Skip to main content

Keuangan Publik Islam



KEUANGAN PUBLIK ISLAM


Oleh: Nafis Irkhami
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF

Pendahuluan
Perluasan wilayah Islam masa awal ke barat sampai Afrika dan Spanyol, serta ke timur hingga Asia Tengah dan Cina meniscayakan adanya administrasi pemerintahan yang memadahi, termasuk kebijakan keuangan publik. Imperium baru yang memiliki wilayah seluas itu dituntut untuk memiliki dan membangun sistem pengelolaan keuangan negara yang kokoh dan operasional.

Dalam hal ini, rekaman historis menunjukkan bahwa para penggagas dan perancang keuangan serta perencana garis-garis kebijakan fiskal masa itu telah membahas berbagai persoalan keuangan publik. Lingkup pembahasan kajian tersebut adalah mengenai pengelolaan pendapatan dan pengeluaran negara. Pembahasan mengenai pendapatan negara meliputi tentang pengumpulan pendapatan, struktur perpajakan serta pendistribusian pajak. Sedangkan mengenai pengeluaran negara mencakup persoalan pembelanjaan negara untuk kesejahteraan masyarakat, pengembangan ekonomi dan lain sebagainya.

Dalam perjalanan sejarah Islam telah dikenal beberapa sumber pendapatan dan keuangan negara (al-mawarid al-maliyyah li al-dawlah). Berdasarkan perolehannya, sumber-sumber pendapatan negara tersebut menurut Wahhab Khalaf dapat dikategorikan menjadi dua, yakni yang bersifat rutin (dawriyyah) dan pendapatan insidental (ghayr dawriyyah). Pendapatan rutin negara terdiri dari zakat, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak jaminan keamanan atas non-Muslim), dan ‘usyur (pajak ekspor dan impor). Sedangkan pendapatan tidak rutin adalah pemasukan tak terduga seperti dari ghanimah dan fay’ (harta rampasan perang), ma’adin (seperlima hasil tambang) dan rikaz (harta karun), harta peninggalan dari pewaris yang tidak mempunyai ahli waris, harta temuan dan segala bentuk harta yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya.1

Sabahuddin Azmi membuat klasifikasi sumber-sumber pendapatan yang agak berbeda dengan Khalaf. Ia membedakan sumber pendapatan negara berdasarkan tujuan alokasinya; 1) Pendapatan ghanimah, 2) Pendapatan shadaqah, dan 3) Pendapatan fay’. 2 Klasifikasi yang mengikuti pendapat Abu Yusuf ini menurut Azmi menjadi sangat penting karena alokasi dari setiap kategori pendapatan telah ditentukan, dan tidak boleh dicampuradukkan.

Para fuqaha masa awal, para perencana keuangan, para wazir yang bertanggung jawab atas perpajakan dan pembelanjaan publik, merupakan pionir dalam pengembangan pemikiran keuangan publik Islam. Mereka mencoba memahami persoalan-persoalan keuangan publik yang muncul di masa mereka, khususnya setelah meluasnya wilayah-wilayah taklukan, dengan mencari landasan dari al-Qur‟an dan Sunnah, serta merujuk pada praktik para khalifah maupun pendapat-pendapat fuqaha sebelumnya.

Makalah ini dimaksudkan sebagai kajian sejarah pemikiran ekonomi Islam. Dengan demikian, penekanannya adalah pada perkembangan pemikiran ekonomi, khususnya mengungkap bagaimana para ekonom Muslim masa awal merespon persoalan-persoalan yang ada pada zamannya. Dengan pendekatan ini diharapkan kita memperoleh gagasan yang jelas mengenai tahap-tahap awal perkembangan teori keuangan publik Islam dan sekaligus mengakui sumbangan yang diberikan oleh para pemikir ekonomi Muslim. Setidaknya, kita bisa menjawab tesis Great Gap Schumpeter bahwa ilmu ekonomi mengalami keterputusan atau ada sesuatu yang hilang (missing link) semenjak jatuhnya Romawi hingga masa Thomas Aquinas (1225-1274M).

Tesis tersebut di satu sisi dapat dipahami mengingat masih sangat sedikitnya informasi yang sampai kepada kita mengenai wujud dan perkembangan ekonomi Islam atau sistem perekonomian di dunia Islam. Di sisi lain, secara internal, umat Islam sendiri masih belum banyak mengeksplorasi pemikiran-pemikiran ekonomi para pendahulunya, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa banyak literatur dalam bidang ini yang tidak sampai ke tangan kita.

Karya-Karya Awal tentang Keuangan Publik Islam
Karya-karya awal yang secara khusus membahas keuangan publik pada umumnya menggunakan judul al-kharaj, al-amwal dan al-ahkam alsulthaniyyah. Berikut ini akan dikemukakan tiga kecenderungan penggunaan judul tersebut, sehingga akan diketahui latar belakang dan corak masing-masing secara umum.

Pertama, judul kitab yang menggunakan kata al-Kharaj. Secara literal, kharaj adalah “mengeluarkan dari tempatnya.” Dalam pengertian fiqh, sebagaimana dinyatakan ibn Manzur, adalah “Sesuatu yang dikeluarkan tiap tahun oleh umat dari harta benda mereka, dengan takaran yang telah diketahui.”3 Dengan kata lain, kharaj merupakan pajak negara yang diambil dari para pemilik tanah.4 Dengan demikian, kharaj mencakup semua jenis pajak seperti jizyah, khums, usyr, dan lain-lain. Namun pada awalnya kata kharaj lebih dimaksudkan untuk pajak yang dibebankan kepada tanah-tanah yang ditaklukkan oleh kaum Muslim yang dibiarkan tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya.5

Orang pertama yang diyakini telah menulis tentang kharaj adalah Mu‟awiyah ibn Ubaid Allah (w.786), menteri terkemuka khalifah al-Mahdi (Abbasiyah). Sayang, buku Mu‟awiyah yang berjudul Al-Kharaj ini sudah tidak bisa ditemukan lagi. Dari puluhan judul kitab tentang kharaj yang terselamatkan sampai saat ini adalah karya Abu Yusuf, Yahya ibn Adam dan Qudamah ibn Ja‟far.

Kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf disusun untuk memenuhi permintaan Khalifah Harun al-Rasyid (w. 809). Sebagaimana ditulis sendiri dalam pengantarnya, Abu Yusuf menyatakan bahwa kitabnya dimaksudkan sebagai rujukan dan pertimbangan bagi khalifah dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pajak yang Islami.6 Berdasarkan tujuan penulisan tersebut, dapat dipahami bila pendekatan yang digunakan dalam buku itu sangat pragmatis dan bercorak fiqih. Bahkan, di dalamnya banyak ditemui fatwa atau nasehat mengenai adab kepemimpinan.7

Kitab lain dengan judul sama, al-Kharaj, disusun oleh ulama sezaman dengan Abu Yusuf, yaitu Abu Zakariyya Yahya ibn Adam (w. 818). Sama seperti Al-Kharaj Abu Yusuf, kitab ini juga dimaksudkan sebagai pedoman umum dasar-dasar keuangan publik Islam. Dengan demikian buku ini tidak menyinggung tentang praktek perpajakan yang ada saat itu, namun lebih banyak mengemukakan hadits-hadits terkait dengan persoalan keuangan publik.8

Hadits-hadits yang dikompilasikan oleh Yahya ibn Adam berbicara tentang topik-topik seperti ghanimah, fai’, kharaj, jizyah; baik yang diperoleh dari rampasan perang maupun melalui perjanjian damai; mengenai otoritas khalifah untuk mendistribusikan tanah taklukan; larangan menyewakan tanah kharaj; ketentuan tentang menghidupkan tanah mati; pajak barang tambang; ketentuan yang berlaku untuk masyarakat yang ditaklukkan, dan sebagainya. Persoalan-persoalan tersebut sebenarnya telah dibahas secara komprehensif oleh Abu Yusuf. Meskipun demikian, pendekatan yang digunakan Yahya berbeda dengan Yusuf.

Kitab Abu Yusuf lebih bercorak judicial-oriented, sedangkan tulisan Yahya nampaknya lebih dimaksudkan sebagai buku compilation-oriented. Dengan demikian buku Yusuf lebih kaya dengan analisis dan upaya untuk melakukan istinbat hukum, sedangkan Yahya lebih berkosentrasi untuk menggali sebanyak mungkin hadits-hadits sebagai landasan hukumnya. Dari ratusan hadits yang dikemukakan dalam kompilasinya, menurut penelitian Meera dan Ahsan, hanya 40 hadits yang dapat ditemukan dalam kutub al-sittah.9

Kitab Al-Kharaj terakhir yang masih dapat ditemukan saat ini, meskipun sudah tidak utuh lagi,10 adalah karya Qudamah ibn Ja‟far (w. 932). Tidak jauh berbeda dengan latar belakang kedua penulis sebelumnya, penulisan buku ini memiliki keterkaitan dengan pemerintah saat itu.11 Dua penulis sebelumnya menulis karena kapasitasnya sebagai ulama yang diakui pemerintah, dan tidak memegang jabatan tertentu dalam pemerintahan. Berbeda dengan keduanya, Qudamah adalah seorang aparat yang terlibat langsung dalam pemerintahan sehingga tulisannya lebih bersifat kontekstual. Bahkan penulisan buku ini ditengarai sebagai konter terhadap kritik yang diajukan oleh para katib (kolektor dan administrator pajak) saat itu bahwa praktek keuangan publik yang dijalankan pemerintah banyak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Islam.12 Dalam pembahasannya Qudamah tidak banyak menampilkan hadits sebagaimana pendahulunya, namun mengemukakan berbagai pendapat yang telah ada.13

Setelah buku-buku berjudul al-Kharaj, buku tentang keuangan publik selanjutnya adalah yang menggunakan judul al-amwal. Al-amwal merupakan bentuk jamak dari al-mal yang berarti “kekayaan atau keuangan.”14 Kitab-kitab yang menggunakan judul ini pada umumnya membahas tentang sumber-sumber serta pengelolaan pendapatan negara. Dengan demikian istilah al-kharaj dan al-amwal sering digunakan secara bergantian oleh para ulama pada masa itu.15 Dalam penggunaannya, pembahasan tentang al-kharaj lebih menekankan pada pajak tanah, sedangkan pembahasan al-amwal membicarakan semua bentuk dan sumber-sumber pendapatan keuangan publik. Dengan kata lain, kitab alamwal memiliki cakupan lebih luas dibanding al-kharaj.

Kitab-kitab dengan judul al-amwal yang sampai kepada kita adalah karya Abu Ubayd, Abu Humaid ibn Zanjawaih dan Abu Ja‟far ibn Nashr alDawudi.16 Kitab al-amwal pertama dalam pembahasan ini, karya Abu Ubayd, merupakan sebuah buku yang sistematis dan komprehensif mengenai keuangan publik.17 Kitab ini, menurut Ugi, kemungkinan disusun semasa purna tugas Abu Ubayd sebagai qadi di Tarsus.18 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kitab ini merupakan refleksi seorang ulama sekaligus praktisi hukum.

Hampir sama dengan metode Abu Yusuf, ketika membahas berbagai kasus keuangan publik Abu Ubayd juga mengulasnya dengan pendekatan fiqih, yaitu dengan merujukkan pandangannya pada nash dan hadits, praktek khalifah maupun pendapat ulama-ulama terdahulu. Dengan rujukan-rujukannya pada praktek dan pandangan-pandangan ulama terdahulu, maka kitab Abu Ubayd juga bercorak historis.

Kitab al-amwal kedua adalah karya Humaid ibn Zanjawaih,19 seorang murid ibn Abu Ubayd. Pada bagian awal, kitab ini membahas tentang norma-norma kepemimpinan dalam Islam; tentang kewajiban pemimpin untuk bersikap adil, kewajiban rakyat untuk mentaati pemimpin dan sebagainya. Selanjutnya penulis mendiskusikan tentang keuangan publik Islam, terutama terkait dengan wilayah-wilayah taklukan dan wilayah yang membuat perjanjian damai dengan Islam.

Buku Zanjawaih ini dinilai oleh beberapa kalangan sebagai buku syarah atas Kitab al-amwal karya gurunya.20 Meskipun di sana-sini dijumpai pandangannya yang berbeda dengan gurunya, namun secara garis besar ia mengikuti metode diskriptif gurunya.

Kitab terakhir dengan judul al-amwal ditulis oleh Ja‟far ibn Nashr alDawudi. Kitab yang disusun ulama Malikiyah pada akhir abad ke-4 Hijriyah ini merupakan satu-satunya kitab yang secara spesifik membahas keuangan publik dari perspektif mazhab Maliki. Berbeda dengan dua kitab al-amwal sebelumnya, dalam pembahasannya al-Dawudi mengangkat praktek perpajakan yang berlaku pada saat itu, khususnya di Irak, Sisilia, dan Spanyol.21 Secara umum, buku ini mengkampanyekan praktek pemerintahan yang bersih dari korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Dengan demikian, buku ini bisa menjadi cerminan kondisi sosio-politik yang berlaku saat itu.

