Skip to main content

Konsultasi Syariah: Jual Beli Mata Uang

Konsultasi Syariah: Jual Beli Mata Uang

Ada tiga ketentuan atau rumus terkait jual beli atau tukar menukar antara mata uang yang sama atau berbeda (valuta asing). Ketentuan-ketentuannya adalah sbb:
Pertama, apabila ada tukar menukar atau jual beli antara mata uang yang sama, seperti mata uang rupiah dengan rupiah, mata uang dolar dengan dolar, maka harus tunai dan sama nominal serta nilainya. Seperti penukaran antara Rp 100 ribu dengan Rp 100 ribu rupiah recehan, harus dilakukan dengan tunai dan nominalnya sama.
Kedua, apabila ada penukaran antara mata uang yang berbeda atau dengan valuta asing, seperti penukaran rupiah dengan dolar, dolar dengan rial, atau rupiah dengan rial, maka syaratnya hanya satu, yaitu tunai. Oleh karena itu, dalam bab ini, diperbolehkan untuk mengambil margin atas penjualan mata uang yang berbeda. Dengan demikian, para pelaku bisnis money changer, misalnya, diperbolehkan melakukan transaksi valas dengan syarat tunai. Jika ada transaksi menukar atau membeli 100 dolar dengan rupiah, money changer boleh mengambil margin dari harga jual tersebut.
Ketiga, apabila ada jual beli antara mata uang dengan komoditas (sil’ah) maka yang menjadi referensi adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli. Boleh tunai atau tidak tunai, boleh mengambil margin, dan tidak disyaratkan tunai dan sama nominalnya. Semuanya berpulang pada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak. Sebagaimana yang lazim dilakukan masyarakat ketika membeli kebutuhan sehari-hari dengan rupiah, tidak syaratkan tunai dan sama, boleh tidak tunai, mengangsur, atau tunai, dan diperbolehkan mengambil margin sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Oleh karena itu, transaksi yang berlaku dalam toko-toko swalayan, baik secara tunai maupun tidak tunai itu termasuk dalam kaidah atau rumus ketiga ini.
Ketiga rumus ini sesuai dengan hadis Ubadah bin Shamit dan Umar al-Faruq. Hadis dari Ubadah bin Shamit berbunyi, "(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai." (HR Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah). Dan hadis dari Umar al-Faruq, "(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai."  (Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Hadis Ubadah bin Shamit mensyaratkan transaksi antara mata uang yang sama harus sama nilai dan nominalnya. Sedangkan, hadis Umar al-Faruq mensyaratkan transaksi antara mata uang yang sama itu harus tunai. Sedangkan, transaksi antara mata uang yang berbeda boleh tidak sama, tetapi harus tunai. Sedangkan, transaksi antara uang dan barang itu tidak termasuk dalam kedua hadis tersebut di atas. Oleh karena itu, tidak diharuskan tunai dan sama. Hal yang menjadi referensi adalah kesepakatan kedua belah pihak.
Kaidah yang berlaku tersebut di atas, itu juga sesuai dengan maqashid syariah, bahwa mata uang seperti rupiah, dolar, dan sebagainya adalah alat tukar, bukan komoditas. Uang seharusnya menjadi alat tukar yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pelaku pasar dan masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, menukar rupiah dengan rupiah nyaris tidak diperbolehkan kecuali tunai dan sama nominalnya. Dari aspek maqashid dan maslahat, dari ketiga rumus di atas yang paling banyak dilakukan adalah rumus ketiga, yakni masyarakat membeli dengan rupiah atau mata uang yang lain untuk membeli barang dan jasa. Dalam kaidah ini terlihat longgar, tidak disyaratkan tunai dan tidak disyaratkan sama. Sesuai dengan firman Allah SWT, “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS al-Hajj: 78). Wallahu ‘alam.
================
* DR. Oni Sahroni, MA, Anggota Bidang Hukum Muamalat Maaliyah dan Bisnis DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia. Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia 

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah?

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah? By  Nizar Alshubaily Editor: Ust Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Recent debates in social media still point to a level of unease about what constitutes currency in Shariah and doubts remain about paper money.  Some claim that paper money is Haram, and insist that only gold and silver are legitimate currencies. Others demand that paper money must be backed by gold and silver. Some see paper money as a product of the interest-bearing international banking system, and therefore non-Shariah compliant.  Some of the statements made concerning currencies in Shariah claim that Fiat currencies are Haram since they are based on debt and interest, while other statements claim that Shariah requires a currency to have intrinsic value. Yet others believe gold and silver are Sunnah, specifically Sunnah Taqririya, one of the three types of Sunnah, more related to tacit approval.  Nothing could be further from the truth....