Krisis iman, krisis ekonomi
dewasa ini ditambah dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang demikian tinggi di
negara ini. Semakin besar kebutuhan pribadi yang harus dipenuhi dengan
keterbatasan dana dan keuangan, kadang mendorong seorang muslim untuk mencari
kesempatan dan cara yang dianggapnya tepat dan pas tanpa bertanya hukumnya
dahulu. Apalagi dipacu oleh upaya produsen dan industri dalam memasarkan
produknya kemasyarakat yang tanpa memandang halal dan haram lagi. Maka
bermunculanlah beragam mu’amalah dengan beranekaragam cara dan coraknya.
Diantaranya adalah sewa beli atau dikenal dengan istilah leasing di masyarakat
kita dan mulai dikenalkan dengan istilah lain oleh lembaga keuangan syariat
dengan nama Ijaarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT).
Transaksi model ini adalah bentuk pengembangan dari jual beli
kredit (ba’i at-taqsîth) dan dikenal dengan jual beli kredit dengan
menjaga status kepemilikan (untuk penjual) sampai angsurannya lunas. Lalu
berkembang dengan beraneka ragam corak dan namanya sesuai dengan marhalah
berikut ini:
Resiko macet kredit dalam jual beli kredit mendorong para pedagang
untuk menemukan cara baru yang dapat menjaga status kepemilikannya terhadap
barang sampai ansurannya lunas tanpa ada syarat khusus. Transaksi ini dinamakan
Sewa Beli atau dalam bahasa Arabnya al-bai’ al-ijâri atau al-ijâr
al-bai’i atau al-ijâr as-sâtir lilbai’. Dalam bahasa Inggris
dinamakan hire-purchase dan dalam bahasa Prancis dikenal dengan
location-vente. Pengertiannya adalah sewa yang disertai jual beli yang
menyebabkan perpindahan kepemilikan barang dari penjual yang menyewakan kepada
pembeli yang menyewa, dengan ketentuan penyewa membayar angsuran tertentu dalam
waktu tertentu.
Disini apabila penyewa telah menyempurnakan pembayaran sewanya
dalam waktu yang telah disepakati maka kepemilikan akan pindah menjadi milik
penyewa. Apabila penyewa tidak dapat menunaikan dengan sempurna syarat
transaksi maka pembayaran tersebut dianggap sebagai pembayaran sewa semata dan
transaksi batal serta barang kembali menjadi milik penyewa. Dengan demikian
transaksi ini merupakan rekayasa tepat dari para penjual untuk menjaga
kepemilikan barang dagangannya sampai waktu pembayaran sempurna seluruhnya.
Sejarah fase ini dikenal pertama kali pada tahun 1846 masehi di
Inggris. Yang memulai bertransaksi dengan akad ini adalah seorang pedagang
alat-alat musik di inggris. Dia menyewakan alat musiknya yang diikuti dengan
memberikan hak milik barang tersebut, dengan maksud adanya jaminan haknya itu.
Setelah itu tersebarlah akad seperti ini dan pindah dari per-individu ke
pabrik-pabrik. Yang pertama kali menerapkannya adalah pabrik “Singer” penyedia
alat-alat jahit di inggris. Selanjutnya berkembang, dan tersebar akad ini
dengan bentuk khusus di pabrik-pabrik besi yang membeli barang-barang yang
sudah jadi, lalu menyewakannya. Kemudian setelah itu tersebar akad semacam ini
dan pindah ke negara-negara dunia, hingga ke Amerika Serikat pada tahun 1953
masehi. Lalu tersebar dan pindah ke negara Perancis pada tahun 1962
masehi.Terus tersebar dan pindah ke negara-negara Islam dan Arab pada tahun
1397 hijriyah.
AL-IJARAH AL-MAQRUNAH BIWA’DIN BILBAI’ (SEWA BERSAMA JANJI JUAL
BELI )
Diantara bentuk perubahan sewa beli sebagai akibat kekhawatiran
para pedagang dari resiko dan aturan jual beli kredit adalah munculnya sewa
diikuti dengan janji jual beli. Caranya diadakan transaksi sewa menyewa lalu
disertai dengan janji penjualan dari pihak pemilik (al-mu’jir) untuk
kemaslahatan penyewa (musta’jir) apabila penyewa menampakkan
keinginannya untuk membeli selama masa penyewaan atau waktu tertentu sesuai
dengan kesepakatan dua belah pihak.
