AYAT-AYAT DAN HADIS-HADIS BERKAITAN JUAL BELI
Definisi
Jual Beli. Al-buyu’ adalah bentuk jamak dari bai’u, dan dijamak karena
banyak macamnya. Sedangkan bai’u yaitu memindahkan kepemilikan kepada
orang lain dengan harga. Adapun syira adalah menerima bai’i tersebut. Dan
setiap dari keduanya digunakan untuk menamai yang lainnya.
Allah
Ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [Al-Baqarah: 275]”. Juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ
تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu.” [An-Nisaa’: 29)].
Dari
Hakim bin Hizam Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda:
اَلْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا.
“Al-Bayyi’an
(penjual dan pembeli) memiliki hak khiyar (memilih untuk melanjutkan jual beli
atau membatalkannya) selama keduanya belum berpisah.” [1]
Kaum
muslimin telah berijma’ akan bolehnya jual beli, dan hikmah juga mengharuskan
adanya jual beli, karena hajat manusia banyak bergantung dengan apa yang
dimiliki oleh orang lain (namun) terkadang orang tersebut tidak memberikan
kepadanya, sehingga dalam pensyari’atan jual beli terdapat wasilah (perantara)
untuk sampai kepada tujuan tanpa memberatkan. [2].
Dari
Miqdam Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ
طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ
اللهِ دَاوُدَ q كَانَ
يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ.
“Tidaklah
seseorang memakan makanan sedikit pun yang lebih baik dari memakan hasil
kerjanya sendiri, karena sesungguhnya Nabiyullaah, Dawud Aliahissallam dahulu
makan dari hasil kerjanya sendiri.” [3]
Dan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
َلأَنْ يَحْتَطِبَ
أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا
فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ.
“Sungguh,
seseorang di antara kalian mengumpulkan seikat kayu bakar yang ia panggul di
atas punggungnya (untuk dijual) adalah lebih baik baginya dari pada
meminta-minta kepada orang lain, entah diberi atau ditolak.’” [4]
Dari Muadz bin ‘Abdillah bin Khubaib, dari ayahnya, dari pamannya Radhiyallahu anhum, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى
لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ
النَّفْسِ مِنَ النَّعِيمِ.
“Tidak
mengapa kekayaan bagi orang yang bertakwa. Dan kesehatan bagi orang yang
bertakwa lebih baik dari pada kekayaan, dan jiwa yang baik termasuk nikmat.’”
[5]
Dari
Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى
تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا، وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا
فِي الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ.
“Wahai
manusia, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam memohon, karena
sesungguhnya suatu jiwa tidak akan mati sehingga dipenuhi rizkinya walaupun
lambat datangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam
memohon. Ambillah yang halal dan tinggalkan yangharam.” [6]
Dari
Hakim bin Hizam Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
beliau bersabda:
اَلْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، أَوْ قَالَ: حَتَّى يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ
صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا
مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا.
“Penjual
dan pembeli memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah (atau beliau
bersabda, ‘Hingga keduanya ber-pisah’), apabila keduanya berbuat jujur dan
menjelaskan (keadaan dagangannya), maka akan diberkahi dalam jual belinya,
(namun) apabila menutup-nutupinya dan berdusta, maka akan dihapus keberkahan
jual belinya.” [7]
Dari
‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
اَلْمُسْلِمُ أَخُو
الْمُسْلِمِ لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ
إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ.
“Seorang
muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim
untuk menjual kepada saudaranya barang dagangan yang terdapat aib padanya
kecuali ia menjelaskannya” [8]
Dari
Jabir bin ‘Abdillah Rdhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
رَحِمَ اللهُ رَجُلاً
سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.
“Semoga
Allah merahmati seseorang yang murah hati apabila menjual, apabila membeli
serta apabila menuntut” [9]
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda:
كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ
النَّاسَ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ: تَجَاوَزُوْا عَنْهُ
لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا، فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ.
