Ekonomi Profetik
Judul buku ini adalah Ekonomi Profetik. Ini diambil
dari Prophetic Economy tajuk salah satu bab yang ditulis
oleh Imam Abdassamad Clarke, seorang alim dari Norwhich, Inggris. Jadi
bukannya dari Prophetic Economics. Maka terjemahan yang tepat
seharusnya adalah Perekonomian Profetik. Namun demi efisiensi dan
rasa bahasa sengaja digunakan frasa Ekonomi Profetik.
Karenanya istilah “ekonomi” tersebut perlu mendapat
penjelasan terlebih dahulu. Terutama karena saat ini terus dipopulerkan istilah
“Ekonomi Syariah” atau “Ekonomi Islam” sebagai cabang dari “ilmu
ekonomi”. Konon tambahan kata syariat itu untuk menerapkan
prinsip-prinsip syariat. Ekonomi syariat diklaim telah menghasilkan
produk dan traksaksi yang islami atau halal.
Tapi terminologi ‘ekonomi’ bukanlah sebuah istilah teknis
semata. Ekonomi adalah sebuah ideologi. Dalam tataran teknisnya ekonomi adalah
kumpulan formula dan aksioma. Dengan dilengkapi asumsi-asumsi tertwntu
ekonomi adalah sebuah ideologi, yakni pembenaran dan penerapan riba.
Karena itu kata sifat apa pun yang diletakkan di belakang istilah ekonomi,
seperti ekonomi kapitalis, ekonomi sosialis, ekonomi kerakyatan, bahkan ekonomi
Islam sekalipun, tidak mengubah sedikit pun substansi dasarnya. Ekonomi adalah
pemberlakuan riba dalam kehidupan.
Ekonomi aslinya berasal dari dua kata oikos (rumah
tangga) dan nomos (aturan). Oleh satu kelompok
masyarakat makna dasar ini mereka ubah menjadi “hemat” bukan lagi “aturan rumah
tangga”. Hal tersebut diambil dari prinsip ilmu ekonomi yang mereka buat, yaitu
“dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”.
Secara populer, di sekolah menengah kita diajari definisi ekonomi seperti
ini. Dan bahwa masyarakat adalah agregat atau kumpulan dari keinginan
individu-individu. Kehidupan adalah persaingan bebas dengan adagium yang
kuat yang akan menang. Suatu pemahaman yang sangat materialistik, egois, dan
individualistik.
Belakangan di kalangan promotor ekonomi Islam atau ekonomi
syariah diperkenalkan kata dari bahasa Arab al-iqtishadiyyah. Ini
juga diberi arti “penghematan”. Pengambilan istilah al-iqtishadiyyah sebagai
padanan kata ekonomi ini nampaknya dikaitkan dengan hadits Nabi
shalallahualaihi wa sallam yang menyebutkan istilah yang sama. Tetapi,
makna kataiqtishad dalam hadits Nabi shalallahu alaihi wa
sallam jauh lebih luas dan dalam maknanya. Bukan sebagai
penghematan dalam pengertian prinsip ekonomi di atas.
Tidak heran Haji Abdassamad Clarke membuka tulisannya dengan
meluruskan makna kata iqtishad ini dengan mengutip dua hadits
Nabi shalallahu alaihi wa sallam . Hadits pertama berbunyi: “Siapa pun
yang bersikap moderat tidak akan terjerat dalam
kemiskinan.” Dan yang kedua “Iqtiṣad adalah setengah dari penghidupan dan karakter yang baik adalah
setengah dari dien.” Maka penggunaan istilah-istilah
Arab ini merupakan zona konseptual yang berbeda sepenuhnya. Sesuatu
yang sama sekali tak ada bagi orang Arab, dan kaum muslimin moderen umumnya.
Dengan ringkas, tetapi padat, penulis di atas kemudian
menunjukkan kepada kita pengetahuan dan amal yang telah ada sejak zaman
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Dengan kata lain merupakan sunnah
yang telah sampai kepada kita. Sunnah tentang praktek perekonomian dalam
masyarakat. Di antaranya, ada dua hal yang sangat menentukan terkait
dengan bisnis sejak awal pembentukan Ummah di Madinah al Munawarrah.
