PENGANTAR SISTEM EKONOMI ISLAM
Kritik Atas Sistem Kapitalis dan Sosialis
Pemikiran,
Bagi umat manapun, adalah sebuah kekayaan
yang tak ternilai harganya yang mereka miliki dalam kehidupan mereka, apabila
mereka adalah sebuah umat yang baru lahir. Bahkan, ia merupakan peninggalan
yang demikian berharga yang akan diwarisi oleh generasi penerusnya, apabila
umat itu telah menjadi sebuah umat yang memiliki identitas dalam bentuk
pemikirannya yang maju. Sedangkan kekayaan yang bersifat materi, penemuan-penemuan
ilmiah, perekayasaan industri serta hal-hal yang lainnya, masih jauh
kedudukannya dibanding dengan pemikiran. Bahkan, semuanya bisa diraih melalui
pemikiran, dan semata-mata bisa dilestarikan hanya oleh pemikiran.
Oleh karena itu, apabila kekayaan sebuah umat
yang bersifat materi hancur, maka dengan segera akan bisa dipulihkan kembali,
selama umat itu melestarikan kekayaan berfikir mereka. Namun apabila kekayaan
berfikir mereka telah terabaikan, dan sebaliknya, mereka malah melestarikan
kekayaan materi, maka kekayaan itu pun akan segera sirna dan mereka akan
kembali menjadi miskin. Seperti halnya kebanyakan penemuan-penemuan ilmiah yang
telah ditemukan oleh bangsa tersebut, mungkin saja akan terulang kembali,
apabila bangsa tersebut telah meninggalkan penemuan-penemuan itu, dengan tidak
meninggalkan metode berfikirnya. Sebaliknya, apabila mereka telah meninggalkan
metode berfikirnya yang inovatif tersebut, maka pasti mereka akan segera
terbelakang lagi. Sehingga penemuan-penemuan yang mereka miliki itu akan musnah.
Karena itulah, maka yang harus dijaga pertama kali adalah pemikiran. Sehingga
dengan dasar pemikiran ini, beserta metode berfikirnya yang inovatif itu,
mereka akan bisa meraih sukses dalam bidang materi serta berhasil menemukan
penemuanpenemuan ilmiah dan perekayasaan industria (yang sedemikian maju)
maupun hal-hal yang serupa lainnya.
Yang dimaksud dengan pemikiran di sini adalah
adanya aktivitas berfikir pada diri umat tentang realitas kehidupan yang mereka
hadapi. Dimana mereka masing-masing secara keseluruhan senantiasa mempergunakan
informasi/ pengetahuan yang mereka miliki, ketika mengindera berbagai fakta
ataupun fenomena untuk menentukan
hakekat fakta atau fenomena tersebut. Dengan kata lain, mereka senantiasa
harus memiliki pemikiran yang bisa mereka gunakan dalam menatap kehidupan
mereka. Sehingga karena sedemikian seringnya mereka mempergunakan pemikiran
yang cemerlang, maka akan muncul metode berfikir yang inovatif pada diri
mereka.
Umat Islam saat ini bisa dianggap sebagai
umat yang telah kehilangan pemikirannya, sehingga pasti mereka telah kehilangan
metode berfikirnya yang inovatif. Oleh karena itu, generasi umat saat ini tidak
pernah mewarisi pemikiran Islam, maupun pemikiran non Islam apapun dari
pendahulu mereka. Dan tentu saja mereka juga tidak akan pernah mewarisi satu
metode berfikir yang inovatif. Denagn kata lain, mereka tidak memiliki
pemikiran dan metode berfikir yang inovatif sama sekali. Karena itu, secara
pasti umat ini nampak telah menderita kemiskinan, sekalipun kekayaan materi di
negeri mereka sangat berlimpah. Mereka juga nampak telah kehilangan
kreativitasnya, sehingga tidak bisa menemukan penemuan-penemuan ilmiah, maupun
melakukan perekayasaan industrialisasi, meskipun secara teoritis mereka
mepelajari, mendengarkan dan menyaksikan penemuan-penemuan tersebut. Mengapa,
karena mereka tidak akan terdorong untuk melakukannya, kecuali apabila mereka
memiliki metode berikir yang inovatif. Yaitu, apabila mereka memiliki pemikiran
produktif yang mereka gunakan dalam kehidupan.
Berdasarkan hal ini, kaum Muslimin harus
membangun pemikiran dan metode berfikir yang inovatif itu dalam diri mereka.
Kemudian dengan landasan pemikiran itu, mereka bisa meraih kekayaan yang
besifat materi. Mereka juga akan bisa menemukan realitas-realitas ilmiah.
Setelah itu baru kemudian mereka bisa melakukan perekayasaan industrialisasi.
Selama mereka tidak melakukannya, niscaya mereka tetap tidak akan mungkin
melangkah maju setapak pun. Bahkan, mereka tetap akan berputar di tempat yang
akan menghabiskan tenaga dan pemikiran serta berakhir di tempat semula,
kemudian berputar lagi, begitu seterusnya.