“Dahulu
ada seorang pedagang yang sering memberi hutang kepada manusia, apabila ia
melihat orang yang kesulitan membayar hutangnya (mu’-sir) maka ia berkata
kepada para pembantunya, ‘Maafkanlah ia, semoga Allah memaafkan
(kesalahan-kesalahan) kita.’ Maka, Allah pun memaafkan (mengampuni)
kesalahan-kesalahannya.” [10]
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
مَرَّ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ يَبِيعُ طَعَامًا، فَأَدْخَلَ يَدَهُ
فِيهِ فَإِذَا هُوَ مَغْشُوشٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ.
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seseorang yang menjual makanan, lalu
beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, ternyata ia menipu, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Orang yang menipu (berbuat curang)
bukan dari golongan kami.’”[11]
Dari
Shakhr al-Ghamidi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
اَللّهُمَّ بَارِكْ
ِلأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا.
‘Ya
Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.’” [12]
Dari
Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhum,
ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, “Barangsiapa
ketika masuk pasar membaca:
لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ،
وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ كُلُّهُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ.
‘Tidak
ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata, tidak ada
sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya segala pujian, Dia yang
menghidupkan dan mematikan, Dia Mahahidup dan tidak mati, segala kebaikan
berada dalam tangan-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.’
Niscaya
Allah akan menuliskan satu juta kebaikan baginya dan menghapus satu juta
kesalahannya dan Dia akan membangun rumah untuknya di Surga.” [13]
Hukum
asalnya adalah boleh menjual apa saja dan dengan cara bagaimanapun jual beli
tersebut selama dilakukan dengan saling suka sama suka antara penjual dan
pembeli selama tidak dilarang oleh syari’at.
Macam-Macam Jual Beli
Yang Dilarang Syari’at
1. Bai’ul Gharar
Yaitu semua jual beli yang mengandung unsur jahalah (ketidak-jelasan) atau mengandung unsur mengadu peruntungan atau judi. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
Yaitu semua jual beli yang mengandung unsur jahalah (ketidak-jelasan) atau mengandung unsur mengadu peruntungan atau judi. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ
الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ.
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bai’ul hashaat dan bai’ul gharar
(menjual barang yang ada unsur penipuan)” [14]
Al-Imam
an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim (X/ 156), “Larangan bai’ul gharar merupakan asas yang
besar dari asas-asas kitab jual beli, oleh karena itulah Imam Muslim
mendahulukannya karena masuk di dalamnya masalah-masalah yang begitu banyak
tidak terbatas, seperti bai’ul aabiq (menjual budak yang kabur dari tuannya),
bai’ul ma’dum (menjual sesuatu yang tidak ada), bai’ul majhul (menjual sesuatu
yang tidak jelas), menjual barang yang tidak bisa diberikan kepada pembeli,
menjual sesuatu yang hak kepemilikan penjual tidak sempurna, menjual ikan dalam
air yang banyak, menjual susu yang masih dalam kantungnya, menjual janin yang
masih dalam perut induknya, menjual seonggok makanan tanpa takaran yang jelas,
menjual sepotong pakaian dari kumpulan banyak pakaian (tanpa menentukannya),
menjual seekor kambing dari kumpulan banyak kambing (tanpa menentukannya), dan
yang sejenisnya, semua ini hukum menjualnya adalah bathil, karena ia termasuk
gharar tanpa ada hajat.”
Beliau
berkata, “Apabila ada hajat yang menyeru
kepada dilakukannya gharar dan tidak mungkin berlindung darinya kecuali dengan
masyaqqah (cara yang berat/sulit) dan bentuk ghararnya sepele, maka boleh
menjualnya. Oleh karena itulah kaum muslimin (ulama) bersepakat akan bolehnya
menjual jubah yang diisi dengan kapas walaupun tidak melihat waktu mengisinya
dan kalau bahan pengisinya dijual secara terpisah maka tidak boleh.”