Pertama, pewahyuan Surat al-Mutaffifin dan yang kedua adalah
pendirian pasar, dan diakhiri dengan dua wahyu yang menentukan yang
terkait dengan bisnis. Yakni pelarangan riba dan perintah pencatatan atas
transaksi utang atau yang tertunda. Di tengah-tengahnya banyak
wahyu sehubungan dengan praktik bisnis. Nabi shalallahu alaihi wa sallam
sendiri pada banyak kesempatan mengatur sunnah bisnis dan perdagangan,
sehingga menggarisbawahi pentingnya perdagangan dan bisnis di dalamnya.
Banyak aspek yang diatur oleh Rasul shalallahu alaihi wa sallam
seperti larangan ijon, mencegat pedagang sebelum mencapai pasar, larangan
pemilikan pasar secara privat, menyelak dalam lelang, memonopoli, menimbun,
serta menentukan harga secara sepihak; dan berbagai aturan lain. Nabi
shalallahualaihi wa sallam juga mengatur soal alat tukar dan uang, yang terdiri
atas dua jenis, yakni nuqud (dinar emas dan dirham perak) dan
fulus (koin tembaga untuk transaksi recehan). Ada lagi aturan yang
ditetapkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang sangat
relevan di zaman kita saat ini, karena umum dipraktekkan baik secara
terang-terangan maupun terselubung, yakni dua
penjualan dalam satu-transaksi.
Imam Abdassamad dalam hal ini menyatakan: “Signifikansi
larangan itu bagi kita adalah bahwa dua penjualan dalam satu
merupakan dasar kebanyakan operasi dari bank dan membentuk
masyarakat khususnya yang disebut perbankan syariah. Yaitu
praktek semacam ini: ‘belilah rumah itu [secara
tunai] bagi saya dan saya akan membelinya [secara kredit] dari
Anda’. Tapi mereka menyelimuti larangan ini dengan janji
sepihak, yang tidak lain hanyalah pengelabuan.” Dan pengelabuan ini, tidak
lain, adalah praktek riba.
Riba adalah persoalan pokok perekonomian moderen. Riba semula
dikecam, dikutuk dan diharamkan oleh tiga agama besar, yanki Yahudi,
Kristen dan Islam, sebagaimana diuraikan secara historis oleh Ammar Fairdous.
Ini dalam bab yang berjudul “Memasuki Liang Biawak yang Sama:
Sejarah Perbandingan atas Hukum Utang-Piutang dalam
Yudaisme dan Kristen.” Tetapi, oleh sebagian pemuka kaum Ahli Kitab,
berbagai ketentuan itu diubah menuruti interpretasi baru mereka.
Dalam hal kaum Kristen mereka disesatkan oleh Calvin, seorang
tokoh Reformasi Kristen, hingga orang Kristen hari ini memisahkan
larangan atas bunga dan riba. Mereka mengadopsi interpretasi
teologis yang membedakan, secara teoritis, antara “bunga” dan “riba”
tadi. Menurut kaum Kristen moderen bunga bank dapat diterima,
sementara riba yaitu bunga yang memberatkan dan berlipatganda tetap
haram. Oleh karena itu, pembebanan bunga tidak lagi menjadi persoalan yang
hidup bagi kebanyakan orang Kristen di zaman ini, meskipun dalam sebagian
besar sejarah mereka riba sangat dikecam dan diharamkan.
Sedangkan Kaum Yahudi menafsirkan ajaran al-kitabiah mereka
tentang riba dengan cara yang memungkinkan pengambilan bunga dari orang
selain Yahudi. Pada saat yang sama mereka juga mengembangkan
beberapa perangkat hukum untuk menghindari larangan pengenaan bunga
bahkan dari sesama orang Yahudi. Mereka mengutak-atik hukum, berhilah,
mencari-cari celah pembenaran.
Bagaimanakah dengan posisi umat Islam? Tampaknya tidak jauh
berbeda. Ammar Fairdous menyimpulkan:
“Meskipun mereka mengaku mematuhi ajaran antiriba mereka,
banyak yuris Muslim yang hidup dengan gaji dari industri perbankan Islam telah
mengadopsi dan mengadaptasi berbagai instrumen keuangan yang melanggar ruh,
bukan pada kata-katanya, dari ajaran-ajaran ini, sama seperti orang Kristen di
Abad Pertengahan dan para pendahulu mereka, kaum Yahudi, yang
melakukannya.