Generasi umat Islam dewasa ini tidak memiliki
pemikiran-pemikiran yang berlawanan dengan pemikiran yang ingin diwujudkan pada
dirinya, sehingga generasi itu mampu menyadari (hakikat) pemikiran yang akan
disampaikan kepadanya. Dengan begitu, akan terjadi pertarungan antara dua
pemikiran, lalu dia mampu menemukan pemikiran yang benar. Kenyataannya tidaklah
demikian, justru generasi ini telah kehilangan semua pemikiran beserta seluruh
metode berfikirnya yang inovatif. Dimana
generasi ini telah mewarisi pemikiran-pemikiran Islam sebagai filsafat yang
bersifat utopis, sebagaimana bangsa Yunani yang --pada saat ini-- telah mewarisi
filsafat Aristoteles dan Plato. Generasi ini juga telah mewarisi Islam sebagai
sebuah upacara dan simbol-simbol keagamaan, seperti halnya orang-orang Nasrani
yang telah mewarisi agama Nasraninya. Sementara pada saat yang sama, generasi
ini telah terpesona dengan pemikiran Kapitalis, karena melihat keberhasilannya,
bukan karena memahami betul realitas pemikirannya. Juga karena generasi ini
telah tunduk pada sistem dan hukum kapitalis, bukan karena menyadari bahwa
peraturan-peraturan itu sebenarnya muncul dari pandangan hidup Kapitalis.
Oleh karena itu, mereka sendiri tetap jauh
dari pemikiran-pemikiran Kapitalis dilihat dari segi proses berfikirnya,
sekalipun mereka menatap kehidupan mereka dengan gaya hidup Kapitalis. Begitu
pula, mereka jauh dari pemikiranpemikiran Islam dari segi praktiknya, sekalipun
mereka beragama Islam dan mengkaji pemikiran-pemikirannya.
Kecenderungan mereka terhadap
pemikiran-pemikiran tersebut telah melampaui batas, tidak lagi pada usaha untuk
mengkompromikan antara Islam dengan hukum-hukum dan solusi-solusi Kapitalis. Bahkan,
sampai pada perasaan 10 inferior (rendah diri) terhadap kemampuan Islam untuk
melahirkan solusi-solusi bagi problem kehidupan yang senantiasa silih berganti.
Yang kemudian melahirkan ketergantungan pada hukum-hukum dan solusi-solusi
Kapitalis. Bahkan, tanpa membutuhkan upaya-upaya kompromi lagi, sehingga tidak
merasa riskan untuk meninggalkan hukum-hukum Islam dan mengadopsi hukum-hukum
non-Islam. Tujuanya adalah agar bisa meraih kemajuan dalam percaturan
kehidupan, sejajar dengan dunia yang berperadaban tinggi. Juga agar bisa
menyusul kelompok bangsa-bangsa Kapitalis atau bangsabangsa yang menerapkan
Sosialisme dan mneuju ke tahap Kominisme. Dengan menganggap, baik Kapitalis
maupun Sosialis itu, sebagai bangsa-bangsa yang maju.
Sedangkan golongan yang amat sedikit dari
kalangan mereka yang masih memegang Islam mereka duga memiliki kecenderungan
terhadap pemikiran-pemikiran Kapitalis. Akan tetapi, mereka masih mempunyai
obsesi tentang kemungkinan untuk mengkompromikan antara Islam dengan Kapitalis
dan Sosialis. Hanya sayang sekali, bahwa mereka yang berupaya untuk
mengkompromikan antara Islam dengan idiologi non-Islam itu tidak memiliki
pengaruh/peranan sama sekali dalam kehidupan masyrakat, dilihat dari segi interkasinya di
tengah-tengah kehidupan manusia.
Oleh karena itu, memberikan
pemikiran-pemikiran Islam dan hukum-hukum syara' sebagai solusi kehidupan jelas
akan mengalami pertarungan dengan manusia yang kosong dari pemikiran dan metode
berfikir, juga akan bertarung dengan kecenderungan terhadap pemikiran-pemikiran
Kapitalis atau Sosialis termasuk dengan realitas kehidupan sehari-hari yang
dikendalikan oleh sistem Kapitalis.
Selama pemikiran itu tidak kokoh hingga
betul-betul menancap kuat dalam benak dan akal mereka, maka tidak mungkin
pemikiran itu akan menggoncang orang-orang tersebut, bahkan rasanya sulit
memalingkan perhatian mereka. Karena dengan pemikiran ini, ia akan mampu
membawa logika-logika yang lemah plus dangkal itu ke dalam proses berfikir yang
mendalam. Ia juga mampu menggoncang kecenderungan-kecenderungan yang menyimpang
serta perasaan yang kacau hingga lahir kecenderungan yang benar, yaitu kepada
pemikiranpemikiran dan hukum-hukum Islam.
Karena itulah, maka seorang pengemban dakwah
Islam harus senantiasa memaparkan asas-asas yang menjadi dasar pijakan
hukum-hukum dan solusi-solusi Kapitalis. Ia harus menjelaskan kerusakan-kerusakannya, kemudian
menghancurkannya. Ia juga harus senantiasa mendalami realitas-realitas
kehidupan yang silih berganti, kemudian menjelaskan solusi Islam terhadap
realitas itu, yang merupakan hukum-hukum syara' yang wajib diambil, dilihat
dari fakta bahwa ia merupakan hukum syara' yang digali berdasarkan Kitabullah
dan Sunah Rasulullah, atau dalil yang ditunjukkan oleh keduanya. Bukan dari
cocok atau tidak cocoknya untuk masa sekarang. Dengan kata lain, ia harus
menjelaskan bahwa hukum mengambilnya adalah wajib dilihat dari segi aqidah
bukan karena maslahat. Maka, untuk menyampaikannya harus dilandasi dengan
penjelasan dalil syara'nya yang menjadi pijakan istimbat-nya, atau penjelasan
illat-nya dengan illat syar'iyah, yang telah dinyatakan, maupun yang telah
ditunjukkan oleh nash syara' yang serupa.
