Banda Aceh – Salah satu program Baitul Mal
Aceh adalah pendistribusian zakat dalam bentuk modal yang sering disebut dengan
pemberdayaan zakat secara produktif untuk disalurkan pada aktivitas ekonomi
masyarakat. Penyaluran zakat produktif ini berbentuk bantuan modal (berupa uang
tunai atau barang) untuk berdagang, pengadaan hewan ternak dan bantuan
peralatan untuk mencari nafkah hidup. Pendistribusian zakat secara produktif
merupakan salah satu bentuk usaha pengurangan jumlah kemiskinan melalui program
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pendistribusian zakat produktif ini diberikan
kepada aktivitas yang dapat menghasilkan manfaat dalam jangka panjang dan
melepaskan ketergantungan ekonomi masyarakat miskin dari bantuan pihak lain.
Disamping itu Baitul Mal Aceh juga mempunyai sasaran untuk merubah penerima
zakat (mustahik) menjadi pemberi zakat (muzakki).
“Penerima zakat
produktif ini harus memenuhi tiga syarat, Pertama, sudah mempunyai suatu
usaha produktif yang layak. Kedua, bersedia menerima petugas pendamping
yang berfungsi sebagai pembimbing dan Ketiga, bersedia menyampaikan
laporan usaha secara berkala setiap enam bulan”, kata M Yasir Yusuf, Dosen
Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry Banda Aceh dalam makalahnya pada Konferensi
Internasional tentang Zakat.
DijelaskanYasir, Baitul Mal menetapkan
beberapa kriteria bagi individu (mustahik) yang akan menerima pembiayaan
mikro melalui penyaluran zakat produktif. Pertama, memiliki iman dan
taqwa. Kedua, jujur dan amanah. Ketiga, dari keluarga yang kurang
mampu yaitu pendapatan lebih kecil dari keperluan harian, pendapatan di bawah
Rp.1.000.000 dengan mempunyai tanggungan sekurang-kurangnya 2 orang, rumah yang
ditempati sementara dan tidak layak ditempati. Keempat, memiliki tempat
usaha/berdagang tetap dengan asset yang sedikit. Kelima, tidak bekerja
sebagai Pengawai Negeri Sipil (PNS) atau pengawai Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) atau Pengawai Swasta. Semua kriteria ini akan dipilih oleh Unit
Pengelolaan Zakat Produktif (UPZP) sebelum diberikan pembiayaan mikro melalui
modal zakat produktif. Tingkat keberhasilan pembiayaan mikro yang dijalankan
Baitul Mal Aceh dalam sektor perdagangan mencapai 79 %, ini menunjukkan bahawa
program ini berjalan dengan baik dan mampu meningkatkan taraf pendapatan
masyarakat miskin ketahap yang lebih baik.
Lebih lanjut Yasir
mencontohkan pada tahun 2003-2007, Baitul Mal meluncurkan pembiayaan sektor
perternakan, Baitul Mal mengambil langkah strategis dengan menggunakan
pendekatan budaya dalam menyalurkan zakat produktif. Baitul Mal Aceh
menyalurkan pembiayaan mikro dalam bentuk program ternak lembu untuk masyarakat
miskin yang telah menjadi peternak lembu sejak dulu. Di Aceh, pekerjaan
berternak lembu digeluti secara turun temurun. Salah satu kaedah perternakan di
Aceh dilakukan dengan cara peumawah, yaitu seorang pemodal
membeli lembu jantan lalu diserahkan kepada peternak lembu untuk digemukkan
dalam kandang secara terus menerus sampai berat badan maksimum atau layak panen
sebagai lembu pedaging, lalu lembu tersebut dijual. Keuntungan harga jual
setelah dipotong modal dan biaya rawatan dibagi sesuai dengan persetujuan
diawal kontrak.
“Apa yang
dilakukan oleh Baitul Mal dalam hal pemberdayaan masyarakat miskin melalui dana
zakat telah menunjukkan keberhasilan yang cukup signifikan, hal ini didasari
oleh keberanian Baitul Mal Aceh untuk mendistribusikan dana zakat dalam bentuk
pembiayaan mikro secara bergulir”lanjutnya. Akan tetapi Yasir menjelaskan
menurut Undang-undang dan pendapat para ulama zakat produktif baru
boleh dilaksanakan apabila memenuhi dua syarat. Pertama, apabila sudah
memenuhi semua keperluan mustahik zakat dan masih adanya kelebihan harta zakat.
Kedua, pemberian zakat produktif berpeluang memberikan keuntungan. Namun
tanpa memenuhi kedua syarat di atas, Baitul Mal Aceh telah melakukan
pendistribusian zakat secara produktif untuk permodalan bagi usaha mikro.
Menurutnya ada dua
alasan mengapa Baitul Mal Aceh tetap mendistribusikan zakat secara produktif
pada pembiayaan mikro. Dua alasan ini boleh dilihat dari pendekatan maqasid
syari’ah.
Pertama, memenuhi syarat-syarat untuk boleh
menyalurkan zakat dalam bentuk produktif menggunakan akad al qard al-hasan dan mudharabah sebenarnya
sulit dipenuhi oleh institusi zakat manapun baik di Indonesia maupun di luar
Indonesia. Hal ini disebabkan jumlah penduduk miskin cenderung semakin
bertambah seiring dengan perubahan struktur ekonomi masyarakat lokal dan
global, sedangkan penerimaan harta zakat bertambah secara perlahan. Jika harus
menunggu zakat surplus, semua mustahik mendapatkan bahagian haknya dan
sampai tidak ada lagi mustahik yang patut menerima zakat, maka pola
pendistribusian zakat produktif tidak akan terwujud sama sekali. Padahal
pendistribusian zakat dalam bentuk produktif pada usaha mikro adalah bagian
dari penghapusan angka kemiskinan yang menjadi tumpuan maslahah dan maqasid syari’ah dari
penyaluran zakat.
Kedua, pendistribusian zakat dalam bentuk
modal kerja melalui pembiayaan mikro tidak bertentangan dengan konsep maslahah
ammah yang ingin dicapai. Zakat yang diberikan melalui pembiayaan
mikro kepada satu mustahik zakat dalam jumlah tertentu
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi mustahik berusaha secara lebih
maksimum dengan adanya kecukupan modal bagi usaha. Hal ini dimaksudkan guna
membebaskan dirinya dari kemiskinan dan pada akhirnya diharapkan mustahik zakat
melalui usaha mikro akan menjadi muzakki zakat dikemudian
hari. Hal ini pula tidak akan merosak maslahah individu dari
mustahik zakat lainnya. Sebab modal zakat produktif yang telah diberikan
tersebut akan dikembalikan semula oleh mustahik kepada
institusi zakat untuk disalurkan kembali kepada mustahik zakat
lainnya.
“Dari sisi
pencapaian manfaat apabila pemberian zakat produktif dilakukan secara
berkelanjutan, maslahah yang bersifat al daruriyah bagi mustahik akan
terselesaikan secara perlahan tetapi pasti. Setiap mustahik yang
telah menerima zakat produktif akan berusaha secara mandiri sehingga tidak lagi
bergantung pada zakat. Ketika mustahik mandiri dalam berusaha,
maka ia terbebaskan daripada kemiskinan. Ini lebih bermanfaat
berbanding membagikan zakat dalam bentuk konsumtif kepada mustahik zakat
yang berakibat adanya ketergantungan mereka pada pendistribusian zakat berikutnya.
Sehingga mustahik zakat tidak akan pernah keluar dari jurang
kemiskinan”
Namun demikian
menurut Yasir institusi zakat bisa saja mendistribusikan zakat semuanya dalam
bentuk konsumtif kepada mustahik guna memenuhi perintah agama
dan undang-undang, akan tetapi kerja tersebut belumlah dikatakan
bermanfaat dalam jangka panjang yang menjadi ruh dari pendistribusian zakat.
Padahal kalau dilihat dari maqasid syari’ah kewajiban zakat
pada asasnya adalah untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin. [Abi
Qanita/Majalah Suara Darusssalam)
(Sumber: http://baitulmal.acehprov.go.id/?p=2058)

Comments
Post a Comment