Skip to main content

Kematian Ilmu Ekonomi dan Peluang Syariah

Kematian Ilmu Ekonomi dan Peluang Syariah

Sebagaimana dipaparkan pada tulisan yang lalu bahwa Paul Omerod menulis buku (1994) berjudul The Death of Economics (Matinya Ilmu Ekonomi). Omerrod menandaskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia.  Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem  yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.
Hampir sama dengan buku Omerod, muncul pula Umar Vadillo dari Scotlandia  yang menulis buku, ”The Ends of Economics” yang mengkritik secara tajam ketidakadilan sistem moneter kapitalisme.  Kapitalisme justru telah melakukan ”perampokan” terhadap kekayaan negara-negara berkembang melalui sistem moneter fiat money yang sesungguhnya adalah riba.
Dari berbagai analisa para ekonom dapat disimpulkan, bahwa teori ekonomi telah mati karena beberapa alasan. Pertama, teori ekonomi Barat (kapitalisme) telah menimbulkan ketidakadilan ekonomi yang sangat dalam, khususnya karena sistem moneter yang hanya menguntungkan Barat melalui hegemoni mata uang kertas dan sistem ribawi. Kedua,  Teori ekonomi  kapitalisme  tidak mampu mengentaskan masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Ketiga, paradigmanya tidak mengacu kepada kepentingan masyarakat secara menyeluruh, sehingga ada dikotomi antara individu, masyarakat dan negara. Keempat, Teori ekonominya tidak mampu menyelaraskan hubungana antara negara-negara di dunia, terutama antara negara-negara maju dan negara berkembang. Kelima, terlalaikannya  pelestarian sumber daya alam.
Alasan-alasan  inilah yang oleh Mahbub al-Haq (1970) dianggap sebagai dosa-dosa para perencana pembangunan kapitalis. Kesimpulan ini begitu jelas apabila pembahasan teori ekonomi dihubungkan dengan pembangunan di negara-negara berkembang. Sementara itu perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kesenjangan antara negara-negara berpendapatan tinggi dan negara-negara berpendapatan rendah, tetap menjadi indikasi bahwa globalisasi belum menunjukkan kinerja yang menguntungkan bagi negara miskin. (The World Bank, 2002).
Sejalan dengan Omerod dan Vadillo, belakangan ini muncul lagi ilmuwan ekonomi terkemuka bernama E.Stigliz, pemegang hadiah Nobel  ekonomi pada tahun 2001. Stigliz adalah Chairman Tim Penasehat Ekonomi President Bill Clinton, Chief Ekonomi Bank Dunia dan Guru Besar Universitas Columbia. Dalam bukunya  “Globalization and Descontents, ia mengupas dampak globalisasi dan peranan IMF (agen utama kapitalisme) dalam mengatasi krisis ekonomi global maupun  lokal. Ia menyatakan, globalisasi tidak banyak membantu negara miskin. Akibat globalisasi ternyata pendapatan masyarakat juga tidak meningkat di berbagai belahan dunia. Penerapan pasar terbuka, pasar bebas, privatisasi sebagaimana formula IMF selama ini menimbulkan ketidakstabilan ekonomi negara sedang berkembang, bukan sebaliknya seperti yang selama ini didengungkan barat bahwa globalisasi itu mendatangkan manfaat.. Stigliz mengungkapkan bahwa IMF gagal dalam misinya menciptakan stabilitas ekonomi yang stabil.