Sarjana-sarjana Muslim ini banyak dipekerjakan secara langsung
di industri finansial, sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS). Ada juga
yang duduk sebagai pimpinan atau anggota Dewan Syariah Nasional, dari Majelis
Ulama setempat, yang harusnya merupakan majelis yang mandiri. Tapi dalam
prakteknya mereka lebih banyak melayani permintaan penerbitan fatwa tertentu
sesuai yang diperlukan oleh industri keuangan tenimbang sebagai majelis
ulama yang independen dari kepentingan bisnis dan komersial. Akibatnya:
“Selain itu, banyak transaksi penyembunyian bunga dalam kalangan
Kristen dan Yahudi yang identik, sementara yang lain sangat mirip, dengan
instrumen keuangan yang dapat ditemukan di perbendaharaan bankir Islam hari
ini, tetapi tentu saja, dengan nama-nama Arab dan Islam yang sangat sesuai.”
Tampak jelas bahwa umat Islam dengan mengikuti kaum pembaharuan,
gerakan Reformasi versi Islam sendiri, dengan tokoh sentralnya
Muhammad Abduh dan Rashid Ridha, telah mengikuti jejak kaum “sebelum
mereka”, yakni Ahli Kitab. Mereka telah masuk ke dalam liang biawak riba yang
sama. Dan ini telah dikatakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam
dalam haditsnya. Umat Islam modern telah mengikuti jejak pendekatan
formalistik abad pertengahan terhadap hukum yang berkaitan dengan riba.
Menyatakan bahwa riba bukan saja dibolehkan bahkan diperlukan dalam
tatanan kehidupan moderen.
Dalam kehidupan zaman ini, yang menjadikan riba sebagai pondasi
sistem finansial, riba bukan lagi sekadar menjadi sistem. Riba telah
menjadi perilaku. Tentu saja perilaku yang menyimpang dari kehidupan normal.
Shaykh Dr Abdalqadir as Sufi menjelaskannya sebagai berikut:
“Riba itu menentang alam…Untuk terus-menerus menjalankan riba
adalah kegilaan, itu psikosis – penyakit jiwa. Riba itu sendiri adalah sebuah
tipu daya matematik, namun berperilaku ribawi itu sebuah penyakit kejiwaan.
Bukan suatu kepandaian. Itu sebentuk kegilaan karena engkau meyakini sesuatu
yang engkau tahu tidak benar (palsu) dan itu artinya kegilaan. Bukan karena
engkau tidak tahu. Engkau tahu dan engkau terus saja berperilaku demikian.”
Dua bab selanjutnya dari buku ini mengeksplorasi secara luas dan
mendalam perkembangan yang terjadi di masyarakat hingga riba menjadi psikosis
massa hari ini. Dengan merujuk kepada pemikiran Heidegger, pemikir besar
Jerman abad ke-21, Sidi Ibrahim Lawson, mempertanyakan hakekat
uang. Ia secara jauh menelusuri asal muasal fungsi dan makna uang, hingga
berubah menjadi sepenuhnya alat riba. Ia mengajak pembaca untuk mempersoalkan
kembali proses penciptaan uang, peran sejatinya, fungsi dan akibat yang
ditimbulkan dalam masyarakat, dan seterusnya.
Dengan mempertanyakan secara mendasar berbagai hal tentang uang,
Sidi Ibrahim menyatakan: “Kita akan sampai pada pemahaman yang lebih dalam
tentang masalah ini. Kita akan mengikuti uang kembali ke sumber
keberadaannya sebagai makna, menemukan cara
ia telah dirusak oleh metafisika dan
kemudian oleh technik dengan cara yang sama seperti yang
lainnya yang ada hari ini.” Zaman ini adalah zaman technik,
termasuk uang adalah sebuah technik, yang menggiring cara
hidup dan perilaku manusia modern.
“Technik telah menghasilkan atau membawa ke dunia
cara berada yang telah membawa dampak menutupi dan menyembunyikan suatu cara
keberadaan [eksistensi] manusia yang lebih esensial dan pada dasarnya
merupakan cara keberadaan manusia.” Technik telah
mengubah semua yang ada sekadar menjadi stok (cadangan), termasuk manusia,
termasuk uang. Segala sesuatu kehilangan kesejatian dirinya. Sidi
Ibrahim menyatakan:
“Uang hari ini adalah cadangan, tanpa
kualitas dirinya-sendiri, hanya sebuah utilitas. Tidak
peduli bahan yang membuatnya, ia tidak memiliki
realitas, ia hanyalah sesuatu seperti yang Anda pikir itu,
dan yang Anda pikirkan adalah yang semua orang pikirkan karena kita semua
menonton layar yang sama. Kita tidak berinteraksi sebagai individu
yang bebas secara otentik dalam mengontrol sarana
evaluasi; kita bereaksi terhadap rangsangan yang sama dengan cara
yang sama seperti orang lain. ‘Mereka’ lah yang memegang kendali,
dan mereka adalah semua orang dan tidak seorang pun adalah
dirinyanya sendiri.”
