Skip to main content

Mengatasi Kemiskinan

Mengatasi Kemiskinan


Melihat kemiskinan masih ada di mana-mana, maka seorang mahasiswa pada suatu kesempatan menanyakan, apakah ada konsep yang bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan, khususnya di Indonesia ini. Penanya tersebut melihat bahwa sedemikian ideal cita-cita bangsa ini, yaitu ingin melindungi dan mensejahterakan seluruh warganya, namun pada kenyataannya masih banyak di antara mereka yang miskin selama hidupnya. Mereka melihat di mana-mana, masih terdapat orang-orang miskin, baik tua, muda bahkan anak-anak. Mereka menjadi pengemis di berbagai tempat atau dari rumah ke rumah. Tampak sekali, bahwa mereka meminta-minta sebatas untuk memenuhi kebutuhan menyambung hidupnya, atau sekedar untuk makan. Tempat tinggal mereka sederhana dan kadang tidak pantas dihuni oleh manuasia yang memiliki harga diri atau harkat dan martabat.

Kontras dengan pemandangan itu, mereka juga melihat di beberapa tempat terdapat rumah mewah dengan harga milyaran rupiah. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang memiliki lebih dari satu. Artinya di samping terdapat orang-orang miskin, terdapat mereka yang kaya dan bahkan terlalu kaya.  Oleh karena itu sebenarnya, negeri ini tidak terlalu tepat disebut miskin, melainkan lebih cocok disebut sebagai Negara, yang secara ekonomis kurang merata. Senjang itu dapat dilihat tampak sedemikian jauh. Masih ada orang yang sebatas memenuhi kebutuhan makan saja sulit terpenuhi, akan tetapi sebaliknya, ada yang terlalu berkelebihan. Itulah gambaran kesenjangan yang terjadi di negeri ini.

Maka kesenjangan itu harus diperkecil melalui program-program yang jelas membela mereka yang lemah. Pemberdayakan masyarakat di berbagai bidang harus dilakukan secara tepat. Pemberdayaan dengan cara memberi modal dan ketrampilan selama ini, kadang belum membawa dampak secara siginifikan, oleh karena kelompok sasaran itu harus bersaing dengan mereka yang kuat, sehingga selalu kalah, dan bahkan mati dimangsa.

Bahwa kehidupan di masyarakat kadangkala tergambar seperti apa yang terjadi dalam kehidupan di laut atau samudera. Kehidupan di laut selalu terdapat ikan-ikan besar yang selalu memangsa ikan-ikan kecil. Ikan-ikan kecil itu tidak bisa mendapatkan makanan, bukan karena tidak mau atau bisa mencarinya, melainkan oleh karena ketakutan dengan ikan besar bahkan menjadi mangsanya. Sebagai pilihan aman, mereka hanya mencari di wilayah-wilayah yang tidak mungkin didatangi oleh ikan besar, sekalipun tempat itu sudah terlanjur gersang, atau bahkan tidak tersedia makanan.

Kelompok ikan-ikan kecil tidak mendapatkan makanan, bukan disebabkan mereka tidak bisa mencarinya, melainkan karena kalah bersaing, dan bahkan justru dimangsa oleh ikan besar itu sendiri. Gambaran seperti itu juga terjadi dalam kehidupan manusia dan masyarakat terbuka seperti sekarang ini. Orang-orang miskin sebenarnya telah kalah dari berbagai persaingan dengan orang-orang yang kaya akses itu.

Sering kita dengar dan bahkan lihat misalnya, para peternak, petani dan pedagang berskala kecil, tatkala mulai maju, maka secara mendadak disapu habis oleh pengusaha-pengusaha besar. Peternak, petani dan pedagang kecil sering menjadi lumpuh dan rontok karena permainan pengusaha besar yang sangat sulit dijinakkan. Kekuatan itu semakin mematikan, tatkala pengusaha besar berkoalisi dengan penguasa, maka habislah kekuatan ekonomi masyarakat kecil.

Oleh karena itu sebenarnya dalam memahami kehidupan ekonomi di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana kehidupan di laut, kelompok ikan kecil berupa nener, tri atau sejenisnya, bukan karena tidak mau menjadi besar, melainkan oleh karena tidak berdaya menjadi besar. Bahkan kadang mereka justru dihirup oleh ikan hiu yang besar. Demikian pula, gambaran itu terhadap orang-orang berekonomi lemah. Mereka tidak berdaya oleh karena adanya pelaku ekonomi kuat dan besar.

Maka untuk membesarkan mereka tidak cukup dengan hanya memberi penataran, pelatihan, modal, atau usaha-usaha lain serupa itu. Strategi membesarkannya mereka seharusnya ditempuh dengan cara memberikan perlindungan yangf cukup. Perlu ada usaha-usaha menjinakkan para ikan besar atau hiu itu, ---------pengusaha besar, agar keberadaannya tidak mengganggu dan apalagi memangsa usaha ekonomi kecil. Pemerintah sebenarnya memiliki pintu untuk membuat aturan main untuk melindungi orang-orang lemah dengan berbagai aturan. Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya telah mengatur hal itu. Bahwa sumber-sumber ekonomi yang diperuntukkan bagi kehidupan masyarakat umum dikuasai oleh Negara. Klausul itu sebenarnya adalah untuk menjamin agar rakyat kecil terlindungi dari keserakahan siapapun.

Akhirnya bahwa memberdayakan masyarakat miskin, atau mengurangi kemiskinan, tidak saja cukup dengan memberi keterampilan, pelatihan, dan modal yang dibutuhkan, melainkan juga masih diperlukan upaya melindungi mereka dari kekuatan yang mematikannya. Masyarakat miskin tidak cukup dilihat sebatas sebagai pihak yang malas dan atau tidak memiliki kesempatan, melainkan juga karena sedang terkalahkan dan bahkan menjadi mangsa dari mereka yang lebih besar. Oleh karena itu melindungi mereka adalah merupakan bagian penting dari upaya mengatasi kemiskinan itu. Wallahu a'lam.
Penulis adalah Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah?

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah? By  Nizar Alshubaily Editor: Ust Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Recent debates in social media still point to a level of unease about what constitutes currency in Shariah and doubts remain about paper money.  Some claim that paper money is Haram, and insist that only gold and silver are legitimate currencies. Others demand that paper money must be backed by gold and silver. Some see paper money as a product of the interest-bearing international banking system, and therefore non-Shariah compliant.  Some of the statements made concerning currencies in Shariah claim that Fiat currencies are Haram since they are based on debt and interest, while other statements claim that Shariah requires a currency to have intrinsic value. Yet others believe gold and silver are Sunnah, specifically Sunnah Taqririya, one of the three types of Sunnah, more related to tacit approval.  Nothing could be further from the truth....