AL-IJARAH AT-TAMWILIYAH (LEASING)
Para pengusaha dan pedagang mencari sistem baru dalam jual beli
kredit yang aman dari resiko yang ada dan menghindari dari peraturan jual beli
kredit yang biasa. Maka muncullah istilah leasing sesuai penamaan dalam hukum
Anglo Amerika ketika transaksi ini muncul di Amerika pada tahun 1953 M dan
dikenal di undang-undang negara Prancis dengan nama Credit-Bail ketika masuk ke
negara ini pada tahun 1962 M. Sistem leasing ini memiliki kekhususan
dibandingkan dengan sebelumnya yaitu:
1. Ia adalah transaksi sewa murni dengan memberikan hak memilih kepada
penyewa setelah selesai masa penyewaan :
a. Memiliki barang dengan kompensasi membayar nilai yang telah
disepakati ketika transaksi.
b. Mengembalikan barang kepada pemilik barang (mu’jir/pemberi sewa)
c. Memperbaharui transaksi sewanya.
b. Mengembalikan barang kepada pemilik barang (mu’jir/pemberi sewa)
c. Memperbaharui transaksi sewanya.
2. Transaksi ini membuat cara tersendiri dengan masuknya pihak
ketiga diantara dua transaktor tersebut (al-mu’jir dan al-musta’jir).
Pihak ketiga inilah yang membiayai transaksi dengan membelikan barangnya
kemudian menyewakannya kepada siapa saja yang ingin bertransaksi padanya dalam
waktu tertentu dengan kompensasi pembayaran sewa yang tertentu. Sehingga barang
bukanlah milik pemberi sewa.
Dengan demikian transaksi ini berkembang dengan menyatukan
transaksi sewa beli dari satu sisi dengan pembiayaan dari sisi lainnya, untuk
mempermudah proses sewa menyewa atau jual beli sesuai kesepakatan akhir
transaksi.Akhirnya berdirilah lembaga leasing ini di hampir semua negara
didunia termasuk negara-negara Islam hingga saat ini.
Beberapa ekonom syariat mendefinisikan IMBT dalam banyak ungkapan,
namun dapat disimpulkan IMBT adalah transaksi sewa barang yang diakhiri dengan
pemindahan status pemilikan barang kepada penyewa. Transaksi ini sejenis
perpaduan antara kontrak jual-beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang
diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. IMBT ini memiliki
beragam bentuk sesuai dengan penerapannya atau rekayasa bentuk kebentuk yang
lainnya. Namun dalam kesempatan ini kami utarakan tujuh bentuknya yang sudah
masyhur.
1.
IMBT Tanpa Membayar Kecuali
Angsuran Sewa Saja
Hal ini dapat
dijelaskan dengan transaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan barang yang
disewa dengan kompensasi pembayaran uang yang diserahkan, seperti angsuran sewa
pada barang yang disewa tersebut selama masa tertentu. Penyewa
(musta’jir)menjadi pemilik barang yang disewa tersebut secara outomatis dengan
pelunasan angsuran terakhir tanpa mengadakan transaksi baru. Contohnya :
Seorang pemilik rumah menyatakan kepada penyewanya: Saya sewakan rumah ini
setiap bulannya Rp 4.000.000; selama lima tahun lamanya. Ketentuannya penyewa
apabila telah selesai sempurna pembayaran uang sewa selama lima tahun tersebut
maka rumah tersebut menjadi milik penyewa sebagai kompensasi pembayaran angsuran
sewa tersebut.
Bentuk ini
telah menyatukan antara sewa dengan jual beli yang bergantung pada pelunasan
seluruh nilai barang. Transaksi seperti ini haram karena memiliki
konsekwensi-konsekwensi yang membuatnya haram.
Diantara alasan pengharamannya adalah:
a. Transaksi tidak eksis dan mantap pada salah satu diantara dua
transaksi tersebut. Karena ia berada diantara transaksi, jika ia berhasil
menyempurnakan ansuran maka menjadi jual beli dan tidak sempurna maka uang yang
dibayarkan menjadi uang sewa saja.
b. Terdapat unsur jahalah (ketidakjelasan) nilai barang dan
sewanya dengan sebab ia berada diantara kedua transaksi tersebut.