Masalah paling berat yang telah memalingkan
kaum muslimin, serta penyakit paling parah yang mereka derita dalam kehidupan
mereka ini adalah masalah pemikiran yang menyangkut persoalan pemerintahan dan
ekonomi. Karena pemikiran-pemikiran inilah yang paling banyak diterima dan
disambut dengan penuh kebanggaan oleh kaum muslimin. Disamping
pemikiran-pemikiran inilah yang paling banyak direkayasa oleh Barat agar bisa
diterapkan secara praktis, bahkan mereka senantiasa mengawasi upaya
penerapannya itu dengan gigih dan terusmenerus. Apabila umat Islam dipimpin
dengan mempergunakan sistem Demokrasi secara de jure –dan ini merupakan usaha
negara imperialis Kafir supaya penjajahan serta sistem mereka tetap bisa
dipertahankan— maka umat Islam secara de facto dipimpin dengan mempergunakan
sistem ekonomi Kapitalis pada semua sektor kehidupan perekonomiannya. Karena
itu, maka pemikiran-pemikiran Islam tentang ekonomi inilah yang sebenarnya
merupakan pemikiran yang paling kuat pengaruhnya dalam kehidupan perekonomian
di dunia Islam, dengan alasan bahwa pemikiran inilah yang akan merubah umat
secara revolusioner dan pemikiran inlah paling banyak dilawan oleh negara
imperialis Kafir beserta kaki tangan dan para pengagum Barat, yakni para
penguasa, orang-orang yang tersesat serta mereka yang mejadi pengagum Barat.
Oleh karena itu, kiranya perlu diberikan
gambaran yang jelas tentang ekonomi dalam sistem Kapitalis, yang dipergunakan
oleh Barat sebagai pemikiran paling mendasar untuk membangun economic
policy-nya. Sehingga para pecandu sistem ekonomi Barat itu bisa mengetahui
dengan sendirinya kebobrokan sistem ini dan mereka juga bisa memahami
kontradiksinya dengan Islam, yang kemudian mereka bisa melihat dengan jelas
pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang bisa memberikan solusi terhadap
problem-problem kehidupan perekonomian itu dengan solusi yang tepat, serta
menjadikannya sebagai life style yang khas yang bertentangan dengan kehidupan
Kapitalis, baik menyangkut dasar maupun serpian (furu')- nya yang lain.
Sistem Ekonomi Kapitalis
Apabila kami paparkan sistem ekonomi dalam
pandangan ideologi Kapitalis, maka kita akan menemukan bahwa ekonomi dalam
pandangan mereka adalah apa yang membahas tentang kebutuhan-kebutuhan (needs)
manusia beserta alat-alat (goods) pemuasnya. Dimana ia sesungguhnya hanya
membahas masalah yang menyangkut aspek-aspek yang bersifat materi dari
kehidupan manusia.
Sistem itu dibangun dengan tiga kerangka
dasar. Pertama, adalah kelangkaan atau keterbatasan barangbarang dan jasa-jasa
yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Dimana barang-barang dan jasa-jasa itu
tidak mampu atau memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
manusia yang beraneka ragam dan terus-menerus bertambah kuantitasnya. Dan
inilah masalah ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat, menurut mereka. Kedua,
adalah nilai (value) suatu barang yang dihasilkan, itulah yang menjadi dasar
penelitian ekonomi, bahkan yang paling sering dikaji. Ketiga, adalah harga
(price) serta peranan yang dimainkannya dalam produksi, konsumsi dan
distribusi. Dimana harga merupakan alat pengendali dalam sistem ekonomi
Kapitalis.
Mengenai kelangkaan dan keterbatasan
barang-barang dan jasa-jasa secara relatif hal itu memang betul ada pada
karakteristik barang-barang dan jasa-jasa itu sendiri sebagai alat pemuas
kebutuhan-kebutuhan manusia. Mereka mengatakan, bahwa manusia memiliki
kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi dan karena itu, maka harus ada alat-alat
pemuasnya. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan itu sebenarnya hanya bersifat meteri
semata. Karena bisa jadi kebutuhan-kebutuhan itu berupa sesuatu yang bisa
dirasakan dan diindera manusia, seperti kebutuhan manusia akan makanan dan
pakaian. Juga bisa jadi kebutuhankebutuhan yang hanya bisa dirasakan, namun
tidak dapat diindera oleh mereka,
seperti kebutuhan manusia akan jasa layanan dokter dan guru. Sementara
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ma'nawi (non-fisik) seperti rasa bangga dan
atau kebutuhan spiritual seperti pensucian/penghormatan yang tertinggi, Semuan
itu tidak pernah dikenal keberadaannya menurut sistem ekonomi mereka, bahkan
hal itu tidak pernah mereka beri tempat, dan tidak pernah diperhatikan ketika
membahas kajian ekonomi tersebut.
Sedangkan alat-alat pemuas yang mereka sebut
dengan sebutan barang dan jasa itu adalah, bahwa barang itu esensinya merupakan
alat pemuas kebutuhan-kebutuhan yang bisa diindera dan dirasakan. Sementara
jasa adalah alat pemuas kebutuhan-kebutuhan yang bisa dirasakan namun tidak
bisa diindera. Sedangkan apa yang menyebabkan barang dan jasa itu menjadi alat
pemuas? Menurut mereka, yang menyebabkannya adalah kegunaan (utility) yang ada
pada barang dan jasa tersebut. Dimana kegunaan (utility) itu bersifat
subjektif, yaitu apabila ada barang yang memiliki kegunaan itu, maka barang
tersebut layak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan, dilihat dari segi bahwa
kebutuhan menurut kaca mata ekonomi mereka itu adalah keinginan. Sehingga
barang yang memiliki kegunaan (utility) itu menurut kaca mata ekonomi ini adalah segala sesuatu yang diinginkan,
baik yang bersifat primer atau non primer, maupun yang dianggap oleh sebagian
orang memberi kepuasan (satisfaction) sedangkan menurut sebagian yang lain
membahayakan. Maka sesuatu itu menurut kaca mata ekonomi tetap dianggap berguna
(memiliki utility), selama masih ada orang yang menginginkannya.