Kitab-kitab klasik selanjutnya yang membahas tentang keuangan publik adalah berjudul al-ahkam al-sulthaniyah. Berbeda dengan dua model kitab al-kharaj dan al-amwal yang lebih menekankan pembahasan pada keuangan publik, kitab ini memiliki cakupan yang lebih luas. Di samping tentang keuangan publik, kitab ini juga membahas topik-topik administrasi pemerintahan, makro ekonomi (sistem pasar, intervensi pemerintah ke dalam pasar), moneter (sistem mata uang), dan sebagainya.

Kitab dengan judul al-Ahkam al-Sulthaniyah ditulis oleh dua sarjana pada paruh pertama abad ke-15, yaitu Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 1058)22 dan Abu Ya‟la al-Farra‟ (w. 1065). Selain dengan judul yang sama, kedua kitab ini pun memiliki cakupan yang sama dan dari periode yang sama. Meski demikian, tidak diketahui secara persis siapa yang lebih dulu menyelesaikan bukunya. Kedua buku ini ditulis dengan sistematika yang baik dan runtut. Topik pembahasan kedua buku ini tidak hanya pada keuangan publik, namun juga mengangkat persoalan pajak, pengelolaan tanah, pembelanjaan publik dan sebagainya. Di samping itu, keduanya juga membahas masalah pemerintahan dan prosedur administrasi, termasuk peran pemerintah dalam perekonomian; baik fiskal maupun moneter.

Menurut Azmi, perbedaan utama dari dua buku tersebut adalah ketika membahas aspek-aspek administrasi keuangan. Dalam hal ini Abu Ya‟la lebih banyak mengutip pendapat-pendapat dari mazhabnya sendiri, yakni Hanbali; sedangkan Al-Mawardi tidak hanya merujuk pada mazhabnya sendiri (Syafi‟i), namun juga dari mazhab Hanafi dan Maliki. Lebih jauh, dalam pembahasannya Mawardi menyebutkan rujukanrujukan yang ia gunakan, sehingga bukunya sudah menggunakan gaya penulisan seperti buku-buku ilmiah saat ini.

Tabel
Karya-Karya Awal tentang Keuangan Publik Islam

Judul
Penyusun
Latar belakang
Corak/Gaya
Kandungan







Kitab Al-kharaj
Abu Yusuf
Memenuhi permintaan Khalifah Harun alRasyid (w. 809).


Judicialoriented/ Sangat Fragmatis dan Bercorak Fiqh
Banyak mengemukakan fatwa atau nasehat mengenai adab kepemimpinan
Yahya ibn Adam
Pedoman umum dasardasar keuangan publik Islam
Compilationoriented
Lebih banyak mengemukakan hadits-hadits tentang keuangan publik
Qudamah ibn Ja‟far
Konter terhadap kritik para katib (kolektor dan administrator pajak)
Judicialoriented Diskriptif
Mengemukakan berbagai pendapat ulama tentang keuangan publik












Kitab al-Amwal
Abu Ubayd
Refleksi seorang ulama sekaligus praktisi hukum (qadi)
Historis Normatif
Legal reasoning buku yang sistematis dan komprehensif mengenai keuangan publik
Abu Humaid ibn Zanjawaih
Buku syarah atas Kitab alamwal karya Abu Ubayd
Normatif Legal reasoning
Norma-norma kepemimpinan Islami; Keuangan publik Islam
Abu Ja‟far ibn Nashr al-Dawudi
Mengangkat praktek perpajakan yang berlaku pada saat itu
Empirik Legal reasoning
Keuangan publik dari perspektif mazhab Maliki
AlAhkam al-Sulthaniyyah
Abu alHasan alMawardi (w. 1058)
Pedoman umum dasardasar keuangan publik Islam
Legal reasoning (Komparatif mazhab)
Keuangan publik; pajak, pengelolaan tanah; pembelanjaan publik dsb. Pemerintahan dan prosedur administrasi sda Legal reasoning (Hanbaliah)
Abu Ya‟la al-Farra‟ (w. 1065).
sda
sda
sda


Perkembangan Awal Keuangan Publik Islam

Sistem administrasi keuangan pada masa Nabi belum begitu kompleks. Ini dapat dipahami karena Beliau hidup di negara kecil Madinah yang baru berdiri, dan dengan kebijakan keuangan yang masih sangat sederhana. Sepeninggal Beliau, negara Islam mulai menembus batas semenanjung Arabia, terlebih pada masa pemerintahan Umar. Kompleksitas dalam pengelolaan keuangan di wilayah taklukan menuntut perlunya sebuah sistem keuangan yang lebih profesional dan efisien. Secara kebetulan, Khalifah Umar merupakan salah seorang sahabat Nabi yang memiliki pemahaman paling kritis.

Pada masa Khulafa al-Rasyidun, pendapatan negara yang sebagian besar diperoleh dari hasil perluasan wilayah dan rampasan perang masih sangat mencukupi untuk kebutuhan-kebutuhan negara. Dengan cara pembelanjaan harta yang cermat dan efisien serta memegang teguh prinsip amanah, kondisi keuangan negara berlangsung dengan baik.23
Sebagai gambaran, maksimalisasi institusi Bait al-Mal (menjadi lembaga reguler dan permanen) pada masa Khalifah Umar adalah dilatarbelakangi dengan kedatangan Abu Hurairah yang menjabat sebagai Gubernur Bahrain, yang membawa dana pemungutan pajak kharaj sebesar 500.000 dirham. Sejak saat itu, untuk pertamakalinya dalam sejarah Islam, Umar memutuskan untuk tidak menghabiskan pendapatan pajak tersebut, namun dicadangkan untuk kepentingan negara.24 Kebijakan ini jelas merupakan suatu kebijakan yang tidak populer pada masanya. Meskipun ketika memutuskannya Khalifah telah mengumpulkan para tokoh Sahabat untuk mendiskusikannya, tidak urung keputusan itu tetap menjadi polemik di kalangan mereka. Salah seorang sahabat yang tidak sepakat dengan kebijakan ini adalah Ali bin Abi Yhalib.

