Menjadikan Sedekah
sebagai Prioritas
Sahabat, tidak
sedikit orang memberikan sedekah yang merupakan uang sisa saja. Sisa dari apa?
Yaa sisa dari seluruh uang keperluan yang sudah dianggarkan. Prioritas pertama
itu makan, kemudian transportasi, komunikasi, entertainment, hobi, blablabla…
baru kemudian prioritas terakhir adalah sedekah. Kalau hanya bersisa seratus
ribu, yaa… Berarti sedekah bulan ini hanya seratus ribu. Kalau tidak bersisa,
yaa kalau begitu anggaplah bersedekah pada keluarga saja.
Padahal jika kita mau meneliti
anggaran keuangan kita, banyak sekali pengeluaran yang tidak prioritas bahkan
terkesan mewah, inilah yang disebut dengan gaya hidup.
Banyak orang zaman sekarang
yang lebih memilih membeli gaya hidup daripada mengalokasikan uangnya untuk
bersedekah. Minum kopi di kafe, minimal harus keluar lima puluh ribu sekali
duduk. Entah berapa kali duduk di kafe dalam sebulan. Kalau pekerjaannya memang
mengharuskan demikian masih bisa dimaklumi, tapi kalau sekadar untuk hang out? Nonton
film di bioskop, berikut dengan popcorn, french fries, dan segelas besar soda.
Entah berapa film bioskop yang ditonton dalam sebulan.
Membeli produk perawatan wajah
dan kosmetik, harus yang branded, satu produknya saja seharga setengah juta,
padahal ada produk yang sama fungsinya, namun harga sepuluh kali lebih murah,
dianggapnya tidak level.
Begitulah kondisi kita… Belum
memprioritaskan sedekah. Masih memprioritaskan gaya hidup.
Sebenarnya jika gaya hidup
tinggi tapi juga sedekahnya bernilai lebih dari itu tentunya masih terasa
sah-sah saja, misalnya pengeluaran bulanan untuk gaya hidup sepuluh juta, untuk
sedekah sebelas juta.
Tapi pada faktanya, bukankah
banyak yang menolak bersedekah karena kehabisan uang untuk membeli gaya hidup
saja?
Sungguh jauh kondisi kita saat
ini dengan kondisi di zaman Rasulullah dahulu. Bahkan Rasulullah begitu takut
jika di rumahnya masih ada uang yang tersisa, ia akan segera menyedekahkannya.
Sedangkan kita sebaliknya, begitu takut jika tidak ada uang di rumah.
Mari kita simak hadits berikut:
“Kisah Umar radhiyallahu ‘anhu:
Aku (Umar) masuk menemui Rasulullah yang sedang berbaring di atas sebuah tikar.
Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada
sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah
meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke
sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat
satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit
binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata
tanpa dapat kutahan. Rasulullah bertanya: Apakah yang membuatmu menangis, wahai
putra Khathab? Aku menjawab: Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis,
tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang
lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara kaisar (raja Romawi) dan kisra (raja
Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah
utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan
seperti ini. Rasulullah lalu bersabda: Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak
rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka?” (HR.
Muslim)
Sahabat, kita semua mengetahui
bahwa Rasulullah adalah seorang pebisnis yang jujur dan memiliki harta yang tak
sedikit, namun lihatlah betapa beliau memprioritaskan harta yang dimilikinya untuk
sedekah pada orang lain, dan tidak menginginkan tubuhnya memperoleh kenikmatan
berlebihan dengan apa yang disebut sebagai gaya hidup. Maka, hendaknya kita
mulai memprioritaskan sedekah, dimulai dari orang-orang terdekat yakni kerabat
yang kurang mampu, hingga sedekah pada yatim dan dhuafa yang tidak kita kenal
sekalipun.
Sedekah saat Takut
Miskin
“Hai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki
yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak
ada lagi jual beli.” (QS. Al Baqarah: 254).