c. Transaksi ini ada unsur gharar (penipuan)nya dan memakan
harta orang lain dengan cara yang batil. Karena penyewa (musta’jir) terkadang
tidak mampu membayar ansuran sampai lunas. Jika ia tidak mampu melunasi, maka
ia tidak mendapatkan barang padahal apabila akad itu benar jual beli maka ia
telah berhak mendapatkan barang dan wajib melunasi ansuranya. Dan ia juga bisa
menjual barang tersebut dan menggunakan sebagiannya untuk menutupi kekurangan
pembayaran. Demikian juga pembeli berhak mendapatkan nilai pembayarannya ketika
transaksi gagal karena ada aib atau sejenisnya. Kalau ia tidak mampu sehingga
dianggap membayar sewa atas pemakaiannya maka ia telah membayar lebih mahal
dari biaya sewa umumnya, karena berharap mendapatkan kepemilikan barang
tersebut. Sehingga pembeli rugi nilai pembayaran dan barangnya sedangkan
penjual beruntung mendapatkan pembayaran dan barangnya.
Dalam hal ini terdapat tindakan zhalim terhadap salah satu
transaktornya. Ghararnya ada karena ia masuk dalam transaksi atas barang yang
bisa dia dapatkan kalau mampu melunasi seluruh angsuran dan bisa tidak dapat,
sehingga ia telah membayar pada sesuatu yang masih bersifat spekulasi antara
memiliki atau tidak memilikinya.
d. Kedua transaksi yaitu sewa dan beli berlaku pada satu barang.
Dilihat dari prakteknya jelas ada pertentangan antara dua transaksi ini. Dalam
sewa menyewa tanggung jawab dan pemeliharaan ditanggung pemilik (orang yang
menyewakan). Dalam prakteknya ternyata semua ini menjadi tanggung jawab pemakai
atau penyewa. Sehingga jelas ini adalah jual beli atau sewa menyewa dengan
syarat menyelisihi hukum-hukumnya.
Oleh karena itu bentuk ini diharamkan dalam fatwa Hai’ah Kibar
Ulama (Majlis ulama besar) Saudi Arabia dalam keputusan no. 198 tanggal
6/11/1420 H.
2. Sewa Disertai Dengan Penjualan Barang Yang Disewa Dengan Harga
Simbolik
Hal ini dapat dijelaskan dengan transaksi sewa yang memungkinkan penyewa (musta’jir) untuk memanfaatkan barang yang disewanya dengan membayar uang sewa tertentu dalam masa tertentu. Dengan ketentuan, penyewa (musta’jir) mendapatkan hak pemilikan terhadap barang yang disewa tersebut diakhir masa penyewaan dengan membayar uang simbolik sejumlah tertentu. Contohnya: seorang pemilik rumah menyatakan kepada penyewanya: Saya sewakan rumah ini setiap bulannya Rp 4.000.000; selama lima tahun lamanya. Ketentuannya penyewa apabila telah selai sempurna pembayaran uang sewa selama lima tahun tersebut maka rumah tersebut menjadi milik penyewa dengan membayar sejumlah uang simbolik yang sudah ditentukan.
Hal ini dapat dijelaskan dengan transaksi sewa yang memungkinkan penyewa (musta’jir) untuk memanfaatkan barang yang disewanya dengan membayar uang sewa tertentu dalam masa tertentu. Dengan ketentuan, penyewa (musta’jir) mendapatkan hak pemilikan terhadap barang yang disewa tersebut diakhir masa penyewaan dengan membayar uang simbolik sejumlah tertentu. Contohnya: seorang pemilik rumah menyatakan kepada penyewanya: Saya sewakan rumah ini setiap bulannya Rp 4.000.000; selama lima tahun lamanya. Ketentuannya penyewa apabila telah selai sempurna pembayaran uang sewa selama lima tahun tersebut maka rumah tersebut menjadi milik penyewa dengan membayar sejumlah uang simbolik yang sudah ditentukan.
Bentuk ini mengakibatkan ghabn dan memakan harta orang lain dengan
cara batil. Karena ketika transaksi sewa gagal dan penyewa (musta’jir) tidak
mampu melunasi semua nilai sewanya maka ia akan kehilangan hak kepemilikan
terhadap barang yang ingin dia miliki, juga kehilangan angsuran besar yang
lebih mahal dari angsuran sewa pada umumnya.
Hukum bentuk ini adalah haram.
Hukum bentuk ini adalah haram.
3. Sewa Disertai Dengan Penjualan Barang Yang Disewa Dengan Harga
Sebenarnya (Harga Umum). Ini sama dengan bentuk kedua hanya saja nilai pembayaran penjualannya dengan
harga yang sebenarnya (harga umum).