Selanjutnya pada masa Khalifah Utsman, pajak tanah (kharaj) dari Irak, Mesir, Afrika, Cyrenaica, Syprus yang diterima negara adalah sebesar 200.492.000 dirham atau senilai 20 juta dinar. Jumlah tersebut belum termasuk kharaj dari Arabia, Siria, Armenia, Azerbaijan dan Persia.25 Sedangkan perolehan negara dari pajak jizyah Irak adalah sekitar 15,4 juta dirham atau 1,54 juta dinar; dari Mesir sebesar 4 juta dinar atau 40 juta dirham; dan dari Siria 0,5 juta dinar. Total pendapatan jizyah pada masa itu apabila dikurskan adalah setara dengan 420,02 juta dolar U.S.26 Ini menggambarkan betapa besar pemasukan negara pada masa Utsman tersebut.

Kompleksitas persoalan fiskal yang semakin besar dengan semakin mapannya daulah Muslim menjadi alasan mengapa tidak semua sumber pendapatan dan pengeluaran negara ditetapkan berdasarkan nash-nash syar‟i, melainkan harus diputuskan dengan ijtihad, dengan mempertimbangkan kontekstualitas.27 Orang pertama yang dinilai berani melakukan kontekstualisasi ini adalah Khalifah Umar bin Khaththab. Berdasarkan ijtihadnya, misalnya, ia adalah yang pertama menetapkan obyek-obyek zakat baru yang sebelumnya tidak dikenakan;28 memutuskan untuk tidak menyerahkan tanah taklukan kepada para tentara, namun tetap dimiliki pemilik awal dengan kewajiban membayar pajak dan jizyah; 29 ia juga menetapkan pungutan ‘usyur kepada penduduk Manbij (Hierapolis).30

Dalam sejarah Islam, sebagaimana dicontohkan Nabi sendiri, sesungguhnya tidak ada halangan untuk mengadopsi tradisi dan praktik pra-Islam atau yang telah ada selama tidak bertentangan dengan ketentuan dasar Islam. Praktik yang ada bisa diadopsi dengan modifikasi tertentu agar sejalan dengan maqashid al-syari’ah. Berdasarkan pertimbangan itu, bisa dipahami bila Khalifah Umar menerima sistem perpajakan tanah masa Sasaniyah setelah merevisi ketetapan tingkat pajak, pengumpulan dan administrasinya. Karena itu, Umar menyerahkan tanah kepada para penyewa dan menjadikannya sebagai pemilikan umum umat Islam dan menetapkan pajak, yang kemudian disebut kharaj,31 atas tanah tersebut.

Lebih jauh, tidak hanya mengadopsi dan mengadaptasi sistem pajak peradaban lain, Khalifah Umar bahkan juga merasa perlu merekontekstualisasikan beberapa kebijakan keuangan publik yang telah diberlakukan masa Nabi Muhammad SAW. Contoh jelas dari upaya ijtihad tersebut adalah kebijakan pembagian tanah ghanimah. Pada masa Rasul tanah yang diperoleh dari penaklukan dengan perang akan dibagikan seperlima kepada negara dan kebutuhan sosial (bagian ini dikenal dengan sebutan khums), serta sisanya dibagikan untuk mereka yang ikut berperang.32 Ketika banyak daerah yang ditaklukkan, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak membagi-bagikan tanah tersebut sebagaimana ditentukan dalam Q.S Al-Anfal (8): 41. Tanah-tanah tersebut dibiarkan tetap dimiliki oleh para pemilik semula dengan kompensasi membayar kharaj dan jizyah. Dengan demikian, tanah-tanah tersebut diperlakukan sebagaimana tanah fay’. 33

Perkembangan Usyr
Suku-suku Arab pra-Islam telah biasa menarik pungutan atau retribusi dari kafilah-kafilah dagang sebagai imbalan atas perlindungan yang mereka berikan di saat melintas di wilayah mereka, atau sebagai kompensasi karena melewatinya. Upeti (ju’alah) ini merupakan pungutan yang mengandung paksaan dan tekanan dengan jumlah tertentu (biasanya 10%). 34
Retribusi atau pungutan ini menjadi salah satu unsur pengeluaran yang harus dipersiapkan oleh eksportir untuk keberlangsungan hidup mereka, bahkan untuk mempertahankan hidup. Jika ada kafilah dagang yang tidak mau membayar pungutan tersebut maka ia akan dicegat, dirampas, dan bahkan dibunuh meskipun kafilah itu adalah utusan raja.35

Sebagaimana dikisahkan bahwa Kisra Anusyahwan (Penguasa Persia) mengirim rombongan kafilah yang mengangkut kayu sebagai bahan baku persenjataan panah untuk salah satu administraturnya di Yaman. Di Bani Tamim kafilah ini dipungut sejumlah upeti (ju’alah) oleh pihak lain (karena adanya kolusi) sehingga dapat meneruskan perjalanan dengan aman sampai ke Yaman. Mendengar adanya kolusi ini Bani Tamim mengejar kafilah tersebut dan kemudian merampas serta membunuh sebagian dari mereka.36 Kisah tersebut menginformasikan kepada kita bahwa bentuk pungutan upeti atau retribusi yang sifatnya memaksa terhadap para pedagang saat melintas di wilayah suku tertentu merupakan tradisi yang telah berlangsung lama, sebelum peradaban Islam muncul.

Setelah Islam hadir, Nabi mengambil kebijakan untuk menghapuskan pajak ju’alah antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan termasuk dalam wilayah perjanjian yang disepakati dengan suku-suku yang tunduk di bawah kekuasaannya. Kebijakan ini, menurut Adiwarman dimaksudkan Nabi sebagai upaya untuk menggairahkan perdagangan.37 Namun, sebagian ulama menilai bahwa pelarangan itu terkait dengan adanya unsur kezaliman (pemaksaan dan vandalisme) dalam ju’alah atau al-maks. 38

Penulis lebih cenderung menganggap kecaman Nabi itu sebagai respon Nabi untuk mencegah bentuk-bentuk kezaliman (kekerasan, pemerasan dan gangguan keamanan) dalam praktek-praktek pemungutan upeti sebelumnya. Banyak hadits yang mengisahkan keengganan sejumlah orang untuk diangkat sebagai asyir karena merasa bertentangan dengan hati nuraninya. Di antaranya adalah riwayat dari ibn Sirin, katanya “Mereka ingin mempekerjakanku untuk menarik upeti sepersepuluh atas Ablah, sebuah negeri di pesisir Dijlah, tetapi aku menolak. Seorang lalu datang kepadaku dan berkata: “Mengapa anda tidak mau mengerjakan sesuatu yang dikerjakan oleh Umar...?” 39

Setelah beberapa waktu retribusi ini dibekukan dalam Islam, kemudian muncul pemikiran Khalifah Umar ibn Khaththab untuk menerapkannya kembali sebagai salah satu sumber pemasukan keuangan publik,40 namun dengan istilah yang berbeda, yakni usyr. Latar belakang penetapan kembali pajak retribusi yang secara literal berarti “sepersepuluh” ini adalah adanya permohonan dari kaum harby Manbij untuk melakukan perdagangan di negara Islam dengan membayar sepersepuluh dari nilai barang.41 Setelah berkonsultasi dengan para sahabat, Umar mengabulkan permintaan mereka.