Sahabat, pernahkah merasa takut
kekurangan? Misalnya, setelah membuat rencana keuangan bulanan, ternyata
nominal penghasilan yang diterima tidak sebesar nominal pengeluaran yang telah
memiliki pos masing-masing. Sebagai contoh, penghasilan yang diterima sepuluh
juta, namun pengeluaran untuk cicilan mobil, cicilan rumah, uang makan,
pendidikan anak, belanja bulanan, uang pulsa, transport, dan sebagainya
melebihi sepuluh juta rupiah. Gaji yang terlihat besar pun akhirnya terasa kurang.
Dalam kondisi demikian, sangat
wajar jika kita merasa takut kekurangan, takut menjadi fakir. Namun tahukah
bahwa saat seperti inilah waktu paling tepat untuk mengeluarkan sedekah? Mengapa
ketika takut kekurangan harta dan khawatir menjadi fakir malah menjadi saat
yang bagus untuk bersedekah? Ya, tentu saja karena Rasulullah sendiri yang
menyampaikan ucapan tersebut.
“Wahai Rasulullah, sedekah yang
mana yang lebih besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Engkau bersedekah pada saat kamu masih sehat,
saat kamu takut menjadi fakir, dan saat kamu berangan-angan menjadi kaya. Dan
janganlah engkau menunda-nunda sedekah itu, hingga apabila nyawamu telah sampai
di tenggorokan, kamu baru berkata, “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan
sekian, dan harta itu sudah menjadi hak si fulan.” (Muttafaqun
‘alaih. HR. Bukhari no. 1419 dan Muslim no. 1032).
Jelas bahwa Rasulullah
mendorong kita untuk tidak menunda-nunda sedekah sekalipun kita merasa khawatir
kekurangan, karena ada hikmah besar di baliknya. Beberapa hal berikut ini mungkin
bisa menjadi jawabannya: 1. Mengeluarkan sedekah memberi perasaan ‘kaya’ dan
bahagia, yang baik untuk kejiwaan seseorang
Sahabat, saat ini makin banyak
penelitan yang menunjukkan korelasi antara sedekah dengan kebahagiaan. Semakin
besar uang yang ‘dibelanjakan’ orang untuk menolong sesama, maka si dermawan
tersebut akan bertambah bahagia. Demikian hasil kajian Elizabeth Dunn, pakar
psikologi dari University of British Columbia, Vancouver,
Kanada. Studi Jorge Moll dari National Institutes of Health juga menemukan
hasil bahwa ketika seseorang bersedekah, beberapa area di otak yang berhubungan
dengan kenyamanan, koneksi sosial, dan rasa percaya menjadi aktif.
Para peneliti pun meyakini
bahwa ketika kita melakukan tindakan altruistik, otak akan melepaskan hormon
endorfin, yang memberi rasa bahagia, hal ini menunjukkan efek positif sikap
dermawan pada kesehatan. Mungkin ini sebabnya Rasulullah amat menganjurkan
seseorang yang pelit dan takut miskin untuk bersedekah, karena sedekah mencegah
penyakit hinggap ke diri kita.
2. Bersedekah di saat
kekurangan membuktikan kesungguhan iman
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan
bahwa orang akan bersikap pelit ketika dalam keadaan sehat. Jika di waktu
seperti itu ia mau berbaik hati bersedekah, maka terbuktilah akan benarnya niat
dan besarnya pahala yang diperoleh.
Hal ini berbeda dengan orang
yang bersedekah saat menjelang akhir hayat atau sudah tidak ada harapan lagi
untuk hidup, maka sedekah ketika itu masih terasa kurang, berbeda halnya ketika
sehat. (Syarh Shahih
Muslim, 7: 112)
3. Menunjukkan tingkat
ketawakalan yang tinggi
Sudah tahu pengeluarannya lebih
besar dari pendapatan, tapi masih mau bersedekah, tentu saja hal ini
menunjukkan tingginya ketawakalan seseorang kepada Allah. Dan terhadap orang
yang tawakal padaNya, Allah akan menunjukkan jalan keluar serta memberi rezeki
dari arah yang tak disangka-sangka.
