Skip to main content

Perjanjian Istishna' dan Hukum-hukumnya

Perjanjian Istishna' dan Hukum-Hukumnya

Definisi Istishna’ (Pemesanan)
Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta dibuatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: Perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat dibuatkan oleh penjual, atau meminta dibuatkan dengan cara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual. Contohnya seseorang pergi ke salah seorang tukang, misalnya tukang kayu, tukang besi, atau tukang jahit. Lalu ia mengatakan: “Tolong buatkan untuk saya barang anu dengan jumlah sekian.” Syarat sahnya perjanjian pemesanan ini adalah bahwa bahan baku harus berasal dari si tukang. Kalau berasal dari pihak pemesan atau pihak lain, tidak disebut pemesanan, tetapi menyewa tukang.
Hukum Istishna' (Pemesanan)
Pemesanan barang menurut mayoritas ulama termasuk salah satu aplikasi jual beli as-Salm. Sehingga berlaku baginya seluruh syarat-syarat jual beli as-Salm yang telah disinggung sebelumnya. Kemungkinan yang terpenting dan terkuat di antaranya adalah harus didahulukan pembayaran, mengetahui barang yang akan diserahterimakan nanti baik jenis, ukuran maupun waktu penyerahannya.
Menurut kalangan Hanafiyah pemesanan adalah perjanjian tersendiri yang memiliki hukum-hukum tersendiri pula. Mereka berbeda pendapat, apakah bentuk ini merupakan perjanjian atau transaksi biasa. Yang benar menurut mereka bahwa pemesanan adalah perjanjian dimana pembelinya memiliki hak pilih, bukan semacam perjanjian (yang harus ditepati). Sandaran kalangan Hanafiyah tentang disyariatkannya pemesanan barang itu adalah berdasarkan konsep istihsan. Istihsan menurut mereka adalah beralihnya seorang mujtahid dari satu hukum dalam satu perkara yang status hukumnya sama dengan perkara sejenis karena alasan yang lebih kuat yang mengharuskan ia meninggalkan pendapat pertama. Sedangkan konsekuensi qiyas pada perjanjian ini menetapkan tidak dibolehkannya sistem pemesanan karena sama dengan menjual barang yang tidak/belum ada, namun tidak mengikuti cara jual beli as-Salm.
Padahal Nabi telah malarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki, namun jual beli as-Salm masuk dalam pengecualian. Namun perjanjian ini pada akhirnya dibolehkan karena terbiasanya umat manusia melakukan jual beli itu tanpa ada ulama yang menyalahkannya di berbagai tempat dan di segala masa, karena umat amat membutuhkannya. Karena ter-kadang seseorang membutuhnya barang dengan kriteria dan bentuk special, baik itu perhiasan, sepatu, perkakas rumah tangga dan sejenisnya. Jarang sekali secara kebetulan kriteria tersebut sudah diproduksi, sehingga membutuhkan pemesanan, sehingga adanya kebutuhan itu menyebabkan cara ini dibolehkan.
Kalangan Hanafiyah menetapkan syarat dibolehkannya pemesanan itu beberapa persyaratan khusus berikut, selain persyaratan jual beli secara umum:  Penjelasan tentang jenis pesanan, macam, ukuran dan kriterianya. Barang pesanan harus merupakan barang yang menurut kebiasaan sudah biasa dipesan, seperti memesan bejana, sepatu, senjata dan sejenisnya. Karena dikecualikannya pemesanan ini dari menjual barang yang tidak ada adalah karena keterbiasaan masyarakat melakukan pemesanan tersebut. Selama masyarakat tidak terbiasa melakukan pemesanan barang tertentu, hukumnya kembali kepada asalnya, yakni dilarang. Karena kebiasaan masyarakat menjadi dalil dan hujjah akan kebutuhan. Tidak boleh ada penanggalan waktu. Kalau pemesanan itu dengan penanggalan waktu, menjadi jual beli as-Salm menurut Abu Hanifah, sehingga harus memenuhi persyaratan jual beli tersebut, seperti pembayaran dimuka, tidak adanya hak pilih bagi masing-masing pihak, kalau penjual telah menyerahkan barang pesanan sesuai dengan kriterianya. Dan menurut Abu Yusuf dan Muhammad persyaratan ini tidak diberlakukan, pokoknya hanya pemesanan saja.
Kriteria Istishna' (Pemesanan)
Pemesanan menurut mayoritas hukumnya adalah seperti jual beli as-Salm, dilihat dari syarat-syarat atau komitmen dari perjanjian: Adapun menurut kalangan Hanafiyah, penulis ringkaskan sikap mereka dalam persoalan ini sebagai berikut:
1. Pemesanan adalah perjanjian non permanent sebelum kepentingan kedua belah pihak terlaksana, tanpa perlu diperselisihkan. Jadi masing-masing di antara kedua belah pihak mem-punyai hak pilih untuk membatalkan perjanjian sebelum itu.
2. Kalaupun si tukang telah selesai mengerjakan barang pesanan, ia tetap memiliki hak pilih sebelum hasil buatannya itu dilihat oleh pemesan. Bahkan ia boleh menjualnya kepada siapa saja yang dia kehendaki.
3. Namun kalau si tukang telah berhasil membuatkan pe-sanan sesuai dengan kriteria yang diminta lalu si pemesan melihatnya, si pembuat sudah tidak memiliki pilihan lain. Hak pilih tinggal dimiliki oleh si pemesan. Kalau ia mau ia bisa mem-belinya, dan kalau tidak, ia bisa membatalkannya. Demikian pen-dapat Abu Hanifah dan Muhammad.
Karena kedudukannya seperti menjual barang yang tidak tampak. Menurut Abu Yusuf dalam pemesanan sama sekali tidak ada hak pilih. Karena pemesanan itu adalah menjual barang yang tidak hadir namun dalam kepemilikan, seperti jual beli as-Salm.
====================
Oleh: Abu Mujahid ( Pengasuh Yayasan Al-Manaar).
(  Sumber; https://almanaar.wordpress.com/2009/03/06/perjanjian-pemesanan-dan-hukum-hukumnya/ ) di sadur dari: Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi


Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah?

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah? By  Nizar Alshubaily Editor: Ust Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Recent debates in social media still point to a level of unease about what constitutes currency in Shariah and doubts remain about paper money.  Some claim that paper money is Haram, and insist that only gold and silver are legitimate currencies. Others demand that paper money must be backed by gold and silver. Some see paper money as a product of the interest-bearing international banking system, and therefore non-Shariah compliant.  Some of the statements made concerning currencies in Shariah claim that Fiat currencies are Haram since they are based on debt and interest, while other statements claim that Shariah requires a currency to have intrinsic value. Yet others believe gold and silver are Sunnah, specifically Sunnah Taqririya, one of the three types of Sunnah, more related to tacit approval.  Nothing could be further from the truth....