Latar belakang lain (yang lebih populer) atas dimunculkannya kembali ju’alah adalah kasus khusus yang diangkat oleh Abu Musa alAsy‟ary yang melaporkan kepada Umar bahwa pedagang-pedagang Muslim dikenakan pajak sepersepuluh di wilayah asing (ardl al-harby). Khalifah menanggapi laporan itu dengan menetapkan pajak usyur kepada mereka dengan tingkat prosentase yang berbeda, “Ambillah olehmu dari mereka (ahl al-harb) sebesar pungutan yang mereka ambil dari pedagang Muslim (10%). Ambil dari ahl al-dzimmah separuhnya (5%), sementara untuk orang-orang Islam ambillah satu dirham dari setiap kelipatan 40 (2,5%).”42

Secara umum, semua jenis komoditas perdagangan yang masuk ke negara Islam merupakan objek usyur. Ketentuan-ketentuan dasar mengenai usyur yang digariskan oleh Abu Yusuf dalam kitabnya adalah sebagai berikut.43
1. Barang-barang wajib pajak adalah yang dimaksudkan sebagai komoditas perdagangan.
2. Bila pedagang adalah seorang Muslim, maka besarnya pajak adalah 2,5 persen (pajak dihitung berdasarkan jumlah total komoditas).
3. Bila pedagang adalah seorang dzimmy, besarnya pajak adalah 5 persen.
4. Bila pedagang adalah orang asing, besarnya pajak adalah 10 persen.
5. Pajak boleh dibayarkan dalam bentuk uang cash maupun barang.
6. Batas minimal barang wajib pajak adalah sama dengan ketentuan nishab dalam zakat, yaitu senilai dengan 200 dirham.
7. Bila pedagang tinggal selama lebih dari satu tahun, maka komoditasnya akan dikenakan pajak lagi.
8. Pedagang Muslim dan dzimmy hanya dikenakan sekali pajak untuk komoditas yang sama.
9. Bila pedangang asing telah pulang ke negaranya dan kemudian kembali lagi, maka dikenakan pajak lagi.
10.Bukti pembayaran pajak harus menyebutkan jumlah pajak yang dibayarkan, nilai barang kena pajak, dan tanggal.
11.Pajak dikenakan untuk perdagangan antar propinsi di negara Islam.
12.Besar kecilnya beban pajak mempertimbangkan kebijakan yang berlaku di negara-negara lain.
13.Barang-barang yang dinilai hanya sedikit dibebaskan dari pajak
14.Barang-barang kebutuhan pokok dibebaskan dari pajak atau dibebani pajak dengan pertimbangan lain.
Dari ketentuan-ketentuan umum di atas, terlihat bahwa salah satu faktor penentu tingkat pajak adalah status para pedagang, yakni status kewarganegaraannya dan agamanya. Pembedaan tersebut adalah sesuatu yang wajar untuk realitas sosio-politik saat itu, bahkan sangat fair. Kenyataannya para pedagang dzimmy memang lebih banyak membutuhkan perlindungan dari para perampok dibandingkan dengan kaum Muslim. Di samping itu juga harus dipertimbangkan bahwa pedagang Muslim harus membayar zakat untuk komoditas mereka, sedangkan dzimmy hanya berkewajiban membayar usyr ketika mengadakan aktifitas perdagangan lintas batas saja.

Terlepas dari zakat, yang mungkin dapat dinilai sebagai kewajiban religius, pajak yang lebih besar yang diberlakukan untuk pedagang asing dibandingkan pajak untuk warga negara sendiri mengindikasikan adanya bisnis “nasional.” Dalam sistem kebijakan publik modern, sistem usyr sangat mirip dengan kebijakan subsidi. Lebih jauh, penggunaan pajak insentif, dalam arti memberikan peluang yang lebih besar kepada kalangan pedagang nasional untuk tumbuh lebih cepat serta melindungi mereka dari kompetitor asing, merupakan implikasi nyata dari sistem usyr periode klasik.

Al-usyr, dalam pengertiannya sebagaimana dipraktekkan pada masa awal, bisa jadi akan kehilangan relevansinya dengan kontek kebijakan ekonomi saat ini, terutama bila dilihat dari sisi persaudaraan universal Islam (ukhuwah Islamiyah). Abdul Mannan menilai usyr sebagai kendala bagi perdagangan internasional dan bertentangan dengan norma Islam yang tidak mengenal diskriminasi dalam perdagangan.44 Namun menurutnya dari sisi lain, yakni melihat kondisi negara-negara Islam yang miskin dan sedang berkembang, praktek modern bea cukai dapat diterima sejauh untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Dalam kenyataannya, “versi modern” dari usyr ini masih banyak diterapkan oleh berbagai negara untuk melindungi produksi dalam negeri.

Perkembangan Jizyah
Berbagai istilah yang digunakan al-Qur‟an untuk menyebut sumbersumber keuangan publik Islam antara lain adalah fay‟, ghanimah, anfal, khums dan jizyah. Penyebutan istilah-istilah tersebut pada umumnya terkait dengan perang (jihad, qital, ghazwah) dan penaklukan (futuh). Dengan demikian bisa dipahami bila beberapa istilah tersebut hanya muncul sekali dalam al-Qur‟an; seperti anfal dalam Q.S. al-Anfal (8): 1, khums dalam Q.S. al-Anfal (8): 41, dan jizyah dalam Q.S. al-Taubah (9): 29.