Pandangan inilah yang melahirkan penilaian
mereka, bahwa sesuatu itu berguna (memiliki utility tertentu) dari kaca mata
ekonomi, sekalipun persepsi umum menganggap tidak bermanfaat atau justru
berbahaya. Khamar dan candu, misalnya, adalah sesuatu yang memiliki utility
tertentu dalam pandangan para ekonom. Sebab ia masih diinginkan oleh sebagian
orang. Maka dengan kerangka inilah, para ahli ekonomi itu berpendapat tentang
alat-alat pemuas kebutuhan tersebut. Yaitu dengan melihatnya sebagai
barang-barang dan jasa-jasa yang bisa memenuhi kebutuhan saja, tanpa
memperhatikan aspek-aspek lain. Dengan kata lain, mereka memandang antara
kebutuhan dengan kegunaan (utility) itu sebagai apa adanya, bukan sebagai
sesuatu yang dipandangan dengan semestinya. Sehingga mereka hanya memandang
kegunaan (utility) itu dari segi bisa memuaskan kebutuhan atau tidak, dan tidak
lebih dari sekedar itu. Karena itu, mereka memandang khamar dari segi bahwa
khamar itu memiliki nilai ekonomi, sebab khamar itu bisa memuaskan kebutuhan
seseorang. Mereka juga memandang industri khamar itu sebagai pemberi jasa,
dimana dari segi jasa jelas memiliki nilai ekonomi, karena jasa itu bisa untuk
memuaskan kebutuhan individu.
Inilah karakteristik kebutuhan itu menurut
kaca mata mereka. Yaitu sebagai alat-alat pemuas kebutuhan. Sehingga para pakar
ekonomi Kapitalis tidak pernah memperhatikan masalah-masalah yang semestinya
harus dijadikan pijakan oleh masyarakat. Sebaliknya, mereka hanya memperhatikan
objek pembahasan ekonomi itu dari segi apakah bisa memuaskan kebutuhan atau
tidak. Oleh karena itu, perhatian para pakar ekonomi hanya bertumpu pada
peningkatan produksi barang-barang dan jasa-jasa. Yaitu meningkatkan --baik
secara kuantitatif maupun kualitatif-- alat-alat pemuas itu dalam rangka
memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, tanpa memperhatikan aspek-aspek yang
lain. Dengan dasar pijakan inilah, maka para pakar ekonomi tersebut membahas
upaya peningkatan produksi alat-alat pemuas kebutuhan manusia. Ketika mereka
memandang bahwa alat-alat pemuas itu terbatas,
maka alat-alatpemuas itu tidak akan cukup untuk memenuhi dan memuaskan
kebutuhan-kebutuhan manusia, karena -- menurut mereka-- kebutuhan itu bersifat
tak terbatas. Padahal di sana ada sejumlah kebutuhan pokok (basic needs) yang
harus dipenuhi oleh manusia, sebagai manusia yang membutuhkannya. Juga ada
sejumlah kebutuhan yang terus meningkat, pada saat taraf kehidupan materi
manusia itu terus meningkat hingga sampai pada taraf yang sedemikian tinggi.
Hal ini terus berkembang dan meningkat sehingga semuanya membutuhkan pemuasan
dengan cara pemuasan yang menyeluruh. Semuanya ini tidak akan pernah terwujud,
meskipun barang-barang dan jasa-jasa tersebut jumlahnya --baik secara
kuantitatif maupun kualitatif—menigkat terus.
Dari sinilah kemudian muncul pandangan dasar
terhadap masalah ekonomi, yaitu banyaknya kebutuhan sementara alat pemuasnya
terbatas. Dimana jumlah barang dan jasa --yang secara kuantitatif dan
kualitatif itu banyak-- tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan manusia secara
menyeluruh. Pada saat ini masyarakat akan menghadapi masalah ekonomi, yaitu
kelangkaan atau keterbatasan barang-barang dan jasa-jasa secara relatif. Akibat
pasti dari kelangkaan dan keterbatasan itu adalah adanya sebagian kebutuhan yang senantiasa terpenuhi secara
parsial saja atau bahkan sama sekali tidak terpenuhi.
Selama masalahnya tetap seperti ini, maka
harus ada kaidah-kaidah yang digunakan sebagai pijakan oleh anggota masyarakat
dalam rangka menentukan, mana kebutuhan-kebutuhan yang akan memperoleh
pemenuhan, dan mana kebutuhan-kebutuhan yang harus diabaikan. Dengan kata lain,
harus ada kaidah yang dipergunakan untuk menentukan bagaimana cara
mendistribusikan barang yang terbatas untuk memnuhi kebutuhan yang tak terbatas
itu? Oleh karena itu, bagi mereka masalah sebenarnya adalah kebutuhan-kebutuhan
dan barang-barang tersebut, bukan manusianya. Dengan kata lain, masalahnya
adalah peningkatan produksi barang untuk memenuhi kebutuhan, bukan memenuhi
kebutuhan masing-masing individu.
