Skip to main content

Konsep Harta dalam Perspektif Hukum Islam

Konsep Harta dalam Perspektif Hukum Islam


Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, aspek dlaruriyat yang tidak dapat ditinggalakan dan dikesampingkan. Dengan harta tersebut manusia dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya, baik yang bersifat materi maupun immaterial. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut terjadilah kemudian proses hubungan kepentingan dan kebutuhan  antar sesama manusia yang secara fithrah manusia tidak dapat hidup sendiri, melainkan saling membutuhkan satu sama lainnya.
Dalam konteks inilah, harta sebagai objek dalam berbagai transaksi, seperti jual beli, ijarah, rahn, musyarakah, dan akad-akad muamalah lainnya, sampai status harta menjadi milik seseorang.
Wahbah Zuhaily mengatakan bahwa secara etimologis al-maaal diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, kenyamanan dalam bentuk materi/fisik maupun dalam bentuk manfaat, serrta dapat dimiliki oleh manusia secara penuh dengan cara kasab.[1]
Dengan demikian al-maal adalah sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan manusia  dan berada dalam genggaman kepemilikian manusia itu sendiri. Konsekuensi logis dari definisi tersebut adalah bahwa benda atau barang yang balum dalam kekuasaan, kepemilikan, dan berada dala genggaman tangan, tidak dapat dikatakan sebagai harta (al-maal).
Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa al-maal adalah segala sesuatu yang mungkin untuk dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan.[2] Dimiliki dan disimpan maksudnya sesuatu itu harus bersifat kebendaan, berwujud, dapat lihat, diukur, ditimbang, dinilai, dihargai dijualbelikan, dipindahtangankan.  Kemudian dimanfaatkan maksudnya adalah sesuatu itu masih dalam kondsi layak untuk dipakai, digunakan, disenangi, diinginkan, dan atau dikonsumsi berdasarakan kekhususan maupun keumumannya serta dapat diterima, diakui, dan dibenarkan oleh masyarakat umum.
Pada umumnya kebanyakan ualam fiqh memaknai harta dengan seagala sesuatu yang bernilai finansial atau berharga, serta dapat dijualbelikan, sehingga jika ada yang menghilangkan atau merusaknya, harus dilakukan ganti rugi atau tanggungjawab. Jadi segala sesuatu yang bernilai meterial, itulah harta, sementara manfaat dan atau hak, menurut Hanafiyah tidak termasuk ke dalam harta. Meskipun demikian, ada juga ulama yang berpendapat bahwa hak dan manfaat juga termasuk harta.[3]
Yang dimaksud manfaat adalah bernilai guna dan faedah, sehingga kepemilikan atas suatu benda akan memberikan arti penting dan fungsi bagi pemiliknya. Dengan memiliki laptop atau notbook, seseorang dapat mengerjakan pekerjaan ketikan, atau internetan, brosing, seaching, dll. Orang yang memiliki handphone juga dapat mengambil manfaat dengan berkomunikasi melalui, WA, SMS, telpon langsung, dan fungsi-fungsi serta manfaat lainnya dari handphone tersebut.
Berbeda dengan hak, ia adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan syara’ untuk dapat dikuasai dan diterima oleh seseorang. Pemilik hak tersebut memiliki kewenangan penuh atas benda yang oleh syara’ dibenarkan. Dengan demikian, ulama Hanafiyah berargumentasi bahwa hak dan manfaat, baik yang terkait dengan harta maupun tidak terkait harta, tidak dikategorikan sebagai harta, sebab tidak dapat dimiliki dan disimpan, apalagi hak dan manfaat itu secara bertahap mengalami pengurangan kualitas dan kuantitas.
Jumhur ulama menegaskan, hak dan manfaat tetap termasuk harta, sebab masih ada keungkinan untuk dapat dimiliki dan dikuasai, yaitu kepemilikan dan penguasaan yang melekat pada benda yang bermanfaat tersebut.
Dengan demikian, secara esensial, seseorang memiliki barang atau benda karena dalam benda tersebut terdapat unsur manfaat, sepanjang aspek manfaat tersebut masih ada melekat, maka sepanjang itu pula benda akan digenggamnya dengan baik, dan mungkin jika manfaatnya sudah tida ada, benda akan dipindahtangankan, atau bahkan diuang dan dihilangkan.
Ada perbedaan pandangan di antara para ulama, dalam hal konsekuensi hukum yang timbul akibat perbedaan cara pandang tentang hak dan manfaat ini. Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang melakukan ghashab barang orang lain dalam waktu tertentu, kemudian barang tersebut ia kembalikan dengan utuh, maka ia tidak berkewajiban untuk mengganti atau mengembalikan kualitas barang seperti sedia kala. Sementara mayoritas  ulama berpendapat, orang yang meng-ghashab wajib mengganti nilai manfaat benda yang ia ghashab, benda tersebut harus kembali utuh seperti sebelumnya.