Selanjutnya
beliau berkata, “Ketahuilah bahwa bai’ul
mulamasah, bai’ul munabadzah, bai’ul hablil habalah, bai’ul hashaat, ‘asbul
fahl dan macam-macam jual beli yang sejenisnya yang terdapat nash-nash khusus
padanya, ini semua masuk dalam larangan bai’ul gharar, akan tetapi disebutkan
secara tersendiri dan dilarang karena ia adalah jenis jual beli Jahiliyyah yang
masyhur. Wallaahu a’lam.” (secara ringkas).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
نُهِيَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ
الْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ، أَمَّا الْمُلاَمَسَةُ، فَأَنْ يَلْمِسَ كُلُّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثَوْبَ صَاحِبِهِ بِغَيْرِ تَأَمُّلٍ، وَالْمُنَابَذَةُ أَنْ
يَنْبِذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثَوْبَهُ إِلَى اْلآخَرِ وَلَمْ يَنْظُرْ
وَاحِدٌ مِنْهُمَا إِلَى ثَوْبِ صَاحِبِهِ.
“Dua bentuk jual beli
yang dilarang; mulamasah dan munabadzah. Adapun mulamasah yaitu (dengan cara)
setiap dari penjual dan pembeli menyentuh pakaian kawannya tanpa
memperhatikan/memeriksa (ada cacat padanya atau tidak). Sedangkan munabadzah
yaitu (dengan cara) setiap dari penjual dan pembeli melempar pakaiannya kepada
yang lainnya dan salah seorang dari keduanya tidak melihat kepada pakaian
saudaranya” [15]
Dari
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لِبْسَتَيْنِ وَعَنْ بَيْعَتَيْنِ، نَهَى
عَنِ الْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ فِي الْبَيْعِ، وَالْمُلاَمَسَةُ لَمْسُ
الرَّجُلِ ثَوْبَ اْلآخَرِ بِيَدِهِ بِاللَّيْلِ أَوْ بِالنَّهَارِ وَلاَ
يُقَلِّبُهُ إِلاَّ بِذَلِكَ، وَالْمُنَابَذَةُ أَنْ يَنْبِذَ الرَّجُلُ إِلَى
الرَّجُلِ بِثَوْبِهِ وَيَنْبِذَ اْلآخَرُ ثَوْبَهُ وَيَكُونَ ذلِكَ بَيْعَهُمَا
عَنْ غَيْرِ نَظَرٍ وَلاَ تَرَاضٍ.
“Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melarang kami dari dua bentuk jual beli dan dua macam
pakaian, beliau melarang dari mulamasah dan munabadzah dalam jual beli. Dan
mulamasah adalah seseorang menyentuh pakaian orang lain dengan tangannya di
waktu malam atau siang dan ia tidak membolak-baliknya kecuali dengan
menyentuhnya saja. Sedangkan munabadzah adalah seseorang melempar pakaiannya
kepada orang lain, dan orang lain tersebut melempar pakaiannya kepadanya, dan
dengan itulah cara jual beli mereka berdua tanpa melihat dan tanpa saling suka
sama suka” [16]
Dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
كَانَ أَهْلُ
الْجَاهِلِيَّةِ يَتَبَايَعُونَ لُحُومَ الْجَزُورِ إِلَى حَبَلِ الْحَبَلَةِ
قَالَ وَحَبَلُ الْحَبَلَةِ أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ مَا فِي بَطْنِهَا ثُمَّ
تَحْمِلَ الَّتِي نُتِجَتْ فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ ذلِكَ.
“Adalah
ahlul Jahiliyyah saling menjual daging unta hingga habalul habalah. Dan habalul
habalah adalah agar seekor unta beranak kemudian anaknya ini bunting, maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang akan hal itu.” [17]
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ
الْغَرَرِ
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bai’ul hashaat dan bai’ul gharar.” [18].
Al-Imam
an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Shahiih Muslim (X/156), “Adapun
bai’ul hashaat, maka ada tiga penafsiran padanya:
Pertama:
(Yaitu) dengan mengatakan, “Aku jual kepadamu dari pakaian-pakaian ini apa
yang terkena kerikil yang aku lempar,” atau “Aku jual tanah ini kepadamu
dari sini sampai sejauh kerikil yang aku lempar.”
Kedua:
(Yaitu) dengan mengatakan, “Aku jual
kepadamu dengan syarat kamu memiliki khiyar sampai aku melempar dengan kerikil
ini.”
