Skip to main content

Pembiayaan Ekspor Syariah

Pembiayaan Ekspor Syariah


Pendahuluan
Ajaran ekonomi syariah sangat mendorong kegiatan ekpor untuk memperkuat ekonomi sebuah Negara dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ibnu Taymiyah mengatakan, ekpor juga akan menguatkan kurs mata uang domestic. Menurut catatan sejarah Islam, kegiatan ekspor dan perdagangan international  malah telah dipraktekkan Nabi Muhammad sejak usia relatif muda. Umar bin Khattab juga selalu mengingatkan para sahabat untuk memperhatikan dan mengutamakan  kegiatan perdagangan (ekspor) dalam rangka mewujudkan struktur ekonomi yang kuat dan mandiri, yaitu ekonomi yang kuat, tidak tergantung sepihak kepada Negara lain.  Dari ungkapan Umer bin Khattab tersirat desakan  agar sebuah Negara tidak deficit dalam neraca perdagangan. Tidak mengherankan jika Nabi Muhammad mengatakan bahwa 90 persen pintu rezeki terdapat dalam dunia perdagangan (dan industri). Ini artinya, untuk menjadi Negara yang maju, harus banyak mengembangkan kegiatan industry dan perdagangan international.
Bangsa Indonesia seharusnya menggalakkan kegiatan ekpor untuk membangun ekonomi Indonesia yang lebih kuat, maju dan mandiri, Salah satu upaya ke arah itu adalah mengembangkan kegiatan ekspor syariah melalui pembiayaan sector riel yang berorientasi ekspor, baik pembiayaan modal kerja maupun investasi.
 Pembiayaan Ekspor
 Indonesia Eximbank sebagai Lembaga Pembiayaan Ekpor Indonesia merupakan lembaga pembiayaan yang banyak memberikan pembiayaan kepada beberapa eksportir yang bergerak di bidang industry, seperti industri tirecord, karpet, sarung, dan batubara yang  diekspor ke Negara non tradisional, yaitu Thailand, Australia, Malaysia, Brunei, Timur Tengah dan India. Yang dimaksudkan dengan Negara non tradisional adalah Negara di luar Amerika dan Eropa.
Pembiayaan ekspor  syariah umumnya diberikan kepada segmen UKM yang beriorentasi ekspor termasuk UKM yang bergerak di bidang usaha yang menunjang ekspor. Pembiayaan kepada UKM dimaksudkan agar Lembaga Pembiayaan yang ada  dapat memberikan pemerataan baik dari sisi sebaran komoditi maupun geografis. Tujuan pemberian pembiayaan kepada UKM ekspor adalah untuk dapat membantu UKM memperkuat permodalan dan diharapkan produk yang dihasilkan mempunyai daya saing di pasar ekspor. Bahkan pembiayaan ekspor secara syariah tidak saja membiayai pengusaha domestic, tetapi juga overseas financing,yaitu pembiayaan kepada investor Indonesia yang akan berinvestasi di luar negeri untuk mendukung peningkatan devisa.
Upaya yang dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dalam membiayai usaha dan industry yang berorietasi ekspor patut diapresiasi dan didukung, karena upaya ini selain meningkatkan ekspor Indonesia untuk mewujudkan surplus dalam neraca perdagangan, yang pada gilirannya berdampak positif bagi ekonomi makro Indonesia, juga untuk menerapkan perintah dari para ulama.
Dalam perdagangan international, instrument yang paling penting adalah Letter of Credit (L/C. Menurut fatwa DSN-MUI No 35/2002, Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh LKS atau Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) untuk memfasilitasi perdagangan ekspor  dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.
Akad-Akad Syariah dalam Pembiayaan Ekspor
Bank Syariah atau Indonesia Eximbank yang memberikan pembiayaan ekspor secara syariah memberikan banyak alternatife akad, sesuai dengan bentuk, jenis, sifat  dan karakter usaha dan kebutuhan pembiayaan ekspor. Semua alternatif akad yang tersedia didasarkan dan merujuk kepada Fatwa DSN-MUI.
Menurut fatwa DSN-MUI No 35/2002, Akad-akad yang dapat digunakan untuk L/C Ekspor yang sesuai dengan syariah antara lain :
1. Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
a. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
b. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuer bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah;
c. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam prosentase.

2Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan :
a. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
b. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuer bank);
c. Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor;
d. Besar biaya (ujrah) harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
e. Pembayaran biaya (ujrah) dapat diambil dari dana talangan  sesuai kesepakatan dalam akad. Artinya Bank dapat menerima ujrah dari nasabah eksportir  sebelum importer di Luar negeri melakukan pembayaran dan sebelum Bank menerima pembayaran melalui issuer bank.
f. Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).

3.Akad Wakalah Bil Ujrah dan Mudharabah dengan ketentuan:
a.Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; Pemberian dana pembiayaan ini menggunakan akad mudharabah.
b.Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; Untuk ini diguaan akad wakalah bil Ujrah.
c.Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuer bank). Penagihan ini termasuk dalam akad wakalah bil ujrah tadi.
d.Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima(sight) atau pada saat jatuh tempo pada waktu yng ditentukan (usance);
e.Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuer bank) dapat digunakan untuk:
-Pembayaran  biaya (ujrah);
-Pengembalian dana mudharabah;
-Pembayaran bagi hasil.
f. Besar biaya (ujrah) harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.

4. Akad Musyarakah dengan ketentuan : 
a. Bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;
b. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
c. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuer bank);
d. Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima atau pada saat jatuh tempo;
e. Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuer bank) dapat digunakan untuk:
Pengembalian dana musyarakah;
Pembayaran bagi hasil.

5. Akad Al-Bai’ (Jual-beli) dan Wakalah dengan ketentuan:
a. Bank membeli barang dari eksportir;
b. Bank menjual barang kepada importir di Luar Negeri yang diwakili oleh eksportir;
c. Bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada importir;
d. Pembayaran oleh bank penerbit L/C (issuer bank) dapat dilakukan pada saat dokumen diterima atau pada saat jatuh tempo.

Selanjutnya menurut fatwa DSN MUI No 60/Tahun 2007, pembiayaan ekspor  oleh lembaga keuangan dapat dilakukan dengan  konsep Penyelesaian Piutang dalam Ekspor. Menurut fatwa tersebut yang dimaksud dengan Penyelesaian Piutang dalam Ekspor adalah pengalihan penyelesaian piutang dari pihak yang berpiutang kepada LKS, Dalam konteks ini terjadi pengalihan piutang dari nasabah eksportir kepada Bank, sehingga Bank-lah yang menagih piutang tersebut kepada importir (pembeli) di luar negeri. Dengan demikian LKS (Bank)  menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang (importir di luar negeri ) atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang tersebut.
Adapun ketentuannya sebagai berikut :
1. Akad yang dapat digunakan dalam Anjak Piutang Ekspor adalah Wakalah bil Ujrah yang dapat disertai dengan  Qardh.
2. Pihak yang berpiutang mewakilkan kepada pihak LKS untuk melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor dan menagih piutang kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang;
3. LKS melakukan penagihan (collection) kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang;
4. LKS dapat memberikan dana talangan (Qardh) kepada pihak yang berpiutang sebesar nilai piutang;
5. Atas jasanya untuk melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor dan menagih piutang tersebut, LKS dapat memperoleh ujrah/fee.
6. Besar ujrah harus disepakati pada saat akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase yang dihitung dari pokok piutang.
7. Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan  sesuai kesepakatan dalam akad. Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).

Tulisan: Agustianto M.Ag

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Portfolio and Default Risk of Islamic Microfinance Institutions

Portfolio and Default Risk of Islamic Microfinance Institutions By: Dr. Luqyan Tamanni, MEc Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Abstract Islamic microfinance is a growing sector that is expected to provide a long-term solution to poverty in the Muslim world. The role of microfinance institutions in poverty alleviation is still debatable, however, established literature provides assurance that microfinance does contribute to the development of the financial sector and reduction of poverty in developing countries. The rise of competition in the microfinance sector has forced many microfinance institutions to resort to commercial funding and lending activities, which according to some studies has led microfinance institutions to become riskier. The paper explores portfolio and default risk of Islamic Microfinance Institutions (IMFIs) and finds that they are facing relatively lower risks than conventional MFIs. Using Ordinary Least Squares regression to analyse port...