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (qs Al-Taubah _29).
Satu-satunya ayat yang menyebut jizyah ini turun ketika terjadi Perang Tabuk, yakni pertempuran terakhir yang diikuti Rasulullah.45 Latar belakang perang tersebut adalah pertikaian antara Dar al-Islam dengan Dar al-Harb. Memanfaatkan situasi ini, maka setelah wahyu turun Nabi menghimbau para pemimpin dan raja non-Muslim untuk memeluk Islam atau membayar jizyah. Pilihan bagi yang tidak mau menerima tawaran itu adalah perang.46

Istilah shahirun dalam ayat jizyah tersebut pada umumnya diartikan dengan “ketundukan.” Pengartian ini menurut Abdul Mannan didasarkan kepada dua alasan, pertama, karena semua Muslim baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak dibebaskan dari jizyah. Kedua, penggunaan kekuatan (pemaksaan) untuk mengkonversi keberagamaan seseorang tidak diperbolehkan dalam al-Qur‟an.47

Berdasarkan kondisi sosio-ekonomik saat itu, pengenaan pajak jizyah kepada kaum non-Muslim merupakan bentuk kompensasi atas perlindungan dan rasa aman yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka. Selain itu, jizyah juga dapat dipahami sebagai bentuk penghargaan yang diberikan kepada mereka atas ketundukannya (sahirun) kepada hukum Islam. Dengan demikian, seorang warga negara hanya dapat dikategorikan sebagai dzimmy bila ia telah menundukkan diri kepada aturan-aturan pemerintah Islam. Secara ekonomik, kategori ini lebih menguntungkan bagi mereka dibandingkan dengan kondisi mereka bila tidak mau menundukkan diri pada hukum yang berlaku.

Al-Qur‟an tidak menetapkan jumlah yang baku mengenai penarikan jizyah. Sementara itu, al-Sunnah menyebutkan berbagai besaran yang bervariasi. Pada prinsipnya, besarnya pungutan didasarkan pada “kemampuan untuk membayar”, atau tidak memberatkan bagi wajib pajak (ahl al-dzimmah).48 Salah satu wujud penerapan prinsip tersebut adalah bahwa anak-anak dan wanita tidak diwajibkan membayar jizyah.

Tingkat pajak dalam sistem perpajakan masa awal Islam menekankan pada kriteria kesamaan dan prinsip “kemampuan untuk membayar.” Abu Yusuf berpendapat bahwa penguasa memiliki kewenangan untuk mengurangi atau menambah tingkat pajak sesuai dengan produktifitas tanah dan kemampuan wajib pajak.49 Demikian halnya, tingkat beban jizyah tidak ditetapkan di awal, sebab penetapannya mempertimbangkan perubahan sesuai dengan kemampuan para pembayar pajak. Karena itu, perbedaan tingkat jizyah (12, 24, 48 dirham per tahun) dibebankan sesuai dengan kemampuan membayar ahl al-dzimmah. 50

Pembayaran tingkat pajak yang berbeda-beda (disesuaikan dengan kemampuan) dalam kebijakan keuangan publik Islam masa awal tersebut dalam teori perpajakan modern kemudian disebut dengan “kapasitas fiskal.” Kapasitas fiskal dalam pengertian modern mencakup dua pengertian, yakni keadilan horizontal dan vertikal. Berdasarkan keadilan horizontal, maka setiap warga negara harus membayar pajak sesuai dengan pendapatannya. Sedangkan berdasarkan keadilan vertikal, setiap warga negara yang berpendapatan lebih tinggi harus membayar pajak yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan warga berpenghasilan lebih rendah.51
Abu Yusuf menyebut prinsip pemungutan pajak yang didasarkan kepada nilai yang tidak tetap dengan istilah muqasamah. 52 Menurutnya, tingkat pajak semestinya tidak ditetapkan di awal dengan nilai yang pasti,53 namun harus mempertimbangkan tingkat kemampuan dan prosentase penghasilan (pajak proporsional). Sistem ini menuntut adanya pembedaan tingkat pajak menurut pendapatan mereka.

Sebagai contoh kasus penerapan sistem tersebut, Abu Yusuf mengemukakan sistem pajak yang berlaku di Sawad pada masa Khalifah Umar. Sebelum menetapkan prosentase pajak, Khalifah telah membentuk sebab dewan yang ditugaskan untuk mengukur luas tanah Sawad serta meneliti kapasitas finansialnya. Dari survei yang dilakukan, luas tanah tersebut adalah 36000000 acre.54 Berdasarkan masukan dewan, Khalifah menetapkan besarnya pajak adalah satu dirham untuk setiap jarib (ukuran tanah) dan satu qafiz gandum atau barley (sejenis gandum) untuk daerah (tanah) yang dilalui sungai. Jumlah ini merupakan sepertiga dari jumlah pajak yang telah ditentukan oleh pemegang otoritas kekuasaan sebelumnya.55

Dengan menganalisis sistem pajak yang diterapkan di Sawad, Abu Yusuf berpendapat bahwa sistem yang seharusnya diberlakukan adalah sistem muqasamah. 56 Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang digunakan dalam penetapan pajak di Sawad adalah:57
1) Tingkat produktifitas tanah
2) Elastisitas income demand terhadap tanah pertanian
3) Biaya irigasi
4) Situasi tanah terkait dengan pasar

Prinsip-Prinsip Kebijakan Pajak; Relevansi
Diskusi tentang relevansi pajak (kharaj, usyr dan jizyah dan sebagainya) dalam Islam dengan pajak dalam ekonomi modern tentu hanya bisa dilakukan dalam bingkai prinsip-prinsip perpajakan secara umum. Pembatasan ini harus dilakukan mengingat adanya rentang waktu yang sangat panjang. Bahkan bila tidak dilakukan pembatasan ini, maka diskusi tentang keuangan publik Islam justru akan kehilangan relevansinya. Sebagai deskripsi, pada masa awal pendapatan pemerintah dari sektor ghanimah, fay dan jizyah adalah menjadi dana yang sangat urgen. Demikian juga, pengeluaran pemerintah untuk keperluan perluasan wilayah dan menjaga perbatasan sangat besar. Bila pembahasan kita saat ini masih berkisar pada persoalan-persoalan tersebut, dengan pendekatan legal reasoning atau judicial oriented, dan bukannya dengan pendekatan historis, maka sudah tentu diskusi tersebut hanya berhenti pada tataran teoritis.