Ketiga:
(Yaitu) keduanya (penjual dan pembeli) menjadikan jenis lemparan dengan kerikil
itu sendiri sebagai jual beli, yaitu ia mengatakan, “Jika aku melempar
pakaian ini dengan batu maka ia dibeli olehmu dengan harga sekian.”
‘Asbul
Fahl [19]
Dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ.
“Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ‘asbul fahl.” [20]
2.
Bai’u Maa Laisa ‘Indahu (Jual Beli Barang Yang Tidak Ada Pada
Penjualnya)
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seseorang meminta kepadaku untuk menjual, padahal aku tidak memiliki, apakah aku menjual kepadanya?’ Beliau menjawab:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ
عِنْدَكَ.
“Jangan
engkau jual suatu barang yang tidak engkau miliki.’” [21]
3.
Jual Beli Suatu Barang yang Belum Diterima
Dari
Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا
فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ.
“Barangsiapa membeli
makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia menerimanya dahulu.”
Ibnu
‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku menganggap segala sesuatu
kedudukannya seperti makanan.” [22]
Dari
Thawus, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا
فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَكْتَالَهُ.
“Barangsiapa
yang membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga ia menerimanya.”
Aku
berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Tidakkah
engkau melihat mereka saling berjual beli dengan emas sedangkan makanannya
tertahan (tertunda).”[23]
4.
Melakukan Transaksi Jual Beli di atas Transaksi Jual Beli Saudaranya
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ
عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ.
“Janganlah sebagian
kalian melakukan transaksi jual beli di atas transaksi jual beli sebagian yang
lain.” [24]
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لاَ يَسُمِ الْمُسْلِمُ
عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ.
“Janganlah
seorang muslim menawar (barang) yang sedang ditawar oleh saudaranya.” [25]
5.
Bai’ul ‘Inah
Yaitu
menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tempo dan ia menyerahkannya
kepada si pembeli, kemudian sebelum ia menerima pembayarannya ia membelinya
kembali (dari si pembeli) dengan harga tunai yang lebih sedikit (lebih murah)
dari harga tempo.
Dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ
بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ
وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى
تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ.
“Apabila
engkau berjual beli dengan cara ‘inah, dan kalian lebih senang memegang
ekor-ekor sapi•, dan ridha dengan bercocok tanam, serta kalian meninggalkan
kewajiban jihad, (niscaya) Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Tidaklah
Dia mencabut kehinaan itu, melainkan bila kalian kembali kepada agama kalian.” [26]
6.
Jual Beli dengan Cara Tempo Dengan Menambah Harga (Jual Beli Kredit)
Dewasa
ini telah tersebar jual beli dengan cara tempo dengan menambah harga yang lebih
dikenal dengan nama bai’ut taqshiith (jaul beli kredit). Adapun bentuk
jual beli ini -sebagaimana yang sudah maklum- adalah menjual barang dengan
dikredit dengan tambahan harga sebagai balasan tempo waktu. Sebagai contoh
suatu barang dengan cara tunai seharga seribu, lalu dijual dengan cara kredit
seharga seribu dua ratus, jual beli seperti ini termasuk jual beli yang DILARANG.
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu a’nhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ
فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا.
“Barangsiapa
menjual dua transaksi dalam satu transaksi, maka baginya kerugiannya atau RIBA.”
[27]
Barang-Barang
yang Tidak Boleh Diperjualbelikan:
1. Khamr (Minuman Memabukkan)
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ahuma, ia berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ آيَاتُ
سُورَةِ الْبَقَرَةِ عَنْ آخِرِهَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ حُرِّمَتِ التِّجَارَةُ فِي الْخَمْرِ.
“Tatkala
turun ayat-ayat surat Al-Baqarah…., Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar
seraya bersabda, ‘Telah diharamkan perdagangan khamr.’” [28].
2. Bangkai, Babi Dan Patung
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika berada di Makkah pada ‘amul fath
(tahun pembukaan kota Makkah):
إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ
حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَاْلأَصْنَامِ، فَقِيلَ
يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا
السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لاَ
هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عِنْدَ ذلِكَ قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا
جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ.
“Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung.”
Kemudian ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pendapatmu tentang
(menjual) lemak bangkai, sesungguhnya ia digunakan untuk mengecat perahu,
meminyaki kulit dan orang-orang menggunakannya untuk penerangan?” Beliau
menjawab, “Tidak boleh, ia haram.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kemudian bersabda, “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi, sesungguhnya
Allah ketika mengharamkan lemak-lemak (hewan), mereka pun mencairkannya lalu
menjualnya dan memakan uangnya.” [29].
3. Anjing
Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ
الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ.
“Bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari hasil penjualan anjing, mahrul
baghyi (uang hasil berzina/melacur) dan hulwanul kaahin (upah praktek
perdukunan).” [30].
4. Lukisan (Gambar-Gambar) Yang
Memiliki Ruh
Dari Said bin Abul
Hasan, ia berkata, “Aku sedang berada di tempat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
anhuma, tiba-tiba datang seseorang kepadanya seraya bertanya, ‘Wahai Ibnu
‘Abbas, aku adalah seseorang yang penghasilanku dari kerajinan tanganku, dan
sesungguhnya aku membuat gambar-gambar ini.’ Maka Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Aku
tidak akan menceritakan kepadamu kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku telah mendengar beliau bersabda:
مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فَإِنَّ اللهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ
فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا.
“Barangsiapa yang
menggambar suatu gambar (bernyawa), maka sesungguhnya Allah akan mengadzabnya
sehingga ia meniupkan ruh padanya (gambar-gambar tadi), dan ia tidak akan mampu
untuk meniupkan ruh selamanya”.
Maka
orang tersebut pun mengalami sesak nafas yang hebat dan wajahnya memucat. (Ibnu
‘Abbas) berkata, ‘Celaka engkau, kalau engkau enggan kecuali harus membuatnya,
maka gambarlah pohon ini, (gambarlah) segala sesuatu yang tidak memiliki ruh”.
[31].
5. Buah Sebelum Matang
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ
الثَّمَرَةِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا وَعَنِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ، قِيلَ
وَمَا يَزْهُو؟ قَالَ: يَحْمَارُّ أَوْ يَصْفَارُّ.
“Bahwa
beliau melarang menjual buah sebelum matang, dan kurma sehingga ia berwarna.”
Lalu ada yang bertanya, “Apa maksudnya berwarna?” Beliau menjawab, “(Hingga)
memerah atau menguning.” [32]
Juga
diriwayatkan darinya, “Bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual buah sehingga matang. Lalu
ditanyakan kepada beliau, ‘Apa maksudnya matang?’ Beliau menjawab, ‘Hingga
memerah.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ
اللهُ الثَّمَرَةَ بِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيْهِ.
“Apa pendapatmu apabila
Allah menahan buah tersebut (tidak bisa dipanen), maka dengan cara apa salah
seorang dari kamu mengambil harta saudaranya.’”[33].
6. Pertanian Sebelum Bijinya Mengeras
(Tua)
Dari Ibnu ‘Umar,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ
وَعَنِ السُّنْبُلِ حَتَّى يَبْيَضَّ وَيَأْمَنَ الْعَاهَةَ نَهَى الْبَائِعَ
وَالْمُشْتَرِيَ.
“Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual kurma hingga ma-tang,
dan (melarang menjual) biji-bijian hingga mengeras (matang) [34] , serta aman
dari hama. Beliau melarang penjual dan pembelinya.” [35]
[Disalin
dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis: Syaikh
Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap,
Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir,
Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih:
Shahiih al-Bukhari (IX/328, no. 2110), Shahiih Muslim (III/ 1164, no. 1532),
Sunan Abi Dawud (IX/330, no. 3442), Sunan at-Tirmidzi (II/359, no. 1264), Sunan
an-Nasa-i (VII/244).
[2]. Fat-hul Baari (IV/287)
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5546)], Shahiih al-Bukhari (IV/303, no. 2072).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7069)], Shahiih al-Bukhari (IV/303, no. 2074), Sunan at-Tirmidzi (II/94, no. 675), Sunan an-Nasa-i (V/96).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1741)], Sunan Ibni Majah (II/724, no. 2141).
