Hukum Membeli Secara Kredit
Pertanyaan:
1. Apa
hukum kredit yang ada di negara kita?
2. Bagaimana hukum
membeli perumahan dengan kredit?
3. Bagaimana hukumnya kalau kita
menyewakan atau menjual barang dengan harga beda? Misalnya untuk sewa 1 bulan =
100.000 dan sewa 2 minggu = 70.000. Serta untuk menjual barang cash = 100.000,
kredit selama 2 bulan @ 70.000. Bagaimana hukum keduanya (sewa atau beli harga
beda)? Kalau hukumnya haram, bagaimana sebaiknya? Jazakallah atas petunjuknya,
4. Ada seseorang yang
membeli mobil dengan cara mengangsur karena dia tidak bisa membelinya dengan cara tunai. Pada saat
itu dia dipaksa oleh agen mobil ini untuk ikut asuransi yang menjamin mobilnya.
Bagaimanakah pendapat Anda mengenai asuransi seperti ini dan asuransi-asuransi
lainnya, sepeerti asuransi jiwa dan lain-lainnya?5. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Pembicaraan
seputar berjual beli secara kredit lagi marak. Oleh karena itu, mohon kepada
yang mulia untuk menjelaskan hukum mejual dengan kredit !
Jawaban:
1. Kredit ada
beberapa bentuk: Pertama: Jika
harga kontan dan harga kredit sama, kemudian jika terjadi kredit macet (tidak
mampu mengangsur) tidak ada denda maka ini dibolehkan. Kedua: Jika harga kontan dan
harga kredit sama tapi ketika kredit macet ada denda maka ini tidak boleh. Ketiga: Jika harga kredit
lebih mahal dari harga kontan dan jika kredit macet tidak ada denda maka ulama
berbeda pendapat. Keempat:
Jika harga kredit lebih mahal dari harga kontan dan jika kredit macet ada denda
maka ini tidak dibolehkan.
2. Hukum jual-beli secara kredit
menurut pendapat yang lebih kuat adalah diperbolehkan selama syarat-syarat
jual-beli terpenuhi dan tidak ada unsur riba, manipulasi, dan mengundi nasib,
sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin,
dan selainnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa jual-beli kredit hukumnya
haram lantaran termasuk dalam larangan jual-beli dua transaksi dalam satu
transaksi, maka ini kurang tepat, karenakan akad jual-beli kredit jatuhnya
hanya pada satu transaksi, sehingga tidak termasuk akad yang dilarang. (Lihat
kembali pembahasan secara rinci tentang jual-beli kredit dalam majalah
Al-Furqon, edisi 4, tahun IV).
3. Langsung saja, masalah hukum
perkreditan yang ditanyakan di sini insya Allah boleh, walaupun terjadi
perbedaan harga, asalkan transaksinya jelas. Ketika pembeli pergi membawa
barang, telah ada kepastian pilihan harga yang ia ambil. Untuk lebih lanjutnya
bisa baca artikel yang telah saya tulis tentang hkum jual beli kredit. Diantara
salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan
jual-beli dengan cara kredit. Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di
masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan
metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat
manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.
Tidak
pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh
masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk
mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di
zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai
kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda. Adalah kesalahan besar
bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada
kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna
dan kandungannya.
Diantara
jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah
transaksi perkreditan. Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja,
yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di
zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu
metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga. Dengan demikian pembeli
sebagai pihak
pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang,
akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda: Pihak kedua: Pemilik barang. Pihak ketiga: Perusahaan
pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita
temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada
kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum
kedua jenis perkreditan ini.
Perkreditan
yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah
suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad
perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih
besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat
-sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan
pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil
berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs.
Al Baqarah: 282)
Ayat
ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang,
sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman
ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu
‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً
نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan
pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada
hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli
bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau
menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya
jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk
jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin
Al ‘Ash radhiallahu
‘anhu.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال
عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع
ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى
خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني
وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan,
sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin
Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga
datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun
seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli
setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah
tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan
dihasankan oleh Al Albani.
Pada
kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga
dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau
tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli
dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi
penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam
(jual-beli dengan pemesanan).
Diantara
bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu
memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah
kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini,
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak
berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم.
متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan
cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman
dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu
fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal.
Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil
yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka
perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun
sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا
أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang
siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan
mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam
riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat
ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna
hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli
‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran
dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali
barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar
lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan
contoh singkat tentang perkreditan jenis ini: Bila pak Ahmad hendak membeli
motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu
showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih
motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan
diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan
menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut
dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya
dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih. Setelah akad jual-beli
ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia
beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan
motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia
mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut. Praktek serupa
juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan
dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak
Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke
showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya
sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan
bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit,
maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran
kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah
bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli
menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya,
yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis
telah menjadi nasabah bank terkait. Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih
disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga
dengan ketentuan tertentu.