“Barang
siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya dia akan membukakan jalan keluarnya
dan dia memberikan rezekinya dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang
siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan tugasnya…” (QS. Ath-thalaq: 1-2)
Sahabat, mari kita bersedekah
sekalipun dalam keadaan takut miskin dan kekurangan, karena Allah yang akan
mencukupi diri kita.
Sedekah Tanpa
Diketahui Tangan Kiri
”Jika kalian
menampakkan sedekah maka hal itu baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya
dan memberikannya kepada orang-orang fakir maka hal itu lebih baik bagi
kalian…” (QS. Al-Baqarah: 271)
Sahabat pernahkah terpikir apa
maksudnya sedekah tanpa diketahui oleh tangan kiri? Ya, tentu saja hal ini
terkait dengan melakukan amalan sedekah secara diam-diam.Sesuai namanya,
sedekah seperti ini ‘sunyi senyap’, tak memperoleh ucapan terimakasih, apalagi
liputan media. Karena jangankan orang lain… Bahkan tangan kirinya sendiri pun
tak mengetahui sedekah yang diberikan oleh tangan kanannya tersebut.
Beberapa kisah para ulama
berikut ini bisa kita teladani sebagai wujud nyata bersedekah tanpa diketahui
oleh tangan kiri.
Kisah pertama, sedekah yang
dilakukan oleh Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Tidak pernah ada yang
mengetahui siapakah yang selalu memberi sedekah berupa karung berisi tepung
untuk penduduk dhuafa kota Madinah di malam hari. Setiap Shubuh tiba, para
penduduk tersebut sudah menemukan sekarung tepung di depan pintu rumah mereka,
dan hal ini terjadi tidak hanya sehari dua hari saja, melainkan selama
bertahun-tahun. Lalu bagaimana kisah ini bisa sampai kepada kita sekarang?
Sehingga kita mengetahui siapa yang melakukan sedekah rahasia tersebut? Ya,
karena semua sedekah rahasia tersebut berhenti di hari kematian beliau. Dan
betapa mengejutkan ketika orang yang memandikan jenazah beliau mendapati bekas
kehitaman di punggungnya, tanda yang muncul akibat bertahun-tahun memanggul
sendiri karung-karung tepung untuk dibagikan kepada kaum dhuafa.
Awalnya tak ada yang mengetahui
mengapa bekas kehitaman itu tampak di punggung beliau. Keluarga beliau pun tak
paham bekas apa itu. Namun, pembantu beliau yang memang pernah memergokinya
sedang memikul karung tepunglah yang memberitahukan.
Hingga terang-benderang siapa
pemberi sedekah rahasia untuk penduduk selama ini. Maasya Allah. Itulah sedekah
yang dilakukan oleh keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Sedekah
yang amat jauh dari riya’ apalagi pencitraan.
Kisah kedua, sedekah yang
dilakukan oleh Abu Amru bin Nujaid
Seorang ulama hadits dan ahli
zuhud, Abu Amru bin Nujaid, memberikan bantuan sebesar 1000 dinar kepada Abu
Utsman Al Hirri yang saat itu bertanggungjawab terhadap krisis yang sedang
terjadi di negeri Naisabur (Khurasan). Esok harinya, dengan gembira Abu Utsman
mengundang Abu Amru untuk duduk di sebuah majelis yang dihadiri banyak orang.
Pada kesempatan itu, Abu Utsman mengungkapkan terimakasih yang mendalam atas
bantuan 1000 dinar dari Abu Amru. Namun tanpa diduga, tiba-tiba Abu Amru
berdiri di hadapan hadirin dan menyampaikan, ”Sesungguhnya harta yang saya berikan adalah
harta ibu saya dan ternyata beliau tidak ridha, maka mestinya harta tersebut
dikembalikan kepada saya untuk saya kembalikan kepada beliau.”