Namun bila kita menggunakan kerangka pendekatan epistemologis, sesungguhnya konsep dan praktek perpajakan di zaman modern tidak berbeda dengan apa yang disinggung dalam kitab-kitab tentang keuangan publik periode awal Islam. Abu Yusuf dan Qudamah ibn Ja‟far misalnya, lebih dari seribu tahun yang lalu telah menjelaskan teori dan praktek jizyah dan usyr dalam suatu pemerintahan Islam, dengan konsep yang sangat mirip dengan teori modern “kapasitas fiskal” yang mencakup “keadilan horizontal dan vertikal.” Literatur konvensional tentang keuangan publik banyak memberikan perhatian pada kriteria keadilan dalam kebijakan pajak. Kriteria ini menyatakan bahwa masing-masing pembayar pajak harus memberikan bagian yang adil dari kepemilikannya untuk pembiayaan pemerintah. “Bagian yang adil” tersebut, dalam ekonomi konvensional, pada umumnya diukur dengan dua cara. Pertama, pengukuran yang mengacu kepada prinsip manfaat dan kedua, mengacu kepada prinsip kemampuan membayar.58 Sedangkan prinsip manfaat menyatakan bahwa setiap pembayar pajak memberikan kontribusi senilai dengan manfaat yang akan diterimanya dari layanan publik.59

Lebih jauh, prinsip kemampuan membayar dalam ekonomi konvensional menyatakan bahwa masyarakat harus memberikan sumbangan terhadap pengeluaran pemerintah sesuai dengan kemampuan mereka untuk membayar.60 Berdasarkan prinsip ini, maka warga negara wajib pajak yang memiliki kemampuan yang sama dalam membayar pajak harus membayar dengan jumlah yang sama pula. Demikian juga, warga yang memiliki kemampuan lebih harus membayar lebih.

Struktur sistem pajak dalam ekonomi Islam masa awal, sebagaimana digagas oleh para tokoh dalam tulisan ini, menfokuskan pada kriteria kesamaan dan penekanan utama mereka adalah pada prinsip kemampuan untuk membayar. Untuk menegaskan kembali, Abu Yusuf misalnya, menyatakan bahwa penguasa memiliki wewenang untuk mengurangi atau meningkatkan pajak sesuai dengan kemampuan (produktifitas) tanah dan kemampuan pembayar pajak.61 Demikian juga, tingkat beban jizyah (dan pajak lainnya) tidak ditetapkan di awal. Tingkatan tersebut mempertimbangkan situasi dan kondisi pembayar pajak.

Beberapa abad setelah Abu Yusuf, Adam Smith juga menetapkan bahwa perlindungan pemerintah untuk masyarakat dalam menutupi beban umum harus sesuai dengan kemampuan dan ketentuan. Ukuran tersebut didasarkan pada tingkat pemasukan, dan inilah yang dimaksud bahwa kewajiban membayar pajak harus disesuaikan dengan kemampuan finansial.62

Selain penekanan pada “kemampuan membayar,” Abu Yusuf juga menyarankan penerapan prinsip kemanfaatan umum dalam pembiayaan layanan publik. Lagi-lagi, gagasan ini mengingatkan kepada teori pengacuan pada “kemanfaatan” dalam ekonomi konvensional sebagaimana telah disinggung di atas. Seperti telah kita lihat sebelumnya, kewajiban seorang dzimmy membayar usyr adalah dikatikan dengan manfaat yang akan mereka peroleh, yaitu demi keamanan atau “ijin gangguan.” Asas yang sama, menurut Abu Yusuf, juga diterapkan untuk proyek-proyek pembangunan. Para petani misalnya, yang telah mengambil manfaat langsung dari proyek irigasi, maka harus berpartispasi secara proporsional dalam pembiayaan proyek tersebut.63
Penutup
Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan pemikiran tentang keuangan publik telah dimulai sejak awal kehadiran Islam itu sendiri. Persinggungan Islam dengan peradaban-peradaban lain menjadi penting ditelusuri untuk memahami hukum Islam dengan baik. Khalifah Umar ibn Khaththab telah memulai upaya-upaya kontekstualisasi hukum Islam sesuai dengan kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Seringkali upayanya itu harus berhadapan dengan pola-pola pemahaman tekstualis para sahabat. Puncak pemberlakuan sistem pajak yang mengacu kepada sistem keuangan publik masa Islam klasik adalah pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal itu setidaknya terbukti dari sejarah perkembangan pemikiran para ekonom di masa tersebut, di antaranya adalah Abu Yusuf dan Abu Ubayd.

Terkait dengan sistem perpajakan usyr dan jizyah, dengan mengikuti ijtihad Khalifah Umar, pemerintah Muslim modern sudah semestinya membuat rekonstruksi dan standarisasi aturan pembayaran pajak (fiskal) untuk mewujudkan keadilan serta menghindari perasaan diskriminasi di antara masyarakat. Dalam kontek pemikiran ekonomi kontemporer, faktor terpenting yang perlu dipertimbangkan dari ijtihad Umar ibn Khaththab adalah pendekatan yang digunakannya untuk selalu mereaktualisasikan ketentuan-ketentuan Islam dengan mempertimbangkan perubahan kondisi sosio-historis. Wallahu a’lam bi al-shawab

Notes:
1 „Abd al-Wahhab Khalaf, al-Siyasah al-Syar’iyyah (al-Munirah: Matba‟ah al-Taqaddum, 1977), hal. 114.
2 Sabahuddin Azmi, Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought (New Delhi: Goodword Books, 2004), Bab IV
3 ...والخَزْجُ والخَزَاجُ واحذٌ وهى شيء يُخْزِجُه القىمُ في السَّ ةٌَِ هِي هالهن بقَذَرٍ هعلىم Dalam ibn Manzur, Lisan al-Araby (Kairo: Dar al-Mishriyyah, t.t.), III: 66.
4 Sabahuddin Azmi, Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought hlm. 30
5 Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak (Yogyakarta: PSZ STIS, 2004), hlm. 4.
6 Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1979), hlm.3
7 M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf (Yogyakarta: PSEI STIS, 2003), hlm. 34
8 Kitab ini telah terkompilasi dalam program Maktabah Syamilah. Setidaknya terdapat 640 hadits perihal keuangan publik (sumber-sumber pendapatan dan pengeluaran negara) dalam kitab tersebut.
9 Ahamed Kameel Mydin Meera dan Syed Nazmul Ahsan, “Al-Kharaj and Related Issues: A Comparative Study of Early Islamic Scholarly Thoughts and Their Reception by Western Economists,” dalam Abulhasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (ed.), Readings in Islamic Economic Thought (Kuala Lumpur: Longman Malaysia, 1992), hlm. 205.
10 Sebagian dari buku tersebut telah diterjemahkan oleh A. Ben Shemesh, Taxation in Islam (Leiden: E. J. Brill, 1965).
11Qudamah adalah sekretaris Khalifah Abbasiyyah, Al-Muktafi dan Al-Muktadir. Lihat Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, hlm. 32
12 Ahamed Kameel dan Nazmul Ahsan, “Al-Kharaj and Related Issues,” hlm. 206.
13 Ibid
14 Ibn Manzur, Lisan al-Araby, XIV: 158
15 Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, hlm. 32.
16 Menurut Sabahuddin Azmi, setidaknya ada enam kitab yang ditulis dengan judul Al-amwal. Lihat bukunya, Islamic Economics, hlm. 32.
17 Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Noor Muhammad Ghiffari, Book of Finance (Islamabad: Institute of Islamic Studies).
18 Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam, hal. 41
19 Kitab karya ibn Zanjawaih ini telah terkompilasi dalam program Maktabah Syamilah
20 Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, hlm. 33. Buku karya Zanjawaih tersimpan dalam bentuk manuskrip di perpustakaan Istanbul. Belakangan telah diterbitkan setelah diedit oleh Dr. Syakir Daib dalam 3 jili
21 Ibid.
22 Kitab karya al-Mawardi telah terkompilasi dalam program Maktabah Syamilah,
23 Banyak kisah keteladanan yang menggambarkan kejujuran dan keamanahan Khulafa al-Rasyidun. Di antaranya adalah kisah-kisah tentang bagaimana mereka berpakaian, fasilitas yang diperoleh sebagai khalifah, bagaimana mereka menjalankan tugas, memilah harta pribadi dengan kekayaan negara, dan sebagainya
24 Sebagaimana dikutip Adiwarman Karim Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajagrafinso Persada), hlm. 59.
25 Ahmad Oran dan Salim Rashid, “Fiscal Policy in Early Islam,” dalam Sayed Afzal Peerzade, Readings in Islamic Fiscal Policy (Delhi: Adam Publisher, 1996), hlm. 108
26 Ibid.
27 „Abd Wahhab Khalaf, Al-Siyasah al-Syar’iyyah, hlm. 102-103
28 Misalnya zakat untuk kuda, war (rumput herbal untuk bahan kosmetika), karet, hasil laut dan sebagainya. Lihat Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam, bab 6. Abu Ubayd, tokoh utama yang dikaji dalam penelitian Ugi, dipandang sebagai ulama yang banyak mendukung dan mengikuti gagasan-gagasan Khalifah Umar.
29 Abu Yusuf menceritakan kisah Khalifah Umar ini; bagaimana ia bermusyawarah tentang pembagiannya, bagaimana tanggapan para tokoh, dan sebagainya di berbagai
tempat dalam Kitab al-Kharaj, hlm. 23-27, 35, 68-69, dan 140-141. Lihat juga Abu Ubayd, Kitab al-Amwal (Beirut: Dar al-Kutub, 1986), hlm. 65
30 Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hlm. 26-27.
31 Abu Ubayd, Kitab al-Amwal, hlm. 65.
32 Ketentuan pembagian ini didasarkan pada Q.S. Al-Anfal (8): 41
33 Menurut definisi Yahya ibn Adam, ghanimah adalah segala sesuatu yang diperoleh dari musuh dengan cara perang, sedangkan yang diperoleh dengan cara damai disebut dengan fay’ (yaitu berupa kharaj dan jizyah). Lihat kitabnya, Al-Kharaj, hlm. 121.
34 Pungutan ini juga disebut dengan al-maks. Beberapa hadits Nabi mengisahkan kecaman Nabi terhadap praktek pemungutan upeti ini. Misalnya hadits riwayat Imam Muslim (III/1323), dan Abu Dawud (III/132).
35 Khalil Abdul Karim, Sejarah Perkelahian Makna, terj. Kamran As‟ad (Yogyakarta: LkiS, 2003), hal 66.
36 Sebagaimana dikutip oleh Khalil Abdul Karim, Ibid., hlm. 67.
37 Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 70
38 Munawar Iqbal, Financing Public Expenditure: An Islamic Perspective (Jeddah: IRTI, 2004), hal. 53
39 Dalam Abu Yusuf, Al-Kharaj, hlm. 148.
40 Abu Yusuf, Kharaj, hlm. 134
41 Ibid. Penggalan surat permohonan itu berbunyi: دع اٌ ذًخل أرضك تجارا وتعشز اً
42 Ibid., hlm. 135. Teks Khalifah Umar tertulis:
خذ أ تً ه هٌن كوا يأخذوى هي تجار الوسلويي, وخذ هي أهل الذهة صًف العشز, وهي الوسلويي هي كل اربعيي
درهوا)اي ربع العشز(
43Ahmad Oran dan Salim Rashid, “Fiscal Policy in Early Islam,” hlm. 126.
44M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), hlm. 250.
45 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Istanbul: Dar Qahraman wa al-Tawzi‟, 1984), 4:75
46 Menurut Abu Ubayd Nabi mengirim beberapa surat kepada para raja/pemimpin Zoroaster, Oman, Yaman, Bizamtium, Persia dan Absinia.
47 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, hlm. 250.
48 Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam, 115
49 Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hlm. 85.
50 Abu Ubayd, Kitab al-Amwal, hlm. 45
51 J. Richard Aronson, Public Finance (Singapura: McGraw-Hill, 1985), hlm. 308
52 Abu Yusuf membahas persoalan itu secara khusus dalam sub-bab yang berjudul “Apa yang Seharusnya Dilakukan di Sawad.”
53 Sistem perpajakan yang telah ditetapkan nilainya disebut dengan wazifah
54 Abu Yusuf, Kharaj, hal. 36
55 M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 84 dan Adi Warman Karim, Sejarah Pemikiran, 68
56 Ibid., hlm 48.
57 M. Sarra Nezhad, “Tribute (Kharaj) as a Tax on Land is Islam,” dalam International Journal of Islamic Financial Services, Vol. 5, No. 1.
58 R.A. Musgrave dan P.B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice (Singapura: McGraw Hill, 1987), hlm. 228-229.

59 Ibid., hlm. 229.

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Riba al-Fadl

Riba al-Fadl While  riba an-nasiya =interest is a major issue among Islamist/revivalist preachers, writers and economists, and forms the basis of Islamic Banking, another type of riba—what jurists call  riba al-fadl  ("surplus riba") -- is also forbidden by orthodox jurists.  Riba al-fadl  does not involve paying back over time but instead the trading of different quantities of the same commodity (gold, silver, wheat, barley, date, or salt), typically because the quality of the smaller quantity is superior. Because  riba al-fadl  involves barter, and barter is much less common than it was in early Meccan society,  riba al-fadl  is of much less interest nowadays than  riba an-nasiya . [440]  It is also considered (at least by some sources) a form of riba prohibited by the  Sunnah  rather than the Quran.  [Note 54]  Taqi Usmani states that  Riba al-fadl  was developed by Muhammad and so was not part ...