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1743)], Sunan Ibni Majah (II/725, no. 2144).
[7]. Telah disebutkan takhrijnya.
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6705)], Sunan Ibni Majah (II/755, no. 2246).
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4454)], Shahiih al-Bukhari (IV/206, no. 2076).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3495)], Shahiih al-Bukhari (IV/308, no. 2078).
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1319), Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1809)], Sunan Ibni Majah (II/752, no. 2236), Sunan at-Tirmidzi (II/343, no. 1230), Sunan Abi Dawud (VII/265, no. 2589), Sunan at-Tirmidzi (II/389, no. 1329), Shahiih Muslim (I/99, no. 102).
[12]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1818)], Sunan Ibni Majah (II/752, no. 2236), Sunan at-Tirmidzi (II/343, no. 1230), Sunan Abi Dawud (VII/265, no. 2589), dan sabda beliau: “fii bukuurihaa (di waktu paginya),” maksudnya pada apa yang mereka bawa pada awal hari.
[13]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1817)], Sunan Ibni Majah (II/752, no. 2235).
[2]. Fat-hul Baari (IV/287)
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5546)], Shahiih al-Bukhari (IV/303, no. 2072).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7069)], Shahiih al-Bukhari (IV/303, no. 2074), Sunan at-Tirmidzi (II/94, no. 675), Sunan an-Nasa-i (V/96).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1741)], Sunan Ibni Majah (II/724, no. 2141).
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1743)], Sunan Ibni Majah (II/725, no. 2144).
[7]. Telah disebutkan takhrijnya.
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6705)], Sunan Ibni Majah (II/755, no. 2246).
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4454)], Shahiih al-Bukhari (IV/206, no. 2076).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3495)], Shahiih al-Bukhari (IV/308, no. 2078).
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1319), Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1809)], Sunan Ibni Majah (II/752, no. 2236), Sunan at-Tirmidzi (II/343, no. 1230), Sunan Abi Dawud (VII/265, no. 2589), Sunan at-Tirmidzi (II/389, no. 1329), Shahiih Muslim (I/99, no. 102).
[12]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1818)], Sunan Ibni Majah (II/752, no. 2236), Sunan at-Tirmidzi (II/343, no. 1230), Sunan Abi Dawud (VII/265, no. 2589), dan sabda beliau: “fii bukuurihaa (di waktu paginya),” maksudnya pada apa yang mereka bawa pada awal hari.
[13]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1817)], Sunan Ibni Majah (II/752, no. 2235).
[14]. Shahih:
[Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 939), Irwaa-ul Ghaliil (no. 1294)], Shahiih
Muslim (III/1153, no. 1513), Sunan at-Tirmidzi (II/349, no. 1248), Sunan Abi
Dawud (IX/230, no. 3360), Sunan Ibni Majah (II/139, no. 2194), Sunan an-Nasa-i
(VII/262).
[15]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 938)], Shahiih Muslim (III/1152, no. 1511 (2)).
[16]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1152, no. 1512) dan ini lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (IV/358, no. 2147, 44), Sunan Abi Dawud (IX/231, no. 3362), Sunan an-Nasa-i (VII/260)
[17]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/356, no. 2143), Shahiih Muslim (III/ 1153, no. 1514), Sunan Abi Dawud (IX/233, no. 3364, 65), Sunan at-Tirmidzi (II/349, no. 1247) secara ringkas, Sunan an-Nasa-i (VII/293), Sunan Ibni Majah (II/740, no. 2197) secara ringkas.
[18]. Telah disebutkan takhrijnya.
[19]. Al-Fahl adalah pejantan dari setiap hewan, baik itu kuda, unta atau pun domba dan yang dimaksud dengan ‘asbul fahl adalah harga sperma pejantan, dan juga dikatakan upah mengawini.
