. The role of microfinance institutions in poverty alleviation is still debatable, however, established literature provides assurance that microfinance does contribute to the development of the financial sector and reduction of poverty in developing countries. The rise of competition in the microfinance sector has forced many microfinance institutions to resort to commercial funding and lending activities, which according to some studies has led microfinance institutions to become riskier. The paper explores portfolio and default risk of Islamic Microfinance Institutions (IMFIs) and finds that they are facing relatively lower risks than conventional MFIs. Using Ordinary Least Squares regression to analyse port...