Selama masalahnya tetap seperti itu, maka
harus ada kaidah yang dipergunakan, yaitu kaidah yang bisa menjamin tercapainya
tingkat produksi setinggi-tingginya, sehingga peningkatan barang-barang itu
bisa diupayakan. Yaitu terpenuhinya barang-barang dan jasa-jasa bagi semua
orang, bukan bagi masing-masing orang. Dengan demikian, masalah distribusi
barang-barang dan jasa-jasa itu sangat erat kaitannya dengan masalah produksi.
Jadi tujuan utama pembahasan ekonomi adalah mengupayakan pertambahan
barang-barang dan jasa-jasa yang dikonsumsi oleh seluruh manusia. Karena itu,
pembahasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kadar produk nasional akan
menduduki tempat terpenting di antara semua tematema ekonomi yang lainnya.
Karena pembahasan tentang penambahan produk nasional merupakan pembahasan yang
paling urgen dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi. Yaitu terbatasnya
barang-barang dan jasa-jasa bagi kebutuhan manusia. Karena mereka yakin, bahwa
tidak akan mungkin bisa memecahkan kemiskinan absolut (absolute poverty) dan
kemiskinan struktural, kecuali dengan cara meningkatkan jumlah produksi. Jadi,
solusi ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat itu hanya dilakukan dengan cara
meningkatkan produksi.
Sedangkan nilai barang yang dihasilkan diukur
sesuai dengan tingkat kegunaannya, yang bisa jadi berkaitan dengan individu
tertentu, bisa jadi juga berkaitan dengan barang lain. Untuk kasus yang pertama
sering disebut dengan nilai guna (utility value), sedangkan pada kasus yang
kedua sering disebut dengan nilai tukar (exchange value). Adapun tentang
utility value itu bisa disimpulkan sebagai satuan dari satu barang, yang diukur
berdasarkan kegunaan terakhir benda
tersebut, atau kegunaan pada satuan yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
paling rendah. Inilah yang mereka sebut dengan teori kepuasan batas atau
kepuasan akhir (marginal satisfaction theory). Yaitu manfaat, guna atau
kepuasan yang tidak ditentukan berdasarkan pandangan produsen, yang nilainya
ditentukan sesuai dengan biaya produksinya. Sebab saat itu kegunaan tersebut
benar-benar dikendalikan oleh penawaran (supplay) saja dan bukan oleh
permintaan (demand). Begitu pula, nilai guna tidak ditentukan berdasarkan
pandangan permintaan konsumen (demand), sehingga nilainya ditentukan oleh kadar
kegunaan yang ada serta kebutuhan konsumen pada kegunaan tersebut, yang
didukung faktor kelangkaannya. Karena pada saat itu, nilai dikendalikan oleh
permintaan konsumen (demand) saja bukan oleh penawaran (supplay). Semestinya
nilai dikendalikan secara seimbang antara permintaan konsumen dan penawaran,
sehingga kegunaanya (utility) itu akan didapatkan pada batas unit paling akhir
untuk memenuhi kebutuhan --ketika batas akhir pemenuhannya. Dengan kata lain
--kalau diibaratkan pada sepotong roti-- maka nilai roti itu ditentukan
berdasarkan batas titik akhir rasa lapar, bukan pada titik awalnya; juga pada
saat persediaan roti itu ada di pasar,
bukan pada saat kelangkaannya. Inilah nilai kegunaan (utility value) itu.
Sedangkan nilai tukar (exchange value)
bersifat subjektif sekali. Apabila nilai tukar (exchange value) itu ada pada
sebuah barang, maka barang itu memiliki nilai yang layak ditukar. Mereka
mendefinisikan nilai tukar (exchange value) sebagai kekuatan tukar pada barang,
terkait dengan barang lain. Oleh karena itu --kalau diibaratkan pada gandum,
terkait dengan jagung-- maka nilai gandum dapat diukur dengan sejumlah jagung
yang harus diberikan agar memperoleh sejumlah gandum. Adapun nilai guna
(utility value) biasa disebut dengan guna (utility) saja, sedangkan nilai tukar
(exchange value) itu disebut dengan nilai (value) saja.
Pertukaran hanya bisa dilakukan secara
sempurna, apabila ada alat tukar (medium of exchange) yang dijadikan ukuran
untuk barang dan jasa, atau yang memiliki nilai terdekat dengan barang dan jasa
tersebut. Dari sinilah, maka menurut para pakar ekonomi Kapitalis, perlunya
membahas tentang nilai. Sebab, nilai merupakan obyek penukaran dan sifat yang
bisa diukur. Disamping itu, karena ia merupakan standar yang dipergunakan untuk
mengukur barang-barang dan jasa-jasa (unit of account), serta untuk membedakan aktivitas-aktivitas
produktif dan non produktif. Karena produksi adalah penciptaan atau penambahan
guna (atas suatu barang). Dimana produksi itu akan sempurna dengan adanya
seperangkat kegiatan tertentu. Untuk mengklasifikasikan di antara
kegiatankegiatan tersebut, antara yang produktif dengan yang non produktif,
serta mana yang lebih banyak produktivitasnya daripada yang lain, hal ini
membutuhkan standar pecahan (unit of account) bagi barang-barang produksi dan
jasa-jasa yang beragam bentuknya. Standar pecahan (unit of account) itu
merupakan nilai-nilai kesepakatan bagi barang-barang produksi dan jasa-jasa yang
beragam bentuknya. Atau dengan ungkapan lain, alat itu merupakan perkiraan yang
disepakati bagi aktivitas tertentu yang dicurahkan, atau jasa tertentu yang
diberikan. Dimana perkiraan ini menjadi sesuatu yang sedemikian urgen, karena
pada komunitas yang sudah maju, produksi dalam rangka melindungi pertukaran
tersebut telah menggeser kedudukan produksi yang berfungsi melindungi masalah
konsumsi. Sehingga saat ini, masing-masing orang melakukan pertukaran semua
produknya atau sebagian besar produknya dengan barangbarang lain yang
diproduksi oleh orang lain.