Pada
dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi
permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli
dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang
menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan
memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini. Bila
kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya
akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada
kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran
Pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp
10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom
tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk
membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini
yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya
seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل
الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba
(nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau
juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (HR. Muslim)
Penafsiran
kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali
kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank
telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu
showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum
sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor
tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan
atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran
ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba
yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء
بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu
‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali
hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat
bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat
Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu
‘anhu berikut:
عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته
لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي
بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن
رسول الله e نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى
يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم
“Dari sahabat Ibnu Umar ia
mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya
telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak
tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun
hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut)
tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun
menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata:
“Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau
pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali
barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan
oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Hadis Riwayat Abu dawud
dan Al Hakim) ([3])
Para
ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, diantaranya ialah, karena
kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal,
karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak
terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat
menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut. Dan hikmah kedua: Seperti yang
dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika muridnya
yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام
مرجأ
Saya
bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu
karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan
bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu
Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan
seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada
penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia
menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima
uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada
di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar
(menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai
konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan
makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan
penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan
dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang
karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai
solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita
dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung
dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad
al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang
pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang
dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada
pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang.
Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan
bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya
menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah
Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor
keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh
hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah
untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan
kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang
kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah
Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ
لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu
mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih.” (Qs.
Ibrahim: 7)
Dan
hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan
menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan
jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.
ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada
Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki
dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu
dinyatakan oleh para ulama:
من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah
akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Wallahu Ta’ala a’alam bisshowab.
Footnote:
[1]
) Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiin dan Hasyi’ah
‘ala Syarah Sunan Abi Dawud.
[2]
) Sebagian showroom tidak mensyaratkan pembayaran uang muka.
[3]
) Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, akan tetapi ia telah
menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya,
sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab At Tahqiq. Baca Nasbur Rayah 4/43
, dan At Tahqiq 2/181.
[4]
) Riwayat Bukhary dan Muslim.
[5]
) Fathul Bari,
oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348-349.
***
Dijawab oleh: Ustadz
Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc, MA (Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia)
4. Pembelian mobil yang Anda lakukan dengan cara mengangsur
itu boleh, jika keberadaan mobil itu diketahui dengan pasti, harganya pun
diketahui dengan pasti, dan setiap angsuran dengan batas waktunya pun diketahui
dengan pasti, dan setiap angsuran dengan batas waktunya pun diketahui dengan
pasti. Adapun mengenai asuransi jaminan terhadap mobil Anda adalah haram.
Demikian juga dengan asuransi jiwa, asuransi anggota tubuh atau asuransi barang
dan segala asuransi perdagangan. Sebab, di dalamnya terkandung tipu daya dan
unsur judi, serta memakan harta orang lain dengan cara tidak benar.
Wabillahit
Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan
keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
keluarga, dan para Sahabatnya.
Sumber: Fatwa-Fatwa
Jual Beli, Pustaka Imam Syafii, 1424 H – 2004 M
Dipublikasikan
oleh: KonsultasiSyariah.com
***
Keterangan:
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli kredit, dan pendapat yang insya
Allah lebih kuat/rajih adalah BOLEH, dengan syarat tidak ada tambahan pembayaran apabila
pembayaran angsurannya terlambat. Dan realitanya, banyak sekali praktek jual
beli kredit yang ada sekarang ini (terutama di negara kita) TIDAK SESUAI dengan syariah Islam, oleh
karena itu seyogyanya kita sebagai seorang muslim harus meneliti dan mencermati
setiap akad yang akan kita jalankan.
Berikut
ini kami kutip sebagian dari tulisan ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. tentang
Jual Beli Kredit:
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan
yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah
suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad
perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih
besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat
-sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan
pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil
berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً
فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs.
Al Baqarah: 282)
Ayat
ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang,
sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman
ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu
‘anha.
اشترى
رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang
yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau
kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada
hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli
bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau
menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya
jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk
jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin
Al ‘Ash radhiallahu
‘anhu.
أن
رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا
ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع
عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى
الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu
pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan
Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran
ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al
‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli
setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah
tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan
dihasankan oleh Al Albani.
Pada
kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga
dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau
tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli
dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi
penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam
(jual-beli dengan pemesanan).
Diantara
bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu
memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah
kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini,
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak
berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
من
أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang
siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas
pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman
dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu
fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal.
Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil
yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka
perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun
sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
من
بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي
وغيره
“Barang
siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan
mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam
riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat
ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna
hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli
‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran
dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali
barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar
lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan
contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila
pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat
mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit.
Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa
pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan
biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga
motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika
pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah
akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang
motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang
cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom
tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek
serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan
dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak
Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke
showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya
sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan
bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit,
maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran
kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah
bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli
menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya,
yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis
telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek
semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang
kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada
dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya
menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu
transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan
antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami
dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila
kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya
akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada
kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran
pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp
10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom
tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk
membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini
yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya
seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
عن
جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه،
وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari
sahabat Jabir radhiallahu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba
(nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau
juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran
kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali
kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank
telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu
showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum
sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor
tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan
atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran
ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba
yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
عن
ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا
يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari
sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan:
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan
makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”
Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya
seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat
Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu
‘anhu berikut:
“Dari
sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar,
dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan
menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak,
maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang
tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka
akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata:
“Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau
pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammelarang
dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang
tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.”
(Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])
Para
ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah,
karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja
batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak
terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat
menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan
hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu
‘anhuma ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan
sebab larangan ini:
قلت
لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
Saya
bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena
sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan
makanannya ditunda.”([4])
Ibnu
Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang
membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan
uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia
beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia
langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual
masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah
menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120
dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya
berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi
perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan
penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan
dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang
karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai
solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita
dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung
dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh
akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang
pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang
dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada
pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran
dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan
bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya
menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah
Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor
keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh
hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah
untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan
kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang
kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah
Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ
عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu
mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih.” (Qs.
Ibrahim: 7)
Artikel
lengkap dapat dibaca pada link: Hukum Jual Beli Kredit di
PengusahaMuslim.com
5. Jawaban Oleh: Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin
Menjual dengan kredit artinya
bahwa seseorang menjual sesuatu (barang) dengan harga tangguh yang dilunasi
secara berjangka. Hukum asalnya adalah dibolehkan berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta”ala.
“Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu”amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya” [Al-Baqarah : 282>
Demikian pula, karena Nabi Shallallahu
alaihi wa salam telah membolehkan jual beli As-Salam, yaitu membeli secara
kredit terhadap barang yang dijual. Akan tetapi kredit (angsuran) yang dikenal
di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam bentuk pengelabuan
terhadap riba. Teknisnya ada beberapa cara, di antaranya :
Pertama
Seseorang memerlukan sebuah mobil,
lalu datang kepada si pedagang yang tidak memilikinya, sembari berkata,
“Sesungguhnya saya memerlukan mobil begini”. Lantas si pedagang pergi dan
membelinya kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih
banyak. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan
tersebut karena si pedagang mau membelinya hanya karena permintaannya dan bukan
membelikan untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan
keuntungan tambahan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba
(memberikan bunga, pent), padahal para ulama berkata, “Setiap pinjaman yang
diembel-embeli dengan tambahan, maka ia adalah riba”. Jadi, standarisasi
dalam setiap urusan adalah terletak pada tujuan-tujuannya.
Kedua
Bahwa sebagian orang ada yang
memerlukan rumah tetapi tidak mempunyai uang, lalu pergi ke seorang pedagang yang
membelikan rumah tersebut untuknya, kemudian menjual kepadanya dengan harga
yang lebih besar secara tangguh (kredit). Ini juga termasuk bentuk pengelabuan
terhadap riba sebab si pedagang ini tidak pernah menginginkan rumah tersebut,
andaikata ditawarkan kepadanya dengan separuh harga, dia tidak akan membelinya
akan tetapi dia membelinya hanya karena merasa ada jaminan riba bagi dirinya
dengan menjualnnya kepada orang yang berhajat tersebut.
Gambaran yang lebih jelek lagi
dari itu, ada orang yang membeli rumah atau barang apa saja dengan harga
tertentu, kemudian dia memilih yang separuh harga, seperempat atau kurang dari
itu padahal dia tidak memiliki cukup uang untuk melunasinya, lalu dia datang
kepada si pedagang, sembari berkata, “Saya telah membeli barang anu dan telah
membayar seperempat harganya, lebih kurang atau lebih banyak dari itu sementara
saya tidak memiliki uang, untuk membayar sisanya”. Kemudian si pedagang
berkata, Saya akan pergi ke pemilik barang yang menjualkannya kepada anda dan
akan melunasi harganya untuk anda, lalu saya mengkreditkannya kepada anda lebih
besar dari harga itu. Dan banyak lagi gambaran-gambaran yang lain.
Akan tetapi yang menjadi dhabit
(ketentuan yang lebih khusus) adalah bahwa “setiap
hal yang tujuannya untuk mendapatkan riba, maka ia adalah riba sekalipun
dikemas dalam bentuk akad yang halal, sebab tindakan pengelabuan tidak akan
mempengaruhi segala sesuatu. Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah,
hanya akan menambahnya menjadi semakin lebih buruk karena mengandung dampak
negative. Dari hal yang diharamkan dan penipuan, padahal Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : “Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh
orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kamu menghalalkan apa-apa yang telah
diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) pengelabuan
(siasat licik)”. [1>
[Fatawa Muashirah, hal. 52-53,
dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin>
[Disalin dari buku Al-Fatawa
Asy-Syariyyah Fi Al-Masa”il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Jurasiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah
Amir Hamzah dkk, Penebit Darul Haq>
_________
Foot Note
[1> Lihat, Ibn Bathuthah dalam kitab
Ibthalil Hiyal hal. 24. Irwa”ul Ghalil 1535
(Sumber : Almanhaj.or.id , https://pengusahamuslim.com/66-tanya-jawab-hukum-berjual-beli-secara-kredit.html, https://konsultasisyariah.com/1603-kredit-mobil-dengan-asuransi.html , https://konsultasisyariah.com/1625-hukum-jual-beli-kredit.html , https://konsultasisyariah.com/1692-membeli-perumahan-dengan-kredit.html
Comments
Post a Comment