Bentuk ini mengandung transaksi ganda pada satu barang yang mengakibatkan adanya jahâlah (ketidak jelasan) barang dan nilainya. Maka hukumnya haram.
4. Sewa Disertai Dengan Janji Penjualan.
Misalnya, telah terjadi kesepakatan untuk penyewaan barang dengan
diiringi janji jual beli diakhir masa penyewaan apabila uang sewa sudah lunas;
baik hal itu dengan pembayaran sejumlah uang yang dibayarkan diakhir masa sewa
secara simbolik atau sebenarnya bersama pelunasan seluruh angsuran sewa yang
disepakati pelunasannya dalam masa-masa tersebut atau angsuran sewa tersebut
adalah nilai jual barang tersebut dan tidak disepakati untuk membayar
pembayaran lainnya baik secara simbolik atau sebenarnya (hakiki) sesuai
kesepakatan kedua transaktor di akhir masa sewa.
Bentuk ini diperbolehkan apabila janjinya tidak mengikat dan tidak
harus jadi.
5. Sewa Berakhir Dengan Memberikan Hak Pilih Antara Memiliki Atau
Tidak.Misalnya, transaksi penyewaan dengan memberikan hak pilih kepada penyewa
setelah selesai melunasi angsuran sewa seluruhnya untuk memilikih satu diantara
tiga :
a. Membeli barang tersebut dengan harga pasar (umum) ketika
selesai masa sewa atau dengan nilai tertentu yang ditentukan ketika transaksi
terjadi.
b. Memperpanjang masa sewa.
c. Menyelesaikan transaksi sewa dan mengembalikan barangnya kepada
pemiliknya.
Bentuk ini diperbolehkan dan diusulkan untuk dipraktekkan oleh
Majma’ al-Fiqhi al-Islami dalam muktamar ke-5 dalam keputusan no. 6.
6. Pembiayaan Leasing (al-Ijârah at-Tamwîliyah)
Bentuk ini merupakan perkembangan dari ijârah muntahiyah bit
Tamlîk (IMBT) dengan ketentuan bahwa pihak yang melakukan pembiayaan adalah
pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa berasal dari pihak yang membeli langsung
kepada pihak pemilik barang atau mewakilkan pembelian kepada nasabah yang
membutuhkan barang tersebut, kemudian melakukan penyewaan dengan salah satu
bentuk IMBT terdahulu sebagai sewa berakhir dengan kepemilikan.Bentuk ini sangat berhubungan erat dengan murâbahah murakkabah dan hukumnya.
7. IMBT Dengan Pembayaran Bertahap Pada Pembelian Barang Yang
Disewa
Maksudnya ada kesepakatan antara lembaga keuangan dengan nasabahnya agar si nasabah membeli misalnya 50 % dari barang yang akan di sewakan yang merupakan milik lembaga keuangan dengan pembelian tunai atau tempo dengan cara murabahah. Kemudian lembaga keuangan menyewakan barang yang dimilikinya tersebut kepada nasabah sebagai musta’jir dengan jual beli bertahap untuk bagian lembaga keuangan sampai selesai transaksi kemudian barang menjadi milik nasabah sepenuhnya. Dalam pengertian setiap masa nasabah membayar uang sewa barang yang akan mengurangi jumlah saham. Apabila nasabah telah membayar seluruh saham maka barang tersebut menjadi miliknya.
Maksudnya ada kesepakatan antara lembaga keuangan dengan nasabahnya agar si nasabah membeli misalnya 50 % dari barang yang akan di sewakan yang merupakan milik lembaga keuangan dengan pembelian tunai atau tempo dengan cara murabahah. Kemudian lembaga keuangan menyewakan barang yang dimilikinya tersebut kepada nasabah sebagai musta’jir dengan jual beli bertahap untuk bagian lembaga keuangan sampai selesai transaksi kemudian barang menjadi milik nasabah sepenuhnya. Dalam pengertian setiap masa nasabah membayar uang sewa barang yang akan mengurangi jumlah saham. Apabila nasabah telah membayar seluruh saham maka barang tersebut menjadi miliknya.
Demikian juga hukum bentuk ini berhubungan erat dengan
al-Musyârakah al-Mutanâqishah dan hukum-hukumnya.
SUPAYA IMBT TIDAK MELANGGAR SYARI’AT.
Beraneka bentuk praktek IMBT ini membuat para Ulama yang tergabung
dalam Majlis Majma’ al-Fiqh al-Islami internasional yang merupakan bagian dari
Munâzhamah al-Mu’tamar al-Islami (OKI) dalam daurahnya yang ke-12 di kota
Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia menjelaskan kreteria IMBT yang tidak melanggar
syariat. Mereka melakukan muktamar dengan melihat makalah-makalah yang
disampaikan kepada al-Majma’ berkenaan dengan masalah sewa yang berakhir dengan
pemilikan (al-ijâr al-muntahi bit tamlîk). Juga setelah mendengar
diskusi yang berkisar masalah ini dengan peran serta para anggota al-majma’ dan
para pakarnya serta sejumlah ahli fikih, menetapkan kriterianya.
Mereka membagi kreteria menjadi dua :
Pertama: ketentuan bentuk-bentuknya yang terlarang adalah adanya
dua transaksi yang berbeda dalam satu waktu pada satu barang.
Kedua: Ketentuan bentuk-bentuk yang diperbolehkan:
1. Adanya dua transaksi yang terpisah dari sisi waktu,
masing-masing berdiri sendiri. Dalam bentuk ini, transaksi jual beli
dipermanenkan setelah transaksi ijârah (sewa menyewa) atau adanya janji
kepemilikan di akhir masa sewa dan hak khiyâr (hak pilih) setara dengan janji
tersebut dalam hukum.
2. Sewa menyewa tersebut benar-benar ada (fi’liyyah/real)
bukan sebagai kamuflase (sâtirah) jual beli.
a. Jaminan (dhamân) barang yang disewakan adalah tanggung jawab
pemilik, bukan pada penyewa. Dengan demikian penyewa tidak memikul beban semua
yang menimpa barang yang bukan disebabkan oleh kesengajaan atau keteledoran
penyewa. Penyewa tidak diwajibkan sama sekali apabila manfaat barang hilang.
b. Apabila transaksi mengandung asuransi barang sewaan, maka
asuransinya wajib berbentuk ta’âwuni syariat bukan konvensional dan yang
bertanggung jawab untuk membayar adalah pemilik atau yang memberikan sewaan (al-mu`jir)
bukan orang yang menyewanya (al-musta`jir).
c. Diwajibkan penerapan hukum-hukum sewa menyewa selama masa
penyewaan pada transaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan dan penerapan
hukum-hukum jual beli ketika pemilikan barang tersebut.
d. Nafkah pemeliharaan yang tidak menyangkut operasional tanggung
jawab pemberi sewaan (al-mu`jir) bukan kepada penyewa (al-musta`jir)
selama masa penyewaan.
Demikian juga menurut fatwa Dewan Syariah Nasional
No.27/DSN-MUI/III/2002 tentang IMBT, yang mengharuskan terlaksananya akad ijârah
terlebih dahulu, lalu akad pemindahan kepemilikan (jual beli/hibah) hanya dapat
dilakukan setelah masa ijârah selesai. Karena itu janji pemindahan kepemilikan
di awal akad ijarah adalah wa’ad atau janji yang hukumnya tidak mengikat. Jadi
jika janji tersebut ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan
kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah (sewa) selesai.[1]
Wabillahittaufiq.
Wabillahittaufiq.
(Makalah ini disusun dengan perubahan dan peringkasan dari Kitab
al-‘Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah karya DR. Abdullah bin Muhamma al-‘Umrani,
cet pertama tahun 1428 penerbit daar Kunuuz Isybiliya dari hlm 193 – 227), [Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H)
Sumber: https://almanhaj.or.id/3877-hukum-sewa-beli-atau-imbt-al-iijaar-al-muntahi-bit-tamlik.html
Footnote
[1]. Fatwa ini disampaikan penulis secara bebas tidak terikat dengan teks fatwanya yang asli.
[1]. Fatwa ini disampaikan penulis secara bebas tidak terikat dengan teks fatwanya yang asli.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi Lc; Editor: Ust. Sofyan Kaoy Umar. Email:
ustazsofyan@gmail.com
=====================
* Ust. Kholid Syamhudi, Lc. Alumnus Universitas Islam Madinah. Pimpinan PP Ibnu Abbas Sragen,
Pengasuh Ma’had Al Ukhuwah dan Dewan Pembina Perkumpulan Lembaga Dakwah dan
Pendidikan Islam Indonesia (PULDAPII) serta Ketua Pembina Yayasan Bina Pengusaha
Muslim dan Yufid.
Comments
Post a Comment