Karena kegagalan kapitalisme itulah, maka sejak awal, Joseph Schumpeter meragukan kapitalisme. Dalam konteks ini ia mempertanyakan, “Can Capitalism Survive”?. No, I do not think it can. (Dapatkah kapitalisme bertahan ?. Tidak, saya tidak berfikir  bahwa kapitalisme dapat bertahan). Selanjutnya ia mengatakan, ” Capitalism would fade away with  a resign shrug of the shoulders”,Kapitalisme akan pudar/mati dengan terhentinya tanggung jawabnya  untuk kesejahteraan (Heilbroner,1992).
Sejalan dengan pandangan para ekonom di atas, pakar ekonomi Fritjop Chapra dalam bukunya, The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture (1999) dan Ervin Laszio dalam buku 3rd Millenium, The Challenge and The Vision (1999), mengungkapkan bahwa ekonomi konvensional (kapitalisme) yang berlandaskan sistem ribawi, memiliki kelemahan dan kekeliruan yang besar dalam sejumlah premisnya, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan moral. Kelemahan itulah menyebabkan ekonomi (konvensional) tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat yang miskin dengan negara-negara dan masyarakat yang kaya, demikian pula antara sesama anggota masyarakat di dalam suatu negeri. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma dan visi, yaitu melakukan satu titik balik peradaban, dalam arti membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang bisa dipertanggungjawabkan.
Titik balik peradaban versi  Fritjop Chapra sangat sesuai dengan pemikiran Kuryid Ahmad ketika memberi pengantar buku Umar Chapra, ”The Future of Economics : An Islamic Perpspective (2000), yang mengharuskan perubahan paradigma ekonomi. Hal yang sama juga ditulis oleh Amitai Etzioni dalam buku, ”The Moral Dimension : Toward a New Economics”(1988), yakni kebutuhan akan paradigm shift (pergeseran paradigma) dalam ekonomi.
Sejalan dengan pandangan para ilmuwan di atas, Critovan Buarque, ekonom dari universitas Brazil dalam buknya, “The End of Economics” Ethics and  the Disorder of Progress (1993), melontarkan sebuah gugatan terhadap paradigma ekonomi kapitalis yang mengabaikan nilai-nilai etika dan sosial.
Paradigma ekonomi kapitalis tersebut telah menimbulkan efek negatif bagi pembangunan ekonomi dunia, yang disebut Fukuyama sebagai ”Kekacauan Dahsyat” dalam bukunya yang paling monumental, “The End of Order”.(1997), yakni berkaitan dengan runtuhnya  solidaritas sosial dan keluarga.
Meskipun di Barat, ada upaya untuk mewujudkan keadilan sosial, namun upaya itu gagal, karena paradigmanya tetap didasarkan pada filsafat materialisme dan sistem ekonomi ribawi. Kemandulan yang dihasilkan elaborasi teori dan praktek Filsuf Sosial Amerika, John Rawis dalam buku “The Theory of Justice” (1971) yang ditanggapi oleh Robert Nozik dalam bukunya “Anarchy, State  and Utopia” (1974), telah menjadi contoh yang mempresentasikan kegagalan teori keadilan versi Barat.
Ketika sistem ekonomi kapitalisme mengalami kerapuhan dan ”kematian”, maka sekali lagi ditegaskan, bahwa peluang ekonomi syariah makin terbuka luas untuk berkembang. Ekonomi Syari’ah merupakan sistem ekonomi post-capitalist yang berperan sebagai solusi ekonomi dunia. Semoga para ilmuwan ekonomi Islam saat ini dapat mengisi peluang besar yang sangat strategis itu dengan ijtihad ekonomi yang lebih kreatif dan inovatif berdasarkan nilai-nilai syari’ah.
================
Tulisan: Agustianto M.Ag

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah?

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah? By  Nizar Alshubaily Editor: Ust Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Recent debates in social media still point to a level of unease about what constitutes currency in Shariah and doubts remain about paper money.  Some claim that paper money is Haram, and insist that only gold and silver are legitimate currencies. Others demand that paper money must be backed by gold and silver. Some see paper money as a product of the interest-bearing international banking system, and therefore non-Shariah compliant.  Some of the statements made concerning currencies in Shariah claim that Fiat currencies are Haram since they are based on debt and interest, while other statements claim that Shariah requires a currency to have intrinsic value. Yet others believe gold and silver are Sunnah, specifically Sunnah Taqririya, one of the three types of Sunnah, more related to tacit approval.  Nothing could be further from the truth....