ASURANSI TA’AWUN DAN ASURANSI KONVENSIONAL
Kata “asuransi”, dalam bahasa Inggris disebut insurance,
dan dalam bahasa Perancis disebut assurance. Adapun dalam bahasa Arab, disebut at-Ta’min.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata asuransi dijelaskan
dengan pertanggungan. Yaitu perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu
berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan
sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak
pertama atau barang milikinya, sesuai dengan perjanjian yang dibuat.[1]
Penjelasan ini, sepadan juga dengan yang telah didefinisikan dalam
Perundang-Undangan Negara Indonesia, sebagai perjanjian antara dua pihak atau
lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul
dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[2]
Sedangkan sebagian ulama syariat dan ahli fikih memberikan
definisi beragam. di antaranya sebagai berikut.
1. Asuransi, ialah perjanjian jaminan dari pihak pemberi
jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah
secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan
(yaitu nasabah asuransi) pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang
dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran
yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan. [3]
2. Asuransi, ialah perjanjian yang mengikat diri penanggung sesuai
tuntutan perjanjian untuk membayar kepada pihak tertanggung atau nasabah yang
memberikan syarat tanggungan untuk kemaslahatannya sejumlah uang atau upah
rutin atau ganti harta lainnya pada waktu terjadinya musibah atau terwujudnya
resiko yang telah dijelaskan dalam perjanjian. Hal itu diberikan sebagai ganti
angsuran atau pembayaran yang diberikan tertanggung kepada penanggung
(perusahaan asuransi).[4]
3. Asuransi, ialah pengikatan diri pihak pertama kepada pihak
kedua dengan memberikan ganti berupa uang yang diserahkan kepada pihak kedua
atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kerugian yang telah
dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan dari yang diserahkan pihak kedua berupa
sejumlah uang tertentu dalam bentuk angsuran atau yang lainnya.[5]
Dari ragam definisi di atas, maka dalam asuransi dapat disimpulkan
adanya kata sepakat beberapa hal berikut ini:
1. Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu`ammin) dan
tertanggung (al-Mu`ammin lahu).
2. Obyek yang dituju oleh asuransi.
3. Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (perusahaan asuransi)
sejumlah uang, baik secara cash maupun dengan angsuran sesuai kesepakatan kedua
belah pihak, yang dinamakan premi.
4. Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya.
4. Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya.
Demikian asuransi yang umumnya berlaku, dan dikenal dengan
asuransi konvensional (at-Ta’min at-Tijaari) yang dilarang mayoritas
ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Larangan ini juga menjadi
ketetapan Majlis Hai`ah Kibar ‘Ulama (Majlis Ulama Besar, Saudi Arabia) no. 55,
tanggal 4/4/1397 H, dan ketetapan no. 9 Majlis Majma’ al-Fiqh dibawah
Munazhamah al-Mu’tamar al-Islami (OKI) [6]. Juga diharamkan dalam keputusan
al-Mu’tamar al-‘Alami al-Awal lil-Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396 H
[7]. Kemudian, para ulama memberikan solusi dalam masalah asuransi ini. Yaitu
dengan merumuskan satu jenis asuransi syariat yang didasarkan kepada akad tabarru’at
[8], yang dinamakan at-Ta’min at-Ta’awuni (asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien
at-Tabaaduli.
PENGERTIAN ASURANSI TA’AWUN ATAU AT-TA’MIEN AT-TA’AWUNI
Para ulama kontemporer mendefinisikan at-Ta’mien at-Ta’awuni
sebagai berikut.
1. Asuransi ta’awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang yang
memiliki resiko bahaya tertentu. Mereka mengumpulkan sejumlah uang secara
berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk mengganti kerugian yang
sepantasnya kepada orang yang tertimpa kerugian di antara mereka.
Apabila premi yang terkumpul tidak mencukupi untuk biaya
pertanggungan, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi
kekurangan tersebut. Sebaliknya, apabila terdapat kelebihan dari yang
dikeluarkan untuk pertanggungan, maka setiap anggota berhak meminta kembali
kelebihan tersebut. Setiap anggota asuransi ini sebagai penanggung dan
tertanggung sekaligus. Asuransi ini dikelola oleh sebagian anggotanya.
Gambaran secara jelas jenis asuransi ini, yaitu seperti halnya
bentuk usaha kerjasama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari keuntungan,
akan tetapi hanya untuk mengganti kerugian yang menimpa sebagian anggotanya di
antara mereka. Mereka membaginya sesuai tata cara yang telah dijelaskan dan
disepakati.[9]
2. Asuransi ta’awun, ialah kerjasama sejumlah orang yang
memiliki kesamaan resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian yang menimpa
salah seorang dari anggotanya dengan cara mengumpulkan sejumlah uang, untuk
kemudian menunaikan ganti rugi (pertanggungan) ketika terjadi resiko bahaya,
sebagaimana yang sudah ditetapkan.[10]
3. Asuransi ta’awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang
membuat shunduq (tempat mengumpulkan dana), yang mereka danai dengan
angsuran tertentu yang dibayarkan dari setiap anggotanya. Masing-masing anggota
mengambil dari shunduq tersebut bagian tertentu (sebagai gantinya,
pertanggungan) apabila tertimpa kerugian (bahaya, resiko) tertentu.
4. Asuransi ta’awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang yang
menanggung resiko bahaya serupa, dan masing-masing memiliki bagian tertentu
yang dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas bagi yang terkena
bahaya (resiko).
Apabila bagian yang terkumpul (secara syarikat) tersebut melebihi
yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi (pertanggungan), maka anggota
memiliki hak untuk meminta kembali. Dan apabila terjadi kekurangan, maka para
anggota diminta untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi kekurangannya atau
ganti rugi yang seharusnya dikurangi sesuai ketidakmampuan tersebut.
Anggota asuransi ta’awun ini tidak bertujuan untuk menggali keuntungan,
namun hanya berusaha mengurangi kerugian yang dihadapi sebagian anggotanya,
sehingga mereka melakukan akad transaksi untuk saling membantu menanggung
musibah yang menimpa sebagian anggotanya.[11]
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi
ta’awun adalah bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk
mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko
bahaya tertentu, dan itu diambil dari iuran, yang setiap dari mereka telah
bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru’ yang bertujuan saling
membantu, dan bukan bertujuan untuk perniagaan ataupun mencari keuntungan.
Sebagaimana juga bahwa akad ini tidak mengandung riba, tidak bersifat
spekulasi, gharar dan perjudian.
Gambaran secara mudah, misalnya ada satu keluarga atau sejumlah
orang membuat shunduq, lalu mereka menyerahkan sejumlah uang, yang
nantinya, dari sejumlah uang yang terkumpul itu digunakan untuk ganti rugi
(sebagai pertanggungan) kepada anggotanya yang mendapatkan musibah (bahaya,
resiko).
Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka
menambahkan iuran menutupi kekurangannya. Apabila berlebih setelah ditunaikan
ganti rugi (pertanggungan) tersebut, maka dikembalikan lagi kepada
masing-masing anggotanya, atau dijadikan modal untuk masa yang akan datang.
Hal ini, mungkin dapat diperluas menjadi sebuah lembaga atau
yayasan dengan memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan
menyimpan uang-uang tersebut, serta mengeluarkannya. Lembaga ini, juga boleh
memiliki pengelola yang membuat rencana kerja dan pengaturannya. Semua pekerja,
petugas, dan berikut pengelolanya mendapatkan gaji tertentu, atau mereka
melakukannya dengan sukarela. Namun semua harus berdasarkan bukan untuk mencari
keuntungan (bisnis), dan seluruh sisinya bertujuan untuk ta’awun (saling
tolong-menolong).[12]
Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi ta’awun sebagai
berikut:
1. Tujuan asuransi ta’awun, ialah murni takaful dan ta’awun
(saling tolong-menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan
musibah.
2. Akad asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Sebagaimana nampak dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), jika dana yang tersedia kurang, maka mereka menambah. Dan bila lebih, mereka pun memiliki hak untuk meminta kembali sisanya.
3. Landasan pemikiran asuransi ta’awun, ialah berdasarkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang. Setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut di antara mereka. Sehingga seseorang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya di antara mereka.
4. Pada umumnya, asuransi ta’awun berkembang pada kelompok yang mempunyai ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
5. Pemberian ganti rugi (pertanggungan) atas resiko bahaya yang diambil dari shunduq (simpanan) asuransi yang ada, jika tidak mencukupi maka adakalanya meminta tambahan dari anggota, atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja.[13]
2. Akad asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Sebagaimana nampak dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), jika dana yang tersedia kurang, maka mereka menambah. Dan bila lebih, mereka pun memiliki hak untuk meminta kembali sisanya.
3. Landasan pemikiran asuransi ta’awun, ialah berdasarkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang. Setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut di antara mereka. Sehingga seseorang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya di antara mereka.
4. Pada umumnya, asuransi ta’awun berkembang pada kelompok yang mempunyai ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
5. Pemberian ganti rugi (pertanggungan) atas resiko bahaya yang diambil dari shunduq (simpanan) asuransi yang ada, jika tidak mencukupi maka adakalanya meminta tambahan dari anggota, atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja.[13]
PERBEDAAN ANTARA ASURANSI TA’AWUN DAN ASURANSI KONVENSIONAL[14]
Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang asuransi ta’awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan yang konvensional. Diantaranya:
Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang asuransi ta’awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan yang konvensional. Diantaranya:
1. Asuransi ta’awun termasuk akad tabarru yang tujuannya murni
takaful dan ta’awun (saling tolong-menolong) dalam menutup kerugian yang timbul
dari bahaya dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah
(tabarru).
Ini berbeda dengan asuransi konvensional yang memiliki maksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-mu’awwadhah al-ihtimaliyah (bisnis oriented dan bersifat spekulatif).
Ini berbeda dengan asuransi konvensional yang memiliki maksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-mu’awwadhah al-ihtimaliyah (bisnis oriented dan bersifat spekulatif).
2. Pemberian ganti rugi atas (pertanggungan) resiko bahaya dalam
asuransi ta’awun, diambil dari jumlah premi yang ada di dalam shunduq (simpanan)
asuransi. Apabila tidak mencukupi, maka adakalanya meminta tambahan dari
anggotanya, atau mencukupkan hanya dengan menutupi sebagian kerugian saja.
Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota
tidak sepakat menutupi seluruhnya.
Adapun dalam asuransi konvensional yang mengikat diri untuk
menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi
asuransi yang dibayar tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi
mengikat diri untuk menanggung semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari
nasabah lainnya. Oleh karena itu, tujuan akadnya ialah mencari keuntungan,
namun keuntungannya tidak bisa untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila
perusahaan asuransi tersebut memperoleh keuntungan, maka nasabah (tertanggung)
merugi. Begitu pula sebaliknya, bila nasabah (tertanggung) memperoleh
keuntungan, maka perusahaan (pihak penanggung) itulah yang merugi. Yang
demikian ini termasuk dalam kategori memakan harta dengan cara batil, karena
keuntungan yang diperoleh oleh salah satu pihak berada di atas kerugian pihak
lainnya.
3. Dalam asuransi ta’awun, seluruh nasabah tolong-menolong
menunaikan ganti rugi yang harus dikeluarkan, dan pembayaran ganti rugi sesuai
dengan dana yang tersedia, dan juga dari peran para anggotanya.
Adapun menurut asuransi konvensional, bisa jadi perusahaan
asuransi tidak mampu membayar ganti rugi (pertanggungan) kepada nasabahnya
apabila melewati batas ukuran (jumlah) yang telah ditetapkan perusahaan untuk
dirinya.
4. Asuransi ta’awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan
dari selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila
ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim, maka dikembalikan kepada anggota
(tertanggung). Sedangkan dalam perusahaan asuransi konvensional, sisa tersebut
menjadi milik perusahaan asuransi (penanggung).
5. Penanggung (al-Mu`ammin) dalam asuransi ta’awun adalah
tertanggung (al-Mu`ammin lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional,
penanggung (al-Mu`ammin) adalah pihak luar.
6. Dalam asuransi ta’awun, premi yang dibayarkan tertanggung
digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuan asuransi ta’awun
bukan untuk mencari keuntungan, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian
dan biaya operasinol perusahaan asuransi saja.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, premi tersebut digunakan
untuk kemaslahatan perusahaan dan mendapatkan keuntungan. Karena tujuan dari
usaha asuransi ini untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari
pembayaran premi para nasabahnya.
7. Asuransi ta’awun terbebas dari riba, spekulasi, dan perjudian
serta gharar yang terlarang.
Adapun asuransi konvensional, usaha yang dilakukannya tidak lepas
dari hal-hal tersebut.
8. Dalam asuransi ta’awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan
asuransi ta’awun memiliki asas-asas berikut.
(a). Pengelola perusahaan asuransi ta’awun melaksanakan managemen operasional asuransi, berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya. Dari pengelolaannya itu, ia mendapatkan gaji tertentu secara jelas. Karena, mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas jumlah gajinya tersebut.
(a). Pengelola perusahaan asuransi ta’awun melaksanakan managemen operasional asuransi, berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya. Dari pengelolaannya itu, ia mendapatkan gaji tertentu secara jelas. Karena, mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas jumlah gajinya tersebut.
(b). Pengelola perusahaan diijinkan untuk membentuk perusahaan,
dan juga memiliki kewenangan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para
nasabahnya. Dengan ketentuan, mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari
pengembangan harta asuransi itu sebagai mudhârib (pengelola pengembangan modal
dengan mudhârabah).
(c). Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama,
dalam hal pengembangan modal perusahaan asuransi. Kedua, perhitungan harta
asuransi dan sisa harta asuransi yang murni menjadi milik nasabah (pembayar
premi).
(d). Pengelola perusahaan bertanggung jawab sebagai mudhârib dalam
pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian
keuntungan mudharabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua
pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan gaji pengelolaan yang menjadi
haknya.[15]
Adapun menurut asuransi konvesional, hubungan antara nasabah
dengan perusahan asuransi dalam hal pengelolaan harta nasabah, bahwa semua
premi yang dibayar nasabah (tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang
dicampur dengan modal perusahaan sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi.
Sehingga tidak ada dua hitungan yang terpisah.
9. Nasabah dalam perusahaan asuransi ta’awun dianggap sebagai
anggota syarikat yang memiliki hak terhadap keuntungan dari usaha pengembangan
modal mereka.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak dianggap
sebagai syarikat, sehingga sama sekali tidak berhak memperoleh keuntungan
pengembangan modal mereka, dan perusahan sendirilah yang mengambil seluruh
keuntungan yang ada.
10. Perusahaan asuransi ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada
hal-hal yang diharamkan.
Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal dan haram
dalam pengembangan hartanya.
Demikianlah beberapa perbedaan yang ada. Mudah-mudahan semakin
memperjelas permasalahan asuransi ta’awun ini.
Wabillahit-taufiq.
Wabillahit-taufiq.
Maraji’ (sumber rujukan).
1. Abhats Hai’ah Kibar Ulama, disusun oleh al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ`, KSA.
2. Al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu’amalat, Prof. Dr. ‘Abdullah bin Muhammad ath-Thayâr, Prof. Dr. ‘Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alumusa, Madar al-Wathani lin-Nasyr, Riyadh, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1425H.
3. Al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdillah al-‘Imrâni, Dar Kunûz Isybiliyâ, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 2006M.
4. Fiqhun-Nawâzil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, Dr. Muhammad bin Husain al-Jizâni, Dar Ibnul-Juazi, Cetakan Pertama, Tahun 1426H.
5. Ru’yat Syar’iyah fî Syarikat at-Ta’mîn at-Ta’âwuniyah, makalah Dr. Khalid bin Ibrahim al-Du’aijî. Lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net
1. Abhats Hai’ah Kibar Ulama, disusun oleh al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ`, KSA.
2. Al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu’amalat, Prof. Dr. ‘Abdullah bin Muhammad ath-Thayâr, Prof. Dr. ‘Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alumusa, Madar al-Wathani lin-Nasyr, Riyadh, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1425H.
3. Al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdillah al-‘Imrâni, Dar Kunûz Isybiliyâ, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 2006M.
4. Fiqhun-Nawâzil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, Dr. Muhammad bin Husain al-Jizâni, Dar Ibnul-Juazi, Cetakan Pertama, Tahun 1426H.
5. Ru’yat Syar’iyah fî Syarikat at-Ta’mîn at-Ta’âwuniyah, makalah Dr. Khalid bin Ibrahim al-Du’aijî. Lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2006M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Cetakan Balai Pustaka, 2005, hlm. 73. Lihat juga Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S. Purwodarminto, Balai Pustaka, Cetakan ke-8, Tahun 1984, hlm. 63.
[2]. Lihat Undang-Undang No. 2, Tahun 1992, tentang usaha perasuransian.
[3]. Lihat tulisan Ustadz Muslim, dalam Rubrik Mabhats, XXX, edisi ini, halaman …
[4]. Abhats Hai’at Kibar Ulama, al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ` (4/36).
[5]. At-Ta’mîn wa Ahkamuhu, oleh al-Tsanayân (hlm. 40). Dinukil dari kitab al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdillah al-‘Imrâni, hlm. 288.
[6]. Al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu’amalat, hlm. 255.
[7]. Fiqhun-Nawâzil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat (3/267).
[8]. Akad tabarru`, adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan mencari keuntungan (profit). Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No. 21/DSN-MUI/X/2001, tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9]. Abhats Hai’at Kibar Ulama, oleh al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ`. Saudi Arabiya, 4/38.
[10]. Nidzam at-Ta’mîn, Musthafa al-Zarqa`, hlm. 42. Dinukil dari al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 289.
[11]. Al-Gharar wa Atsaruhu fil-‘Uqûd, Dr. Adh-Dharîr, Mathbu’ât Majmu’ah Dalah al-Barakah, Cetakan Kedua, hlm. 638. Dinukil dari makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Du’aijî berjudul Ru’yat Syar’iyah fî Syarikat at-Ta’mîn at-Ta’âwuniyah, hlm. 2. Lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net
[12]. Lihat pembahasannya dalam al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 291-311.
[13]. Kelima karekteristik ini dapat dilihat dalam kitab al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 290-291
[14]. Lihat makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Du’aijî berjudul Ru’yat Syar’iyah fî Syarikat at-Ta’mîn at-Ta’âwuniyah (hlm 2-3), al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat (hlm. 290-291), dan al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu’amalat (hlm. 255-256).
[15]. Keputusan Nadwah al-Barkah ke-12 dalam sebuah forum simposium untuk ekonomi Islam. Lihat Qararat wa Taushiyat Nadwah al-Barkah lil-Iqtishad al-Islami, Tahun 1422H, hlm. 212.
***********************
Kontributor: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com________
Footnote
[1]. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Cetakan Balai Pustaka, 2005, hlm. 73. Lihat juga Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S. Purwodarminto, Balai Pustaka, Cetakan ke-8, Tahun 1984, hlm. 63.
[2]. Lihat Undang-Undang No. 2, Tahun 1992, tentang usaha perasuransian.
[3]. Lihat tulisan Ustadz Muslim, dalam Rubrik Mabhats, XXX, edisi ini, halaman …
[4]. Abhats Hai’at Kibar Ulama, al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ` (4/36).
[5]. At-Ta’mîn wa Ahkamuhu, oleh al-Tsanayân (hlm. 40). Dinukil dari kitab al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdillah al-‘Imrâni, hlm. 288.
[6]. Al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu’amalat, hlm. 255.
[7]. Fiqhun-Nawâzil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat (3/267).
[8]. Akad tabarru`, adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan mencari keuntungan (profit). Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No. 21/DSN-MUI/X/2001, tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9]. Abhats Hai’at Kibar Ulama, oleh al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ`. Saudi Arabiya, 4/38.
[10]. Nidzam at-Ta’mîn, Musthafa al-Zarqa`, hlm. 42. Dinukil dari al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 289.
[11]. Al-Gharar wa Atsaruhu fil-‘Uqûd, Dr. Adh-Dharîr, Mathbu’ât Majmu’ah Dalah al-Barakah, Cetakan Kedua, hlm. 638. Dinukil dari makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Du’aijî berjudul Ru’yat Syar’iyah fî Syarikat at-Ta’mîn at-Ta’âwuniyah, hlm. 2. Lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net
[12]. Lihat pembahasannya dalam al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 291-311.
[13]. Kelima karekteristik ini dapat dilihat dalam kitab al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 290-291
[14]. Lihat makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Du’aijî berjudul Ru’yat Syar’iyah fî Syarikat at-Ta’mîn at-Ta’âwuniyah (hlm 2-3), al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat (hlm. 290-291), dan al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu’amalat (hlm. 255-256).
[15]. Keputusan Nadwah al-Barkah ke-12 dalam sebuah forum simposium untuk ekonomi Islam. Lihat Qararat wa Taushiyat Nadwah al-Barkah lil-Iqtishad al-Islami, Tahun 1422H, hlm. 212.
***********************
Comments
Post a Comment