Selanjutnya, Hanafiyah mengatakan: akad ijarah dengan sendirinya akan berakhir jika pemilik barang sewaannya itu meninggal, sebab manfaat itu bukan harta, sedangkan menurut jumhur ulama, ijarah tetap berlangsung meskipun pemilik benda telah meninggal, sebab manfaat itu adalah harta yang dapat diwariskan. Ahmad Wardi Muslich mengklasifikasi harta menjadi empat bagian[4], yaitu:
1. Harta Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim
Al-Maal mutaqawwim adalah  harta yang diperoleh manusia sebagai hasil uasaha atau kasab yang diperbolehkan syara’ untuk memanfaatkannya. Sedangkan ghair mutaqawwim yaitu harta yang belum dicapai dan tidak dimiliki sebagai hasil dari uasaha atau kasab, sehingga harta tersebut masih di tempat lain, belum dalam kekuasaan dan genggamannya. Perbedaan pendapat antara Hanafiyah dan jumur ualama ini berdampak kepada hukum, pertama, sah dan tidaknya harta tersebut menjadi objek transaksi. Jika harta mutaqawwim, maka sah transaksinya, tetapi jika ghair mutaqawwim, tidak sah transaksinya. Kedua, adanya kewajiban untuk menggantinya, dan ketiga, harta ghair mutaqawwim yang dimiliki Muslim, tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Namun jika pemiliknya non Muslim, babi yang dibunuh menurut Hanfiyah harus dilakukan upaya tanggungjawab dengan menggantinya.
2. ‘Iqar dan Manqul
Al-Maal al-‘iqar adalah harta yang tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Termasuk juga tanaman, pepohonan yang melekat tertanam di atas tanah tersebut merupakan maal al‘iqar, jika sama sekali tidak dapat dipindah. Sedangkan al-maal al-manqul adalah harta yang dapat dipindahkan, dikirimkan, atau diantarkan ke tempat lain. Namun demikian, dalam kondisi tertentu al- maal ‘iqar dapat berubah menjadi al-maal al-manqul dan yang manqul dapat brubah menjadi ‘iqar.
3. Mitsli dan Qimi
Harta mistli adalah harta yang ada padanannya atau persamaannya di pasar secara utuh tanpa ada perbedaannya sama sekali. Ada empat jenis harta mistli ini, yaitu: kategori al-makilaat (ditakar), al-mauzunaat (ditimbang), al-‘adadiyaat (dihitung), al-dzira’iyyaat (diukur). Sedangkan harta qimi adalah harta yang tidak terdapat padanannya di pasar, namun setiap satuannya memiliki harga dan nilai yang berbeda.
 4. Istihlaqi dan Isti’mali
Al-Maal istihlaki adalah harta yang tidak mungkin lagi dapat dimanfaatkan kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti uang, emas, perak, batu bara, dan pertambangan lainnya. Dan al-maal isti’maali adalah harta yang dapat dimanfaatkan tanpa harus merubah fisik harta tersebut terlebih dahulu, seperti perkebunan, rumah kontrakan, komputer, handphone dan barang-barang lainnya.
[1]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: 2005.
[2]Abdul Aziz Muhamad Azam, Fiqh Muamalah, Dar al-Fikr: 2007.
[3]Ibn Rusyd, Bidyat al-Mujtahid, tt, Semarang.
[4]Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, Jakarta: Amzah, 2010.
======================
 Tulisan: mugni muhit,

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Portfolio and Default Risk of Islamic Microfinance Institutions

Portfolio and Default Risk of Islamic Microfinance Institutions By: Dr. Luqyan Tamanni, MEc Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Abstract Islamic microfinance is a growing sector that is expected to provide a long-term solution to poverty in the Muslim world. The role of microfinance institutions in poverty alleviation is still debatable, however, established literature provides assurance that microfinance does contribute to the development of the financial sector and reduction of poverty in developing countries. The rise of competition in the microfinance sector has forced many microfinance institutions to resort to commercial funding and lending activities, which according to some studies has led microfinance institutions to become riskier. The paper explores portfolio and default risk of Islamic Microfinance Institutions (IMFIs) and finds that they are facing relatively lower risks than conventional MFIs. Using Ordinary Least Squares regression to analyse port...