Ucapan ini membuat semua yang
datang ke majelis tersebut kaget, apalagi Abu Utsman. Sama sekali tak
disangkanya Abu Amru akan meminta kembali sedekah yang telah diberikannya. Mau
tak mau, ia pun mengembalikan 1000 dinar tersebut. Hadirin bubar dengan
kekecewaan besar terhadap ulama yang membatalkan sedekahnya itu.
Begitu malam tiba, Abu Amru
mendatangi lagi Abu Utsman dengan memberi kembali 1000 dinar itu sambil
mengatakan, ”Anda bisa
memanfaatkan harta ini untuk keperluan seperti kemarin, dan tidak ada yang tahu
akan hal ini kecuali kita.”
Maasya Allah. Sahabat,
sesungguhnya sedekah seperti itulah yang in syaa Allah akan membuat pelakunya
mendapati naungan istimewa Allah pada hari kiamat kelak.
“Ada tujuh kelompok orang yang
akan mendapatkan naungan (rahmat) Allah di hari kiamat di mana tiada tempat
bernaung selain naungan Allah, di antaranya adalah “Lelaki yang bersedekah
kemudian dirahasiakannya sampai-sampai tangan kirinya tidak megetahui apa yang
diinfakkan tangan kanannya.” (HR. Muslim)
Maka, meskipun sedekah secara
terang-terangan tidak Allah larang, namun sangat dahsyat jika kita juga
memiliki sedekah sembunyi-sembunyi yang bahkan tidak diketahui oleh tangan kiri
sendiri. Siapkah kita mengamalkannya?
Menyesali Kurang
Sekali Sedekah
Sahabat, pernahkah
merasa menyesal bersedekah? Sesungguhnya, sangat mungkin ketika sakaratul maut
menjemput, kita akan merasa menyesal dengan sedekah yang kita berikan,
sebagaimana salah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Sya’ban, amat
menyesali sedekah yang ia pernah keluarkan.
Dikisahkan bahwa saat sakaratul
maut, Sya’ban Radiyallahu ‘anhu meneriakkan 3 kalimat yang tidak dimengerti
maknanya oleh keluarganya. 3 kalimat tersebut berupa rasa penyesalan Sya’ban
terhadap apa yang telah diperbuatnya selama hidup.
Penyesalan yang pertama
membuatnya berteriak, “Aduuuh kenapa tidak lebih jauh…”
Yakni penyesalan karena jarak rumahnya ke masjid hanya beberapa kilometer saja,
sedangkan saat sakaratul maut tersebut ia diperlihatkan oleh Allah ganjaran
pahala yang diperolehnya langkah demi langkah menuju masjid, maka ia pun
menyesali mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi, agar pahala yang diperolehnya
lebih banyak lagi.
Penyesalannya yang kedua
membuatnya berseru,”
Aduuuh kenapa tidak yang baru…”
Karena menjelang kedatangan ajalnya itu pula, Allah memperlihatkan amalannya
yang lain, yakni di waktu angin dingin berhembus. Sya’ban memakai pakaian
double, yang ia pakai di dalam adalah satu baju baru, sedangkan sebagai luaran
adalah baju lama. Niat Sya’ban setelah sampai masjid, baju luarannya akan
dilepas sehingga ia shalat dengan memakai baju baru. Akan tetapi di tengah
perjalanannya ke masjid, ia bertemu seseorang yang tampak sekarat karena
kedinginan. Maka Sya’ban pun membantu memapah orang tersebut dan memakaikan
baju luarannya yang sudah usang pada orang itu, sehingga orang yang hampir
sekarat itu bisa tertolong.
Rupanya amalan tersebut Allah
ganjar surga yang ditampakkanNya pada Sya’ban ketika sakaratul maut. Maka ia
amat menyesali mengapa saat itu hanya memberikan pakaian lama, bukan yang baru.
