Skip to main content

Konsultasi Syariah: Maksimal Keuntungan

Konsultasi Syariah: Maksimal Keuntungan

Sesungguhnya tidak ada batasan maksimal keuntungan yang diberikan oleh pembeli atau pihak yang menyewakan dalam transaksi jual beli dan ijarah, selama upah dan margin tersebut jelas dan dapat diserahterimakan. Oleh karena itu, baik pembeli maupun pihak yang menyewakan (penjual jasa) boleh menetapkan margin atau fee atas barang atau jasa yang dijualnya selama upah dan margin tersebut jelas dan dapat diserahterimakan.
Hal ini sebagaimana domain dan wewenang fikih muamalah yang memberikan rambu-rambu dan kaidah-kaidah dalam bisnis dan selanjutnya menyerahkan kepada otoritas dan pelaku untuk menentukan teknis operasionalnya. Dalam bab ini, fikih menentukan rambu-rambu dan kaidah-kaidah fee dan margin untuk ditentukan teknis operasional dan nominal atau persentase yang tepat dan wajar.
Penentuan upah dan margin dalam transaksi jual beli dan jual manfaat merujuk pada dua hal. Pertama, kesepakatan kedua belah pihak. Berapa pun besaran margin dan upah diperkenakan asalkan disepakati, diterima, dan diridhai oleh kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR Tirmidzi).Dengan demikian, jika kedua belah pihak telah menyepakati tingkat margin, tingkat imbal hasil, dan fee tertentu, maka menjadi mengikat dan menjadi wajib ditunaikan oleh pembeli dan penyewa.
Kedua, harga pasar. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW tentang tas’ir: “Diriwayatkan dari Anas RA, pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW harga-harga barang naik, kemudian para sahabat meminta Rasulullah SAW menetapkan harga. Maka, Rasululah bersabda, sesungguhnya Allah SWT zat yang maha menetapkan harga, yang maha memegang, yang maha melepas, dan yang maha  memberikan rezeki. Aku sangat berharap bisa bertemu Allah SWT tanpa seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan tuduhan kezaliman dalam darah dan harta.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad).
Teks hadis ini melarang penetapan harga (tas’ir) atas setiap komoditas ataupun jasa, tetapi kemudian Imam Malik menafsirkan makna (dilalah) hadis ini bahwa larangan menetapkan harga dalam hadis ini berlaku apabila kondisi pasar itu sehat dan harga ditetapkan oleh supply dan demand.
Namun, apabila terjadi monopoli dan harga ditentukan oleh pemain tunggal, intervensi boleh dilakukan oleh otoritas. Berdasarkan penafsiran Imam Malik ini juga bahwa referensi untuk menentukan harga itu adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan otoritas.
Hal ini juga sesuai dengan kaidah fikih: “Sesuatu yang sudah menjadi tradisi (‘urf) itu seperti disyaratkan”. Tradisi yang dimauksud adalah tradisi pasar ('urf tijar) yang berarti jika menjadi kelaziman dan dipraktikkan berulang-ulang maka sudah menjadi kebutuhan para pelaku pasar.
Oleh karena itu, sebaiknya penjual jasa merujuk penentuan margin dan upah kepada harga pasar agar tidak terlalu jauh dengan harga yang terjadi di pasar. Sehingga konsumen dan masyarakat yang membutuhkan komoditas tersebut mendapatkan harga yang sama dan harga itu tidak merusak produsen atau pelaku pasar. Wallahu a'lam
===================
* DR. ONI SAHRONI, MA, Anggota Bidang Hukum Muamalat Maaliyah dan Bisnis DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia,Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah?

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah? By  Nizar Alshubaily Editor: Ust Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Recent debates in social media still point to a level of unease about what constitutes currency in Shariah and doubts remain about paper money.  Some claim that paper money is Haram, and insist that only gold and silver are legitimate currencies. Others demand that paper money must be backed by gold and silver. Some see paper money as a product of the interest-bearing international banking system, and therefore non-Shariah compliant.  Some of the statements made concerning currencies in Shariah claim that Fiat currencies are Haram since they are based on debt and interest, while other statements claim that Shariah requires a currency to have intrinsic value. Yet others believe gold and silver are Sunnah, specifically Sunnah Taqririya, one of the three types of Sunnah, more related to tacit approval.  Nothing could be further from the truth....