Masih dalam dataran teoritis, Sidi Abdalhamid Evans, dalam bab
selanjutnya membahas kaitan antara uang, kekayaan, dan nafs manusia. Inilah
psikologi dan alam kejiwaan manusia moderen. Suatu pendekatan yang selaras
dengan pernyataan Shaykh Dr Abdalqadir as Sufi di atas yang menyebutkan bahwa
riba adalah psikosis. Sebentuk penyakit jiwa.
Sidi Abdalhamid memulai telaahnya dengan menguraikan
berlangsungnya abstraksi uang dalam arti bahwa hari ini uang telah
menjadi sepenuhnya abstrak. Hari ini uang tidak memiliki realitas fisik sama
sekali dan bahkan telah melewati kenyataan digital. Di sisi lain, Sidi
Abdalhamid menemukan suatu kenyataan yang telah terjadi pada manusia moderen,
yang ia sebut sebagai kolonisasi diri. Ini bermula dari
keadaan pada diri manusia yang mengidap “kecemasan eksistensial”
terhadap kenyataan lahir ke dunia tanpa persetujuan.
Dengan telah terabstraksikannya uang, melampauai realitas
digitalnya di zaman ini, uang menjadi proyek psikis. Ini mengisi celah
dari “kecemasan eksistensial” manusia yang menjadikan uang, atau kekayaan,
seolah sebagai jalan keluar atas keadaan di luar diri manusia yang semuanya
telah menjelma menjadi komoditas. Dan, dengan sistem riba yang berlaku,
komoditas ini menjadi sesuatu yang tak terjangkau dalam kehidupan
sehari-hari. Sidi Abdalhamid menjelaskan:
“Diri telah menjadi abstrak dan terbelah, dan uang telah
menjadi abstrak dan tidak bernilai, dan sekarang berada di dalam belahan
yang ada. Di dalam diri, uang telah menjadi kekuatan psikis yang
telah menjajah inti dari makhluk manusia. Di samping itu, di dunia luar kita
menemukan bahwa semuanya telah menjadi komoditas, segala sesuatu di dunia luar
telah menjadi komoditas. Heidegger mengedepankan gagasangestell teknologi
atau enframing ketika segala sesuatu menjadi cadangan.
Segala sesuatu, termasuk manusia, ada untuk dimanfaatkan untuk proyek teknologi.”
Enframing yang sekarang kita hidup
di dalamnya tidak lain adalah riba. Di dalamnya semuanya menjadi komoditas,
termasuk uang, termasuk kecemasan, rasa takut, bahkan keserakahan,
menjadi komoditas dan bisa diperjualbelikan. Sementara tidak ada lagi
sesuatu yang benar-bernar bernilai. Uang dan harta hanyalah ide, sesuatu yang
abstrak, dan tidak memiliki realitas. Riba adalah manifestasi dari sakit
jiwa para pelakunya. Keterbelahan jiwa, ketidaksesuaian antara yang riil dan
fantasi. Uang fiat adalah fantasi yang dianggap riil. Bahkan negatifitas (utang
berbunga) yang dianggap sebagai positifitas (kekayaan).
Demikian mendasarnya persoalan yang kita hadapi akibat riba.
Tentu bukan tidak ada solusi. Pada tingkat personal keretakan di dalam diri,
sumber psikosis di atas, haruslah disembuhkan sehingga kekuatan
yang disebut oleh Sidi Abdalhamid sebagai “kolonisasi diri” itu
akan hilang. Caranya adalah dengan memunculkan yang Riil, hingga ilusi
akan musna. Ini adalah wilayah Tauhid dan Taqwa. Sidi Abdalhamid menyatakan:
“Surat al-‘Asr adalah resep yang sangat
sederhana. Kita tahu itu, kita membacanya, tetapi
jika kita benar-benar menganggapnya sebagai obat, sebagai unsur
obat dalam hidup kita, maka itu akan benar-benar
menyembuhkan keretakan di dalam diri itu, sehingga
kekuatan kolonisasi akan hilang dan yang Riil akan muncul.”