Melihat betapa besarnya ganjaran kenikmatan yang ia peroleh hanya karena
memberi pakaian usang, ia berpikir apalagi kalau ia memberi pakaian yang baru.
Dan
terakhir adalah penyesalan Sya’ban mengenai sedekahnya kepada seorang pengemis,
penyesalan ini membuatnya berseru saat sakaratul maut. “Aduuuh kenapa tidak semua…”
Karena saat itu ia ingin memakan sebuah roti, tiba-tiba ada seorang pengemis
meminta makanan padana akibat sudah beberapa waktu pengemis tersebut tidak
mengisi perutnya sama sekali.Maka Sya’ban membagi 2 rotinya sama besarnya,
untuk disantap olehnya dan oleh pengemis tersebut. Begitu melihat ganjaran yang
diperolehnya atas sedekahnya itu, ia pun menyesal, mengapa tidak memberikan
semua roti tersebut pada sang pengemis. Itulah makna teriakkannya saat
sakaratul maut tersebut.
Sahabat, bahkan setelah mengetahui ganjaran luar biasa yang didapatnya,
seseorang masih bisa menyesali sedekah yang dikeluarkannya, menyesal mengapa
ketika hidup hanya mengeluarkan sedekah sedikit saja. Apalagi seseorang yang
meninggal tanpa pernah bersedekah.
Bukankah mayit saja jika diperbolehkan
hidup kembali akan memilih untuk bersedekah?
“Ya Tuhanku,
sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku
dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shaleh.” (QS.
Al-Munafiqun: 10). Oleh sebab itu, bersedekahlah dengan apapun yang
kita miliki saat ini juga. Jangan sampai kita menyesali karena menahan-nahan
harta dan tidak menginfakkannya. (SH)
Agar Sedeqah
Menjadi Lifestile
Sahabat,
begitu mudahnya kita menghabiskan uang di toko, swalayan, restoran, cafe,
bioskop, bahkan juga kita rela mengeluarkan ratusan ribu sampai jutaan Rupiah
sekadar untuk pulsa, namun amat sulit mengeluarkan sejumlah uang yang sama
untuk diberikan ke masjid, kotak infak, atau rekening shadaqah secara rutin.
Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Salah satu
alasannya adalah kita belum menjadikan zakat, infak, wakaf, dan sedekah sebagai
gaya hidup. Sementara itu pulsa gadget, makan di cafe, minum secangkir kopi
seharga minimal lima puluh ribu, spa dan sauna sudah menjadi kebutuhan
lifestyle alias gaya hidup bulanan. Apa itu gaya hidup? Menurut Kotler (2002,
p. 192) gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang ia ekspresikan
dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan
diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut
Minor dan Mowen (2002, p. 282), gaya hidup adalah menunjukkan cara bagaimana
orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana ia mengalokasikan
waktu.
Nah,
pertanyaannya, bagaimana cara membuat sedekah menjadi gaya hidup kita? Di mana
setiap kali mendapat uang, pertama sekali kita tidak akan terpikirkan mall atau
gadget baru, melainkan zakat, infak atau sedekah.
Berikut ini
beberapa tips membuat sedekah menjadi gaya hidup yang patut dicoba:
1. Bergabung
dengan komunitas orang-orang pecinta sedekah dan gemar berinfak
Lifestyle
biasanya didorong juga oleh tuntutan lingkungan. Orang yang hidup dalam
lingkungan hedon, misalnya menghamburkan uang untuk dugem (dunia gemerlap),
maka lifestylenya akan ikut terpengaruh gaya hedonisme. Orang yang berada di
lingkungan orang-orang penuh perhitungan dan gemar menyimpan harta dalam bentuk
emas, tabungan serta deposito, maka ia akan terlecut juga untuk menjadikan
menabung sebagai gaya hidupnya.