Pertukaran ini, hanya bisa dilakukan dengan
sempurna kalau ada alat tukar (medium of exchange) bagi barang dan jasa. Karena
itu dibutuhkan adanya perkiraan nilai pada barang dan jasa, sehingga pertukaran
ini bisa sempurna. Oleh karena itu mengetahui apa yang dimaksud dengan nilai
(value), adalah masalah yang urgen bagi kegiatan produksi dan konsumsi. Dengan
kata lain, ia merupakan sesuatu yang sedemikian urgen untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan manusia, melalui alat-alat pemuas kebutuhan tersebut.
Namun demikian, nilai tukar (exchange value)
pada saat ini telah dikhususkan pada satuan nilai tertentu sehingga satuan
itulah yang menjadi terkenal. Pada komunitas yang sudah maju, nilai-nilai
barang itu tidak dinisbatkan pada sebagian benda dengan menggunakan sebagian
yang lain, melainkan dinisbatkan kepada benda tertentu yang disebut dengan
uang. Sedangkan penisbatan pertukaran barang dengan uang itu disebut dengan
harga (price). Maka, harga adalah nilai tukar (exchange value) barang yang
dinyatakan dengan uang. Karena itu, dalam hal ini ada perbedaan antara nilai
tukar itu sendiri dengan harga. Dimana nilai tukar (exchange value) itu adalah
penisbatan pertukaran barang dengan barang-barang lain secara mutlak. Baik barang lain itu berupa
uang, barang ataupun jasa. Sedangkan harga adalah nilai tukar (exchange value)
barang dengan uang tertentu.
Hal ini membawa konsekuensi, bahwa seluruh
harga barang bisa jadi akan membumbung tinggi pada saat yang bersamaan (mengalami
inflasi), kemudian pada saat yang lain, secara bersamaan, seluruhnya bisa
menjadi turun (mengalami deflasi), ketika pada saat yang sama exchange
value-nya mustahil naik dan turun secara bersamaan. Dan bisa jadi harga-harga
barang itu berubah, tanpa membawa konsekuensi perubahan exchange value-nya.
Oleh karena itu, sebenarnya harga barang adalah salah satu nilai-nilai barang.
Dengan kata lain, harga merupakan nilai barang yang terkait dengan satuan uang
saja.
Maka, ketika harga itu merupakan salah satu
nilai, secara pasti harga itu merupakan standar (tolok ukur) bagi barang,
apakah barang itu bernilai guna (utility) atau tidak (disutility). Dia juga
merupakan standar (tolok ukur) bagi tingkat kegunaan barang itu. Oleh karena
itu barang dan jasa itu dinilai memiliki kegunaan dan produktivitas, apabila
masyarakat menentukan barang dan jasa tertentu itu dengan harga tertentu.
Sedangkan tingkat kegunaannya, diukur dengan harga yang diterima oleh kelompok
konsumen yang diberikan kepada produsen untuk memperoleh barang tersebut. Baik
barang itu merupakan barang hasil pertanian ataupun industri; baik jasa itu
merupakan layanan pedagang, layanan jasa biro angkutan, dokter ataupun
insinyur.
Sedangkan peran yang dimainkan oleh harga
dalam kegiatan produksi, konsumsi dan distribusi itu --menurut mereka-- adalah
karena struktur harga itulah yang menentukan siapa produsen-produsen yang boleh
masuk ke dalam area produksi tersebut dan siapa di antara mereka yang tetap
akan menjauhi kelompok produsen itu; dengan cara yang sama, ia juga
dipergunakan untuk menentukan siapa konsumen yang boleh menikmati pemenuhan
kebutuhan-kebutuhannya dan siapa di antara mereka yang kebutuhan-kebutuhannya
tetap tidak terpenuhi. Disamping itu beban produksi barang-lah yang menjadi
faktor utama yang akan menentukan penawarannya (supplay) di pasar. Sedangkan
kegunaan barang adalah faktor utama yang akan menentukan kekuatan permintaan
(demand) pasar barang tersebut. Dimana masing-masing --baik penawaran maupun
permintaan -- akan diukur dengan harga. Karena itu, menurut orang-orang
Kapitalis, pembahasan tentang supplay and demand itulah yang menjadi dua
pembahasan utama dalam ekonomi. Jadi yang dimaksud dengan supplay and demand
adalah supplay and demand di pasar.
Seperti halnya permintaan (demand ) tidak
mungkin bisa dinyatakan selain dengan menyebut satuan harga, maka begitu pula
dengan penawaran (supplay ) juga tidak bisa tentukan dengan selain harga. Hanya
saja permintaan itu akan berubah dengan kebalikan perubahan harga. Karena itu,
apabila harga naik, maka permintaan akan turun, sebaliknya apabila harga turun,
maka permintaan akan naik. Berbeda dengan penawaran, sebab penawaran itu akan
berubah dengan mengikuti perubahan harga, dan searah dengan perubahan harga
tersebut. Dimana, penawaran itu bisa bertambah dengan naiknya harga (di pasar)
dan penawaran akan menurun, apabila harga (di pasar) turun. Dalam masing-masing
kondisi itu, harga memiliki pengaruh yang dominan dalam supplay and demand.