Surat al-Asr menyebutkan orang-orang yang selalu dalam keadaan
merugi. Kecuali mereka yang beriman dan bertindak dalam kebajikan dan yang
saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Mereka yang istiqomah antara
imannya dengan perkataan dan perbuatan. Beriman, mengenali Yang Maha Kuasa,
yakni Allah SWT, tempat berserah diri dan Yang Maha Mencukupi. Ini mengenyahkan
segala ilusi.
“Si penjajah akan ditendang keluar dan sang diri dapat dengan
mudah beralih ke dirinya sendiri dan pada realitas inherent-nya mengenali Tuhan
dari diri, tempat kita berserah untuk memiliki hal-hal seperti pemenuhan,
keamanan, rezeki, kesenangan, sukacita dan semua hal yang berasal dari
transaksi itu. Dalam penyembuhan diri itu, tindakan kita hanya menjadi
manifestasi dari yang kita yakini dan yang kita percayai, memungkinkan
makna untuk kembali ke hal-hal duniawi.
Dengan itu, maka:
“Diri dapat menjadi diri sendiri, uang dapat menjadi uang,
makhluk hanyalah makhluk, bumi adalah bumi, tidak lagi harus didefinisikan
dalam enframing dari realitas hutang psikis negatif ini yang
entah bagaimana telah mendefinisikan kembali segalanya. Setiap atom,
setiap partikel dan getaran sub-atom bagaimanapun telah terdefinisi
dalam enframing itu “
Selanjutnya sudah barang tentu kita memerlukan solusi yang
praktis dan teknis. Dan ini ada pada wilayah muamalah. Sebagian
dasar-dasar pokoknya telah dibahas dalam bab Ekonomi Profetik oleh
Imam Abdassamad Clarke yang telah disinggung sedikit di atas. Secara
spesifik ia melanjutkan pembahasan tentang uang yang seharusnya memiliki nilai
intrinsik, yang di antaranya yang terbaik terbuat dari emas dan perak.
Ini dalam bab “Dari Uang Fiat ke Dinar Emas.” Dan kembali kepada uang
emas dan uang perak, serta alat tukar berbasis komoditi lainnya, akan membawa kita
kepada model Madinah al Munawarah. Model Amal ahlul Madinah. Utamanya
pada penerapan muamalah.
Bab penutup buku ini, yang ditulis oleh Dr Riyat Asvad, memberi
kita garis besar muamalah yang dimaksud. Yakni yang berdimensi komersial dan
bisnis. Jadi di luar urusan pernikahan dan pewarisan harta. Muamalah yang
dimaksud adalah yang terkait dengan jual beli, pengaturan pasar, alat
tukar dan uang, utang piutang, perdagangan dan usaha komersial dan
bisnis.
Dengan tepat Dr Asvad memberi tajuk tulisannya “Muamalah
sebagai Jalan Keluar ke Depan.” Dapat kita pertegas lagi di sini bahwa solusi
atau jalan keluar kita ke depan ada pada muamalat bukan ekonomi, meski telah
dilabeli sebagai ekonomi syariah sekalipun. Dr Asvad membagi
tulisannya menjadi tiga bagian: bagian pertama menelaah cara
muamalah dipahami dan dipraktekkan pada zaman pra-dan awal-moderen;
bagian kedua meneliti hal yang terjadi pada praktik muamalah dalam
zaman moderen; dan akhirnya melihat muamalah sebagai jalan ke depan.
Shaykh Umar I Vadillo meringkaskan muamalah dalam lima pilar.
Kelimanya adalah:
1. Pasar
Pilar pertama yang kini hampir sepenuhnya runtuh adalah pasar,
yakni tempat-tempat umum untuk masyarakat berdagang. Rasulullah shalallahu
alaihi wa sallam menyatakan bahwa pasar sama dengan masjid, tidak
boleh dimiliki secara pribadi, tidak ada sewa, tanpa pajak, dan tidak ada
bangunan permanen: terbuka penuh bagi siapa pun. Yang ada di sekeliling kita
saat ini, bahkan yang disebut sebagai ”Pasar Tradisional” sekalipun, bukanlah
pasar menurut hukum syariat. Bangunan-bangunan permanen tersebut adalah kumpulan
kios milik orang-perorang, yang untuk pemilikannya pun dikenai berbagai pajak
pula.