[20]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 939)], Shahiih al-Bukhari (IV/461, no. 2284), Sunan Abi Dawud (IX/296, no. 3412), Sunan at-Tirmidzi (II/372, no. 1291)
[21]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1292)], Sunan Ibni Majah (II/737, no. 2187), Sunan at-Tirmidzi (III/350, no. 1250), Sunan Abi Dawud (IX/401, no. 3486).
[22]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1160, no. 1525 (30)), dan lafazh ini mi-liknya, Shahiih al-Bukhari (IV/349, no. 2135), Sunan Abi Dawud (IX/393, no. 3480), Sunan an-Nasa-i (VII/286), Sunan at-Tirmidzi (II/379, no. 1309)
[23]. Mutttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1160, 1525 (31)) dan lafazh ini milik-nya, Shahiih al-Bukhari (IV/347, no. 2132), Sunan Abi Dawud (IX/392, no. 3479).
[24]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/373, no. 2165), Shahiih Muslim (III/ 1154, no. 1412), Sunan Ibni Majah (II/333, no. 1271).
[25]. Shahih: [Irwaaul Ghaliil (no. 1298)], Shahiih Muslim (III/1154, no. 1515).
• Kiasan dari sibuknya mereka dalam pertanian pada saat diwajibkannya ji-had. Lihat ‘Aunul Ma’bud.-pent.
[26]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 423)], Sunan Abi Dawud (IX/335, no. 3445)
[27]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6116)], Sunan Abi Dawud (no. 3444), untuk lebih rinci lagi periksalah as-Silsilah ash-Shahiihah oleh Syaikh al-Albani (no. 2326). Demikian pula risalah asy-Syaikh ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq: “Al-Qaulul Fashl fii Ba’il Ajal.”
[28]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/417, no. 2226), Shahiih Muslim (III/ 1206, no. 1580), Sunan Abi Dawud (IX/380, no. 3473), Sunan an-Nasa-i (VII/ 308)
[29]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/424, no. 2236), Shahiih Muslim (III/ 1207, no. 1581), Sunan at-Tirmidzi (II/281, no. 1315), Sunan Abi Dawud (IX/ 377, no. 3469), Sunan Ibni Majah (II/737, no. 2167), Sunan an-Nasa-i (VII/309).
[30] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/426, no. 2237), Shahiih Muslim (III/ 1198, no. 1567), Sunan Abi Dawud (IX/374, no. 3464), Sunan at-Tirmidzi (II/ 372, no. 1293), Sunan Ibni Majah (II/370, no. 2159), Sunan an-Nasa-i (VII/309).
[31]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/416, no. 2225) dan ini lafazh beliau, Shahiih Muslim (III/1670, no. 2110), Sunan an-Nasa-i (VIII/215) secara ringkas.
[32]. Shahih: [Shahih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6928)], Shahiih al-Bukhari (IV/397, no. 2197)
[33]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/398, no. 2198) dan lafazh ini milik beliau, Shahiih Muslim (III/1190, no. 1555), Sunan an-Nasa-i (VII/264)
[34]. Maksudnya sehingga bijinya mengeras, inilah yang dimaksud dengan budu-wus shalah dan aman dari ‘ahah yaitu (aman) dari hama yang menyerang pertanian, buah, dan yang sejenisnya hingga dapat merusaknya.
[35]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 917)], Shahiih Muslim (III/1165, no. 1535), Sunan Abi Dawud (IX/222, no. 3352), Sunan at-Tirmidzi (II/348, no. 1245), Sunan an-Nasa-i (VII/270)
[15]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 938)], Shahiih Muslim (III/1152, no. 1511 (2)).
[16]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1152, no. 1512) dan ini lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (IV/358, no. 2147, 44), Sunan Abi Dawud (IX/231, no. 3362), Sunan an-Nasa-i (VII/260)
[17]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/356, no. 2143), Shahiih Muslim (III/ 1153, no. 1514), Sunan Abi Dawud (IX/233, no. 3364, 65), Sunan at-Tirmidzi (II/349, no. 1247) secara ringkas, Sunan an-Nasa-i (VII/293), Sunan Ibni Majah (II/740, no. 2197) secara ringkas.
[18]. Telah disebutkan takhrijnya.