Seorang
wanita yang tergabung dalam kumpulan penggosip, maka akan memiliki gaya hidup
sebagai tukang ghibah pula. Maka, untuk memastikan lifestyle yang kita pilih
bersifat positif, cobalah menceburkan diri ke lingkungan orang-orang positif,
dalam hal ini khususnya ke komunitas orang-orang yang gemar bersedekah.
2. Temukan
kenikmatan dan kebahagiaan saat bersedekah
Hal ini
penting, karena ketika seseorang telah menemukan kenikmatan dalam bersedekah,
tidak akan sulit lagi menjadikan sedekah sebagai gaya hidup. Akan tetapi jika
tidak bisa menemukan kebahagiaan dalam bersedekah, bagaimana mungkin sedekah
menjadi lifestyle kita.
Semua orang
memiliki perbedaan cara dalam menemukan perasaan bahagia dan lega memberi
sedekah yang ia keluarkan, misalnya, ada orang yang merasa nikmat jika memberi
langsung sedekahnya pada pihak yang memerlukan. Contoh, ia mendatangi langsung
panti asuhan dengan memberikan mesin cuci, kulkas, pakaian, tas, dan buku tulis
untuk ratusan anak. Tapi ada juga yang justru merasa aman dan tenang jika
mempercayakan uang sedekahnya pada lembaga terpercaya, cukup mentransfer
melalui sms atau internet banking, kemudian selanjutnya ia tinggal menerima
laporan penggunaan uang sedekahnya tersebut. Apapun caranya, pastikan hati kita
bisa merasa lega, senang, dan damai setiap kali mengeluarkan sedekah. Perasaan
bahagia ini akan memberi efek ‘ketagihan’, sehingga selanjutnya kita bisa
benar-benar menjadikan sedekah sebagai kebutuhan gaya hidup.
3. Tularkan
gaya hidup bersedekah
Lifestyle
biasanya sudah benar-benar mendarah daging jika kita telah dapat tularkan pada
orang di sekitar. Yakni, dengan membuat mereka tertarik mengikuti gaya hidup
yang kita lakukan. “Barang siapa dapat memberikan suri tauladan yang baik
dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut dapat diikuti oleh orang-orang
sesudahnya, maka akan dicatat untuknya pahala sebanyak yang diperoleh
orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang mereka
peroleh.” (HR. Muslim)
Sahabat,
sudahkah kita berminat menjadikan sedekah sebagai gaya hidup? Jika ya, semoga
Allah memudahkan kita untuk istiqomah. (SH)
Bahanya Mengatakan
saya Tidak Punya Uang
Sahabat, pernahkah bertemu dengan seseorang yang memiliki
uang seratus juta Rupiah tunai di rumahnya, namun ketika ada kerabatnya yang
kesulitan dan meminta bantuannya sekadar seratus ribu saja untuk makan, ia
malah berkata, “Saya tidak punya uang.”
Mungkin
memang ia memiliki standar hidup yang tinggi untuk dirinya dan keluarganya
sendiri, mungkin seratus juta Rupiah tersebut merupakan uang cadangan yang tidak
boleh diutak-atiknya, mungkin pula ia takut kerabatnya akan terus-menerus
datang meminta-minta bantuannya, apapun itu…
Sungguh
berbahaya mengatakan “Saya tidak punya uang,” saat ada yang meminta bantuan.
Pasalnya yang dinamakan sedekah bukan hanya memberi uang saja, bahkan sekadar
memberi makan kerabat dengan hidangan yang ada di rumah kita pun bisa dianggap
sedekah.
Selain
itu, memberi kerabat sendiri pinjaman uang dengan perjanjian harus dikembalikan
pada tanggal sekian pun bisa terhitung sedekah, bahkan nilai pahalanya jauh
lebih besar daripada bersedekah biasa. Dan lagi tidak akan mengurangi harta
kita karena statusnya bukan diberi melainkan dipinjamkan.