Penyelenggaraaan Pasar Muamalah, yang sampai saat ini telah
berlangsung lebih dari 200 kali, adalah awal dari upaya pengembalian
pasar-pasar terbuka. Pasar Sultan di Kesultanan Bintan Darul masyhur, di kota
Tanjung Pinang, yang telah didirikan dan diresmikan oleh Sultan Huzrin Hood
pada akhir 2015 lalu, adalah contoh pasar terbuka berbasis wakaf. Pasar
Muamalah lain diselenggarakan di Mangku Negeri Tanjungpura Darussalam,
Ketapang, sepekan sekali sejak 2016 lalu.
2. Dinar dan Dirham
Pilar kedua adalah alat tukar (uang) yang halal. Rasul
shalallahu alaihi wa sallam menyebutkan enam jenis alat tukar ini,
yakni emas, perak, gandum, barle, kurma, dan garam (dalam riwayat lain disebut
kismis). Ringkasnya alat tukar yang halal haruslah berupa komoditi yang umum
dipakai sebagai alat jual-beli, yang paling lazim di antaranya adalah
uang emas (dinar) dan uang perak (dirham). Tanpa alat tukar berbasis komoditi
berbagai transaksi muamalat – khususnya utang-piutang dan jual-beli – tidak
dapat berlaku adil, karena bersifat merugikan salah satu pihak.
3. Pedagang Kolektif
Pilar ketiga, sesudah pasar dan mata uang, tentu saja, adalah
keberadaan para pedagang itu sendiri, baik secara sendiri-sendiri atau
berombongan dalam rombongan keliling, dulu dikenal sebagai kafilah-kafilah
(karavan). Para pedagang adalah penggerak utama ekonomi, baik dengan modal
sendiri, maupun bermitra dengan para investor. Rasulullah shalallahu alaihi wa
sallam mengindikasikan bahwa ”9/10 rezeki ada pada perdagangan”.
Lagi-lagi, yang kita lihat di sekeliling kita saat ini, bukanlah pedagang dan
perdagangan. Mereka adalah ”buruh-buruh lepas” pabrikan, yang diperlakukan
sebagai outlet-outletdistribusi produk mereka.
4. Paguyuban Produsen
Pilar keempat, ketika pasar telah tersedia dan ramai dikunjungi
para pedagang dan pembeli, maka produksi akan tumbuh kembali di tangan
masyarakat, melalui syarikat-syarikat (paguyuban/perkongsian) produksi. Dalam
syarikat-syarikat produksi (di Eropa dikenal sebagai gilda) inilah
bekerja sebagian besar orang sebagai para pemilik atau mitra-pemilik (co-owner).
Dalam muamalat posisi majikan-buruh adalah perkecualian belaka,
berkebalikan dengan keadaan saat ini etika pemilikan adalah perkecualian, dan
perburuhan adalah kelaziman.
5. Kontrak Bisnis Berkeadilan
Pilar kelima, sebagai konsekuensi dari kembalinya keempat pilar
di atas, adalah kontrak-kontrak bisnis dan komersial menurut syariat: qirad
(mudharabah), syirkat (perkongsian), muzara’ah (bagi hasil), dan sebagainya.
Qirad (mudharabah) adalah kontrak kemitraan usaha dagang, antara pemodal
dan agen yang ditunjuknya. Syirkat adalah kemitraan produksi sekunder.
Muzara’ah adalah kemitraan produksi primer, seperti dalam pertanian dan perkebunan,
di Jawa dikenal dengan istilah Maro.
Dr Asvad menunjukkan bahwa pada masa sebelum dan awal masa
moderen, lembaga-lembaga masyarakat Muslim masih utuh dan di dalam
lembaga-lembaga ini muamalah dipraktekkan. Dengan berbagai institusi
mumalah itulah masyarakat berfungsi. Lima pilar muamalah di atas
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Institusi-institusi muamalah
adalah: pasar; hisbah – kantor muhtasib; pengadilan hukum yang memutuskan
kontrak bisnis Islami; gilda-gilda; pencetakan koin; dan bait al mal –
perbendaharaan kekayaan.
Muamalah adalah pengetahuan yang praktis telah hilang dari umat
Islam, karena pengamalannya yang telah lama hilang. Maka saatnya telah tiba
untuk kita mengembalikannya dalam amal. Buku ini adalah satu di antara sedikit
buku sejenis yang memandu kita.
======================
Penulis: Zaim Saidi. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy, MA, CPIF. Email:
ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment