Uang Kertas vs Dinar/Dirham
Oleh: Prof. Dr. Muhamad
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Berikut pengertian uang menurut Ilmu Ekonomi tradisional dan
modern, tentang fungsi uang dari berbagai aspek, serta mengenai Dinar emas dan
Dirham perak, dan posisi kedua mata uang tersebut dibandingkan dengan uang
kertas.
Uang yang kita kenal sekarang adalah hasil perkembangan panjang,
sepanjang peradaban manusia. Ketika belum mengenal pertukaran, setiap orang
berusaha memenuhi kebutuhannya dengan usaha sendiri. Berburu jika lapar
datang. Membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan sederhana. Mencari buah-buahan
untuk dikonsumsi sendiri. Singkatnya, yang diperoleh itulah yang dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhannya. Tapi kemudian yang dibuat sendiri tidak cukup
untuk memenuhi seluruh kebutuhan. Lalu dicarilah barang-barang lain yang tidak
dapat dihasilkan sendiri, dari orang lain yang bersedia menukarkan barang
miliknya dalam sistem barter. Namun sistem ini ada batasnya, sehingga muncul
keinginan memakai benda tertentu sebagai alat tukar. Benda itu harus diterima
secara umum (generally accepted), bernilai tinggi (sukar
diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda kebutuhan
primer seperti garam. Benda yang dianggap indah dan bernilai seperti
kerang juga pernah dijadikan sebagai alat tukar sebelum manusia menemukan
uang logam.
Meskipun alat tukar sudah ada, tapi tetap muncul kesulitan dalam
pertukaran. Antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum
mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan dan pengangkutan
sulit dilakukan. Timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda
itu karena mudah hancur atau tidak tahan lama. Kemudian muncul uang logam.
Logam dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai tinggi sehingga digemari
umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, tidak mudah dipecah tanpa mengurangi
nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam sebagai alat tukar karena memenuhi
syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas
dan perak juga disebut uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai
intrinsik (nilai bahan) uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum
pada mata uang tersebut). Saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur,
menjual atau memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang
logam.
Seiring
perekonomian berputar, tukar-menukar dengan uang logam menigkat. Timbul
anggapan stok logam (emas dan perak) akan terbatas bila trasaksi meningkat
terus. Apalagi jika nanti transaksinya dalam jumlah besar. Diciptakanlah uang
kertas. Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti
kepemilikan emas dan perak sebagai alat/perantara untuk bertransaksi. Dengan
kata lain, uang kertas yang beredar saat itu merupakan uang yang dijamin 100%
dengan emas atau perak yang disimpan di gudang pandai emas atau perak dan
sewaktu-waktu uang kertas tersebut dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya
(emas atau perak). Selanjutnya masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara
langsung) sebagai alat pertukaran, dan menjadikan “kertas-bukti” tersebut
sebagai alat tukar.
Uang dalam Ilmu Ekonomi
Para
ahli ekonomi modern setuju bahwa penciptaan mata uang merupakan peristiwa
sangat signifikan dalam sejarah ekonomi umat manusia. Pada sisi
komersial dan eksistensi sosial masyarakat, uang merupakan hasil
ciptaan esensial, di mana segala sesuatunya berpijak pada dasar itu. Uang
memiliki berbagai fungsi yang berbeda. Seperti sebagai alat tukar nilai, medium
pertukaran, nilai simpanan dan standar pembayaran tertunda. Dalam pandangan
ahli ekonomi, fungsi uang sebagai medium pertukaran merupakan paling penting.
Sebagaimana pernyataan Crowther: “Uang harus difungsikan sebagai alat pengukur
nilai, medium pertukaran dan simpanan kekayaan. Dapat disimpulkan, uang adalah
alat tukar/sehingga bisa ditentukan nilai suatu transaksi.
Uang dalam Ilmu
Ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat
diterima secara umum. Dapat berupa benda apa pun yang dapat diterima setiap
orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa.
Dalam Ilmu Ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan
secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan
jasa-jasa serta kekayaan berharga lain serta untuk pembayaran utang.
Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Keberadaan
uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah
daripada barter yang lebih kompleks, tidak efisien dan kurang cocok
digunakan dalam sistem ekonomi modern karena membutuhkan orang yang memiliki
keinginan sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan
nilai. Efisiensi akibat menggunakan uang pada akhirnya akan mendorong
perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan
produktivitas dan kemakmuran.
Pada
awalnya, di Indonesia, uang — dalam hal ini uang kartal — diterbitkan
pemerintah Republik Indonesia. Namun sejak ada UU No. 13/1968 pasal 26
ayat 1, hak pemerintah mencetak uang dicabut. Pemerintah kemudian menetapkan
Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menciptakan uang
kartal. Hak untuk menciptakan uang disebut hak oktroi.
Syarat Benda sebagai Uang
Suatu benda dapat dijadikan sebagai “uang” jika memenuhi
syarat-syarat tertentu. Pertama, benda itu diterima secara umum (acceptability).
Agar dapat diakui sebagai alat tukar umum, suatu benda harus memiliki nilai
tinggi atau — setidaknya — dijamin keberadaannya oleh pemerintah yang
berkuasa. Bahan uang juga harus tahan lama (durability), kualitasnya
cenderung sama (uniformity), jumlahnya dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat serta tidak mudah dipalsukan (scarcity). Uang juga harus
mudah dibawa, portable, dan mudah dibagi tanpa mengurangi nilai (divisibility),
serta memiliki nilai yang cenderung stabil dari waktu ke waktu (stability
of value).
Fungsi Uang
Fungsi
uang dibedakan menjadi dua: fungsi asli dan fungsi turunan. Fungsi
asli uang adalah sebagai alat tukar, satuan hitung dan penyimpan nilai.
Sebagai alat tukar atau medium of exchange, uang
dapat mempermudah pertukaran. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan
cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang. Sebagai satuan
hitung (unit of account), uang dapat digunakan untuk
menunjukan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan,
menunjukkan besarnya kekayaan, dan menghitung besar-kecilnya pinjaman.
Uang juga dipakai untuk menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk harga).
Sebagai alat satuan hitung, uang berperan untuk memperlancar pertukaran.
Sebagai alat penyimpan nilai (valuta), uang dapat digunakan untuk
mengalihkan daya beli dari masa sekarang ke masa mendatang. Seorang
penjual saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan
jasanya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk membeli barang dan jasa di
masa mendatang. Fungsi turunan uang antara lain sebagai alat pembayaran yang
sah, alat pembayaran utang, alat penimbun kekayaan, alat pemindah kekayaan dan
alat pendorong kegiatan ekonomi
Menurut Bahan Pembuatannya
Dilihat
dari bahan pembuatannya, ada uang logam dan uang kertas. Uang
logam terbuat dari logam. Biasanya dari emas atau perak karena
memiliki nilai yang cenderung tinggi dan stabil, bentuknya mudah dikenali,
sifatnya yang tidak mudah hancur, tahan lama, dan dapat dibagi menjadi satuan
yang lebih kecil tanpa mengurangi nilai.
Uang
logam memiliki tiga macam nilai. Pertama, nilai intrinsik: nilai bahannya.
Misalnya, berapa nilai emas dan perak yang digunakan untuk mata uang.
Kedua, nilai nominal: nilai yang tercantum pada mata uang atau cap harga yang
tertera pada mata uang. Misal, seratus rupiah (Rp 100), atau lima ratus rupiah
(Rp 500). Dan ketiga, nilai tukar: kemampuan uang untuk ditukarkan dengan
barang (daya beli uang). Misal, uang Rp 500 hanya dapat ditukarkan dengan
sebuah permen, Rp 10.000 dengan semangkuk bakso.
Ketika
pertama kali digunakan, uang emas dan uang perak dinilai berdasarkan nilai
intrinsiknya. Yaitu kadar dan berat logam yang terkandung di dalamnya. Semakin
besar kandungan emas atau perak di dalamnya, semakin tinggi nilainya. Tapi saat
ini, uang logam tidak dinilai dari berat emasnya, namun dari nilai nominalnya.
Nilai nominal adalah nilai yang tercantum atau tertulis di mata uang tersebut.
Uang
kertas adalah uang yang terbuat dari kertas dengan gambar
dan cap tertentu dan merupakan alat pembayaran yang sah. Menurut
penjelasan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, yang dimaksud uang
kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan kertas atau
bahan lainnya (yang menyerupai kertas).
Dinar-Dirham
Jika
mendengar Dinar dan Dirham, selalu dikaitkan dengan investasi emas. Tetapi
sesungguhnya Dinar Dirham bukanlah alat investasi. Melainkan alat pembayaran
sebagaimana fungsi aslinya. Dinar dan Dirham pernah dibuat dan
berlaku di Indonesia sebagai mata uang resmi. Ya, sejak abad ke-14, nenek
moyang kita telah akrab dengan kedua jenis mata uang ini. Dinar dan
Dirham pernah mendominasi pasar-pasar di sebagian besar wilayah Nusantara.
Antara lain di Pasai, Malaka, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Gowa, dan
Kepulauan Maluku.
Pada 700 tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth
of Nation, ulama bernama Abu Hamid al-Ghazali telah membahas fungsi uang
dalam perekonomian. Beliau menjelaskan fungsi uang adalah sebagai alat untuk
melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai wajar dari pertukaran tersebut.
Uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan
semua warna. Sehingga apabila fungsi uang sudah berubah dari esensi dasarnya,
akan mengakibatkan terjadinya inflasi dan deflasi. Nilai intrinsik sebuah mata
uang sudah tidak sesuai, sehingga mengakibatkan terjadinya permainan dan
kolusi.
Dalam sejarah Islam, belum pernah terjadi krisis seperti sekarang.
Mata uang memang relatif stabil manakala nilainya masih disandarkan
pada emas. Sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga
Dinasti Ustmaniyah, hanya dikenal uang emas dan perak. Uang kertas tidak
dikenal sama sekali. Sebenarnya mata uang ini dibentuk dan dicetak oleh
kekaisaran Romawi. Kata Dinar berasal dari kata Denarius (bahasa
Romawi Timur), dan Dirham berasal dari kata Drachma (bahasa
Persia). Kemudian bangsa Arab mengadopsinya untuk dijadikan sistem mata uang
mereka. Dan sepanjang kehidupannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah merekomendasikan perubahan apa pun terhadap mata uang. Artinya,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang
menjadi khalifah sesudahnya membenarkan praktek ini.
Dalam prosesnya memang terjadi perubahan. Misal pada masa Umar
perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu. Beliau hanya mengubah dengan pemberian gambar
tambahan bertuliskan “Alhamdulillah” dan di baliknya bertuliskan “Muhammad
Rasulullah”. Setiap 10 Dirham beratnya 4 mitsqal. Beliau
sempat mencetaknya sampai akhir masa jabatannya. Namun belum sempat mencetak
uang Dinar yang lain. Kemudian di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dia
mencetak mata uang baru Dinar dan Dirham di bawah pengawasan pemerintah. Dengan
bentuk dan karakteristik pencetakan islami dan penggunaan Dinar dan Dirham ini
berakhir seiring dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada 1924
bersamaan dengan berakhirnya Perang Dunia I.
Secara alamiah, transaksi di daerah Mesir atau Syam menggunakan
Dinar sebagai alat tukar. Sementara itu di kekaisaran Persia menggunakan
Dirham. Meluasnya peyebaran Islam ke wilayah kekaisaaran Persia (Irak, Iran,
Bahrain dan Transoxania) dan kekaisaran Romawi (Syam, Mesir dan Andalusia)
menyebabkan perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ’anhu, Dinar dan Dirham merupakan
satu-satunya mata uang yang digunakan. Dinar dan Dirham dinilai mempunyai nilai
yang tetap. Karena itu, tidak ada masalah dalam perputaran uang.
Dijadikannya uang sebagai alat tukar adalah untuk menghindari
transaksi yang merusak. Tanpa adanya nilai dasar suatu barang akan sulit
menentukan nilai suatu barang. Misalnya barter bisa mengundang niat buruk ke
dalam berbagai macam transaksi. Dampak “yang merusak moral” boleh jadi
merupakan alasan mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindari
barter. Baik Dinar maupun Dirham disebutkan secara spesifik dalam Al-Quran:
Dinar emas mengacu pada nilai tukar yang besar, sedangkan Dirham perak mengacu
pada nilai tukar yang lebih kecil. Bersamaan dengan berakhirnya Daulah Utsmani,
Dinar dan Dirham, serta Fulus, turut hilang dari peredaran dalam masyarakat.
Akibatnya,
berbagai macam ketentuan dalam syariat Islam, seperti kewajiban berzakat,
ketentuan diyat dan hudud, serta sunnah seperti pembayaran mahar, sedekah,
maupun ketentuan dalam muamalat (shirkat, qirad) tidak dapat dilaksanakan
dengan baik. Akibat lain hilangnya Dinar dan Dirham adalah masyarakat
terus-menerus menanggung akibat merosotnya nilai alat tukar uang kertas yang
diberlakukan saat ini. Kemiskinan menjadi fenomena umum akibat inflasi yang
tiada henti. Berkali-kali, sepanjang zaman modern pada abad ke-20 sampai
memasuki abad ke-21, kita dihadapkan dengan apa yang disebut ”Krisis Moneter”,
yang tak lain akibat sistem uang kertas yang sepenuhnya berbasis pada riba.
Dinar-Dirham Nilainya Stabil
Nilai
Dinar dan Dirham selalu naik dari waktu ke waktu. Secara praktis dalam
kehidupan sehari-hari Dinar dan Dirham, demikian halnya Fulus – yang meski
terbuat dari tembaga tapi karena nilainya diikat dengan Dirham perak,
memberikan keuntungan karena bebas inflasi. Dalam semua mata uang kertas, kurs
Dinar emas dan Dirham perak naik dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, kita
bandingkan Dinar emas dengan dolar AS dalam satu dekade terakhir. Nilai 1 Dinar
emas pada 2000 sebesar 38 dolar AS dan pada 2011 (Januari) 190 dolar AS.
Berarti ada kenaikan 150 dolar AS atau 395% selama 11 tahun atau rata-rata 36%
per tahun.
Implikasi
dari kenaikan nilai yang terus menerus adalah biaya dan harga barang dan jasa
dalam Dinar emas akan stabil, bahkan turun. Sekadar contoh pada harga semen (di
Jakarta). Pada 2000 nilai tukar 1 Dinar emas sekitar Rp 400.000, harga satu zak
semen sekitar Rp 20.000, maka 1 Dinar emas dapat dibelikan 20 zak semen. Pada
2011 (Januari) harga satu zak semen yang sama menjadi sekitar Rp 50.000/zak, sedangkan
nilai tukar Dinar emas Rp 1.690.000. Maka 1 Dinar emas pada awal 2011 dapat
dibelikan 32 zak semen. Dengan kata lain, harga semen/zak dalam kurun 2000-2010
dalam rupiah naik 150% tetapi dalam Dinar emas justru menurun (-) 40%! Contoh
lain yang penting bagi umat Islam Indonesia adalah Dinar emas dan Dirham perak
dapat digunakan untuk membayar biaya ibadah haji. Ongkos naik hanya cenderung
naik dalam rupiah, tetapi turun kalau dinilai dengan Dinar emas.
Dinar emas dan Dirham perak merupakan alat tukar paling stabil.
Sejak awal sejarah Islam sampai saat ini, nilai mata uang Islam yang didasari
mata uang bimetal ini secara mengejutkan sangat stabil jika dihubungkan dengan
bahan makanan pokok. Dulu harga seekor ayam pada masa Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam adalah 1 Dirham perak, dan saat ini, 1.400
tahun kemudian, harganya tetap 1 Dirham. Selama 1.400 tahun nilai inflasinya
nol (0). Dapatkah kita melihat hal yang sama terhadap dolar AS atau mata uang
lainnya selama 25 tahun terakhir ini?
Untuk standardisasi berat Dinar emas dan Dirham perak mengikuti
hadis Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam: ”Timbangan adalah
timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah.” (HR.
Abu Daud). Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab sekitar 642 M, bersamaan
dengan pencetakan uang Dirham pertama di kekhalifahan, standar hubungan berat
antara uang emas dan perak dibakukan: berat 7 Dinar emas sama dengan berat 10
Dirham perak.
Saatnya Dinar Dirham Kembali sebagai Alat Tukar
Sejak
1992, kalangan cendekia telah mengupayakan pemakaian kembali Dinar emas dan
Dirham perak, juga Fulus. Baik untuk keperluan pembayaran zakat maupun
bermuamalat. Sejak 2002, Dinar emas dan Dirham perak juga telah mulai beredar
dan digunakan kaum Muslim di Indonesia.
Seperti dijelaskan di awal, Islam yang menekankan Dinar emas dan
Dirham perak pada berat dan kadarnya, bukan pada tulisan atau
jumlah/ukuran/bentuk keeping, maka berat dan kadar emas untuk Dinar serta berat
dan kadar perak untuk Dirham produksi Logam Mulia di Indonesia saat ini
memenuhi syarat untuk kita sebut sebagai Dinar dan Dirham Islam zaman sekarang.
Pemikiran kembali kepada Dinar dan Dirham, merupakan sesuatu yang tidak
mustahil. Hal ini mengingat saat ini pun posisi dolar terhadap euro kian
memperlihatkan betapa hegemoni dolar AS yang selama ini kokoh mulai kehilangan
mahkotanya. Sehingga apa yang dulu dikatakan bahwa dolar AS sebagai mata uang
paling sakral di dunia – In God We Trust – kini kian lenyap
nilai kesakralannya.
Hal
ini didasari bahwa uang yang sekarang berlaku tidak sesuai dengan nilai
intrinsiknya lagi. Ibnu Taimiyyah mempunyai pengalaman beberapa kali turunnya
nilai mata uang koin yang terjadi di Mesir di bawah pemerintahan sejumlah
sultan dari Dinasti Mamluk. Ia meminta sultan untuk memeriksa penyebab
menurunnya nilai uang tersebut, yang mengakibatkan kekacauan ekonomi. Ia sangat
menentang penurunan nilai mata uang, juga pencetakan mata uang yang terlalu
banyak. Dia mengatakan: “Otoritas pemerintah harus mencetak mata uang koin
(emas atau perak) sesuai dengan nilai transaksi yang adil dari penduduk,
tanpa keterlibatan kezaliman di dalamnya.”
Sejumlah
pertanyaan yang dikutip di atas menunjukkan bahwa ia sangat mempertimbangkan
pentingnya nilai intrinsik mata uang koin, sesuai nilai logamnya, sehingga
sesuai kekuatan jual-beli di pasar, di mana tak seorang pun (termasuk penguasa)
mencari keuntungan dengan melebur koin itu, menjualnya dalam bentuk logam atau
mengubah metal itu menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang.
Ibnu
Taimiyyah juga menyebutkan suatu pikiran bahwa di Barat seperti dianut oleh
Thomas Gresham pada 1857 dan kemudian lazim disebut Hukum Gresham, secara
sederhana menyebutkan bahwa jika dua buah mata uang koin memiliki nilai nominal
sama, tetapi dibuat dari logam tak sama nilai (intrinsiknya), uang koin dari
bahan yang lebih murah akan menyingkirkan yang lain dalam peredaran. Mata uang
koin logam yang lebih baik akan ditimbun, dilebur atau diekspor, karena
dianggap lebih menguntungkan, khususnya mata uang dari logam campuran, ketika
rasio nilai mata uang yang dicetak berbeda dengan rasio pasar.
Berawal dari fatwa penting akan sejarah mengenai pelarangan
pemakaian uang kertas oleh Syaikh Prof. Dr. H. Umar Ibrahim Vadillo pada 1991,
yang kemudian beliau memulai pencetakan Dinar emas dan Dirham perak pada 1992
dan mendirikan World Islamic Mint (WIM). Kini timbul pemikiran bagaimana dalam
perdagangan di dunia Islam diberlakukan standar mata uang Dinar emas dan Dirham
perak sebagai nilai tukar, guna mengimbangi kekuatan dolar, euro serta untuk
menghindari transaksi-transaksi maya di pasar uang yang mengakibatkan
krisis.
====================
* Prof. Dr. Muhamad adalah Guru Besar pada STIES Hamfara, Yogyakarta
Comments
Post a Comment