Dalam
salah satu hadits, dikisahkan Rasulullah melihat tulisan di pintu surga pada
peristiwa Isra’ Mi’raj.
“Sedekah berpahala sepuluh kalinya, sedangkan pinjaman berpahala delapan
belas kalinya.”
Karena penasaran, beliau bertanya kepada Malaikat Jibril, “Wahai Jibril,
mengapa pinjaman lebih utama daripada sedekah?”
Lalu
Malaikat Jibril menjawab, “Karena seorang peminta-minta, (terkadang) ia
masih memiliki (harta), sedangkan orang yang meminta pinjaman, ia tidak akan
meminta pinjaman kecuali karena kebutuhan.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Jelas
bahwa ada banyak hal yang bisa kita sedekahkan selain dalam bentuk pemberian
uang. Menolak bersedekah dengan dalih “Saya tidak punya uang” padahal
sebenarnya punya, tapi ditahan untuk keperluan diri sendiri sungguh
membahayakan, alasannya antara lain:
1. Mendapat doa dari Malaikat
setiap pagi untuk memusnahkan harta orang yang menolak bersedekah
Sepanjang
orang tersebut masih menahan hartanya dan enggan membantu kerabatnya yang
meminta bantuan, maka selama itulah malaikat setiap pagi mendoakan hartanya
agar dimusnahkan oleh Allah.
“Tidaklah
seorang hamba memasuki waktu pagi pada setiap harinya, kecuali ada dua malaikat
yg turun. Salah satunya memohon: ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi dermawan yg
menyedekahkan hartanya.’ Dan satu lagi memohon: ‘Ya Allah, musnahkanlah harta
si bakhil.'” (HR. Muslim no. 1678)
2. Memutus kekerabatan
Rasulullah
telah mengisyaratkan bahwa penyakit kikir sudah pasti akan melahirkan kezaliman
serta mampu memutus hubungan kekerabatan.
Orang yang kikir tentu enggan mengeluarkan hartanya untuk membantu kerabatnya
sendiri, sehingga cepat atau lambat kerabatnya pun akan menjauhinya disebabkan
kebakhilannya.
“Jauhilah
oleh kalian sifat kikir, karena sifat itulah yang membinasakan orang-orang
sebelum kalian. Sifat kikir menyuruh mereka berlaku zhalim, maka merekapun
berlaku zhalim. Kikir menyuruh mereka memutus kekerabatan, merekapun
memutusnya.” (HR Abu Dawud)
3. Mendapat kebencian Allah karena
kikir
Salah
satu golongan yang Allah benci adalah orang yang kikir, yang tidak bersedia
membantu orang lain karena merasa hanya merugikan dirinya saja.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Tiga golongan yang dibenci
Allah: Orang tua yang berzina, orang bakhil dan orang yang sombong.” (HR. Ibnu
Hibban, sanadnya Jayyid)
Ini
adalah bahaya kikir yang penting diwaspadai, yakni lahirnya sifat munafik!
“Maka setelah Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir
dengan karunia itu, dan berpaling dan memanglah orang-orang yang selalu
membelakangi (kebenaran), maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka
sampai mereka menemui Allah.” (QS. At-Taubah 76-77).
Sahabat, mari kita biasakan diri untuk tidak menolak ajakan bersedekah, sekecil apapun itu, bagaimana pun sedekah merupakan amalan paling luar biasa yang bisa dilakukan bahkan tanpa mengeluarkan uang. Semangat bersedekah hari ini! (SH). (Sumber: tabungwakaf.com)
************************
Sahabat, mari kita biasakan diri untuk tidak menolak ajakan bersedekah, sekecil apapun itu, bagaimana pun sedekah merupakan amalan paling luar biasa yang bisa dilakukan bahkan tanpa mengeluarkan uang. Semangat bersedekah hari ini! (SH). (Sumber: tabungwakaf.com)
************************
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com. (Anggota Pengurus DPW IAEI Aceh)
Comments
Post a Comment