[19]. Al-Fahl adalah pejantan dari setiap hewan, baik itu kuda, unta atau pun domba dan yang dimaksud dengan ‘asbul fahl adalah harga sperma pejantan, dan juga dikatakan upah mengawini.
[20]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 939)], Shahiih al-Bukhari (IV/461, no. 2284), Sunan Abi Dawud (IX/296, no. 3412), Sunan at-Tirmidzi (II/372, no. 1291)
[21]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1292)], Sunan Ibni Majah (II/737, no. 2187), Sunan at-Tirmidzi (III/350, no. 1250), Sunan Abi Dawud (IX/401, no. 3486).
[22]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1160, no. 1525 (30)), dan lafazh ini mi-liknya, Shahiih al-Bukhari (IV/349, no. 2135), Sunan Abi Dawud (IX/393, no. 3480), Sunan an-Nasa-i (VII/286), Sunan at-Tirmidzi (II/379, no. 1309)
[23]. Mutttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1160, 1525 (31)) dan lafazh ini milik-nya, Shahiih al-Bukhari (IV/347, no. 2132), Sunan Abi Dawud (IX/392, no. 3479).
[24]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/373, no. 2165), Shahiih Muslim (III/ 1154, no. 1412), Sunan Ibni Majah (II/333, no. 1271).
[25]. Shahih: [Irwaaul Ghaliil (no. 1298)], Shahiih Muslim (III/1154, no. 1515).
• Kiasan dari sibuknya mereka dalam pertanian pada saat diwajibkannya ji-had. Lihat ‘Aunul Ma’bud.-pent.
[26]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 423)], Sunan Abi Dawud (IX/335, no. 3445)
[27]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6116)], Sunan Abi Dawud (no. 3444), untuk lebih rinci lagi periksalah as-Silsilah ash-Shahiihah oleh Syaikh al-Albani (no. 2326). Demikian pula risalah asy-Syaikh ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq: “Al-Qaulul Fashl fii Ba’il Ajal.”
[28]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/417, no. 2226), Shahiih Muslim (III/ 1206, no. 1580), Sunan Abi Dawud (IX/380, no. 3473), Sunan an-Nasa-i (VII/ 308)
[29]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/424, no. 2236), Shahiih Muslim (III/ 1207, no. 1581), Sunan at-Tirmidzi (II/281, no. 1315), Sunan Abi Dawud (IX/ 377, no. 3469), Sunan Ibni Majah (II/737, no. 2167), Sunan an-Nasa-i (VII/309).
[30] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/426, no. 2237), Shahiih Muslim (III/ 1198, no. 1567), Sunan Abi Dawud (IX/374, no. 3464), Sunan at-Tirmidzi (II/ 372, no. 1293), Sunan Ibni Majah (II/370, no. 2159), Sunan an-Nasa-i (VII/309).
[31]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/416, no. 2225) dan ini lafazh beliau, Shahiih Muslim (III/1670, no. 2110), Sunan an-Nasa-i (VIII/215) secara ringkas.
[32]. Shahih: [Shahih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6928)], Shahiih al-Bukhari (IV/397, no. 2197)
[33]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/398, no. 2198) dan lafazh ini milik beliau, Shahiih Muslim (III/1190, no. 1555), Sunan an-Nasa-i (VII/264)
[34]. Maksudnya sehingga bijinya mengeras, inilah yang dimaksud dengan budu-wus shalah dan aman dari ‘ahah yaitu (aman) dari hama yang menyerang pertanian, buah, dan yang sejenisnya hingga dapat merusaknya.
[35]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 917)], Shahiih Muslim (III/1165, no. 1535), Sunan Abi Dawud (IX/222, no. 3352), Sunan at-Tirmidzi (II/348, no. 1245), Sunan an-Nasa-i (VII/270)
==============
( Sumber: https://almanhaj.or.id/2821-kitab-jual-beli-1.html
) dan https://almanhaj.or.id/2106-kitab-jual-beli-2.html, dengan sedikit penyesuaian, untuk versi aslinya silahkan lihat website Sumber )
Comments
Post a Comment