Dengan kata lain, harga memiliki kekuatan yang besar dalam menentukan tingkat
produksi dan konsumsi.
Bagi mereka, struktur harga merupakan metode
yang paling akurat untuk mendistribusikan barang-barang dan jasa-jasa kepada
anggota masyarakat. Karena kegunaan (utility) itu adalah hasil jerih payah yang
dicurahkan oleh manusia; sehingga apabila upah itu tidak seimbang dengan
kerjanya (jerih payahnya), maka jelas tingkat produksi akan turun. Oleh karena
itu, metode yang paling akurat untuk mendistribusikan barang-barang dan
jasa-jasa kepada anggota masyarakat itulah yang digunakan untuk menjaga tingkat
produksi setinggi-tingginya. Dan metode itu adalah metode harga. Itulah yang
menurut mereka, disebut dengan struktur harga atau mekanisme harga. Mereka
berpendapat bahwa harga itu akan mempengaruhi keseimbangan ekonomi secara
otomatis. Sebab mekanisme harga dibangun dengan prinsip membiarkan kebebasan
konsumen agar mereka menentukan sendiri distribusi barang-barang yang dimiliki
oleh masyarakat, melalui berbagai macam kegiatan ekonomi; karena mereka ingin
membeli sejumlah barang tertentu, dan bukan sejumlah barang yang lain. Karena
itu, mereka akan membelanjakan pendapatan mereka, yang mereka peroleh untuk
membeli apa yang mereka butuhkan dan apa saja yang mereka senangi.
Maka, seorang konsumen yang tidak suka minum khamar,
dia tidak akan membelinya, sehingga pendapatannya akan dibelanjakan kepada
barang konsumsi yang lain. Dan apabila jumlah konsumen yang tidak suka khamar,
atau semua orang menjadi tidak suka kepada khamar, maka jelas produsen khamar
akan bangkrut, karena dianggap tidak
menguntungkan. Tidak adanya permintaan khamar mengakibatkan produsen khamar
akan tutup. Jadi, konsumenlah yang menentukan jumlah serta jenis-jenis
produksi, sesuai dengan keinginan mereka. Sementara, dengan harga itulah
barang-barang dan jasa-jasa bisa didistribusikan, agar bisa dijangkau oleh para
konsumen atau tidak serta agar bisa memberikan (untung) kepada produsen atau
tidak.
Dengan demikian, struktur harga itulah yang
mendorong laju produksi, dan dialah yang menentukan distribusi (barang dan
jasa). Dan dialah yang menjadi alat untuk melakukan kontak antara produsen dan
konsumen. Dengan kata lain, ia merupakan penyeimbang (balance) antara jumlah
produksi dan konsumsi (barang dan jasa).
Sedangkan keberadaan harga sebagai pendorong
laju produksi adalah karena yang menjadi pendorong utama manusia melakukan
aktivitas dalam bentuk usaha produktif atau untuk melakukan suatu pengorbanan,
hal itu ditentukan oleh insentif yang berupa materi untuk mencurahkan tenaga
atau pengorbanan tersebut. Para pakar ekonomi Kapitalis, bahkan menjauhi
pembahasan aktivitas manusia mencurahkan tenaganya, karena dorongan moral atau
spiritual. Adapun dorongan moral yang mereka akui eksistensinya itu pun mereka kembalikan
kepada insentif yang bersifat materi. Mereka berpendapat, bahwa pengorbanan
yang dicurahkan oleh manusia itu sematamata untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
serta keinginan-keinginannya yang bersifat materi. Dimana pemenuhan itu bisa
jadi dengan cara mengkonsumsi barang yang langsung dihasilkan, atau bisa jadi
dengan cara mendapatkan upah dalam bentuk finansial yang bisa dipergunakan
untuk memperoleh barang-barang dan jasajasa yang telah diproduksi oleh orang
lain.
Dan karena manusia dalam pemenuhan sebagian
besar kebutuhannya, jika tidak seluruhnya, senantiasa bergantung kepada
pertukaran tenaga dengan tenaga orang lain, maka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
tersebut sebenarnya dibangun melalui perolehan upah yang berupa uang dari
tenaganya yang diberikan oleh perolehan atas sejumlah barang dan jasa tertentu.
Dan bukan dibangun melalui perolehan sejumlah barang yang dia hasilkan. Karena
itu, upah yang berupa uang itulah (harga) yang menjadi pendorong manusia untuk
berproduksi. Oleh karena itu, hargalah yang mendorong para produsen untuk
mencurahkan tenaganya. Dengan begitu, hargalah yang esensinya mendorong laju
produksi.
harga yang berfungsi untuk mengatur
distribusi (barang dan jasa), adalah karena manusia itu ingin memenuhi seluruh
kebutuhannya. Karena itu, dia berusaha untuk meraih sejumlah barang dan jasa
yang bisa memenuhi seluruh kebutuhannya. Andaikan tiap orang dibebaskan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, niscaya ia tidak akan pernah berhenti
mengumpukan dan mengkonsumsi barang-barang yang dia inginkan. Akan tetapi kalau
tiap orang selalu berusaha meraih hingga sampai pada suatu tujuan, maka pasti
orang itu akan berhenti memenuhi kebutuhan-kebutuhannya pada batasbatas yang
menjadi kesanggupan pertukaran tenaganya dengan tenaga orang lain; atau sampai
pada batas harga (yang sanggup mereka tawar).
Oleh karena itu, maka harga merupakan
pengendali yang dibuat secara alami dan bisa menghentikan manusia dari tindakan
konsumtif pada batas yang sesuai dengan penghasilannya. Dengan adanya harga
itu, manusia kemudian berfikir dan menimbang serta mengukur
kebutuhan-kebutuhannya yang kompetitif itu. Dimana kebutuhan-kebutuhan tersebut
menuntut agar dipenuhi. Maka, dia kemudian mengambil mana-mana yang
dipandangnya urgen dan dia tidak mengambil mana-mana yang dipandangnya kurang urgen. Karena itu,
hargalah yang memaksa seseorang untuk menganggap cukup dengan terpenuhinya
sebagian kebutuhannya, secara parsial, agar pemenuhan terhadap sebagian yang
lain tidak lepas dari dirinya. Bagi dia suatu barang sama-sama penting dengan
barang yang lain yang telah dipenuhi secara parsial (terpenuhi sebagian saja)
Maka, harga itulah yang juga mengatur
distribusi kebutuhan individu dan manfaat/keuntungan yang terbatas pada
sejumlah konsumen yang mencari manfaat-manfaat tersebut. Sehingga,
ketidakseimbangan penghasilan konsumen itulah yang menjadikan kegiatan konsumsi
masing-masing individu tersebut terbatas pada manfaat yang bisa dipenuhi oleh
penghasilannya. Dengan demikian konsumsi sebagian barang itu terbatas pada apa
yang dipenuhi, sesuai dengan penghasilannya yang akhirnya berlaku secara umum
bagi semua orang yang mampu menjangkau batas harga paling minim. Maka kenaikan
harga pada sebagian barang dan turun pada sebagian barang yang lain, serta
terjangkaunya sebagian barang tersebut oleh upah dalam bentuk uang, dan tidak
terjangkaunya sebagian yang lain, maka hargalah yang mengatur distribusi
manfaat bagi konsumen.
Sedangkan keberadaan harga sebagai
penyeimbang (balance) antara tingkat produksi dan konsumsi, atau sebagai alat
perantara antara produsen dan konsumen, itu karena produsen yang memenuhi
keinginan-keinginan para konsumen supaya dipuaskan dengan adanya keuntungan
yang diperoleh. Sementara bagi produsen jika hasil produksinya tidak diterima
oleh para konsumen, pasti dia akan rugi. Cara yang bisa ditempuh oleh produsen
agar produknya tetap digemari oleh konsumen adalah sematamata ditentukan oleh
harga. Dari harga inilah, dia bisa mengetahui keinginan para konsumen. Apabila
konsumen bermaksud membeli barang tertentu, maka harga barang tersebut di pasar
akan naik. Karena itu, produksi barang ini terus meningkat agar keinginan para
konsumen tersebut bisa terpenuhi. Sebaliknya konsumen tidak mau membeli barang
tertentu, tentu harga barang tersebut di pasar akan anjlok. Dengan begitu,
jumlah produksi barang tersebut juga akan turun.
Berdasarkan hal ini bahan-bahan mentah yang
diperlukan dalam produksi tertentu akan bertambah dengan naiknya harga, dan
sebaliknya bahan-bahan mentah yang diperlukan dalam produk-produk tertentu akan
turun dengan anjloknya harga. Karena itulah, harga adalah penyeimbang (balance)
yang bisa menciptakan keseimbangan antara tingkat produksi dan konsumsi. Dialah
yang menjadi alat penghubung antara produsen dengan konsumen. Hal ini berjalan
secara otomatis. Dari sinilah, maka harga --menurut pandangan orang-orang
Kapitalis-- adalah tiang yang menjadi penyangga ekonomi.
Bagi mereka, harga dalam ekonomi ibarat alat
pengendali. Inilah ringkasan sistem ekonomi dalam pandangan Kapitalis. Dan
inilah yang mereka sebut dengan Politik Ekonomi (Political Economy). Dengan
mengkaji dan membahas secara mendalam, maka akan nampak kebobrokan sistem
ekonomi Kapitalis tersebut dari beberapa aspek:
Bagi mereka, ekonomi adalah sesuatu yang
membahas tentang kebutuhan-kebutuhan manusia dan sarana-sarana pemenuhannya.
Sehingga mereka menjadikan produksi barang dan jasa, yang nota bene merupakan
sarana pemuas kebutuhan, dengan distribusi barang dan jasa pada
kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagai satu pembahasan. Dengan kata lain, mereka
menjadikan kebutuhan-kebutuhan dan sarana-sarana pemuasnya merupakan dua hal
yang saling menjalin menjadi satu pembahasan. Antara satu dengan lainnya tidak
terpisah, malah salah satunya berada di tengah-tengah yang lain. Dengan
demikian distribusi barang dan jasa menjadi satu pembahasan dengan produksi
barang dan jasa. Disamping itu, mereka memandang Ekonomi dengan satu pandangan
yang meliputi barang-barang produksi (economic goods) dan cara pemerolehannya,
tanpa dipisahkan antara keduanya, dan tanpa dibeda-bedakan antara satu dengan yang
lainnya. Mereka memandang Ilmu Ekonomi dengan Sistem Ekonomi dengan pandangan
yang sama, tanpa membedakan antara satu dengan yang lain. Padahal ada perbedaan
antara Sistem Ekonomi dan Ilmu Ekonomi.
***********************
Oleh: Imam Taqiddin an-Nabhany, Editor: Ustaz
Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment