Skip to main content

Menabung Emas di Pegadaian

Menabung Emas di Pegadaian
Skemanya kurang lebih sebagai berikut; nasabah setor dana dengan minimal saldo untuk membuka tabungan, senilai 0,1 gr emas. Selanjutnya, nasabah bisa membayar senilai berapapun. Dan jika nasabah ingin mencetak atau mengambil emas batangan yang sudah dia tabung, dia harus memiliki saldo seharga jumlah minimal emas batangan 5 gr, dan akan dikenakan biaya cetak.
Selain itu, nasabah akan dikenakan biaya administrasi awal sebesar Rp10.000 dan biaya fasilitas titipan selama 12 bulan sebesar Rp30.000.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Emas maupun uang yang digunakan untuk membeli emas, termasuk benda ribawi yang satu illah (latar belakang), karena keduanya merupakan alat tukar (muthlak tsamaniyah).
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ ، يَدًا بِيَدٍ ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dibarter dengan emas, perak dengan perak, gandum halus dengan gandum halus, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, maka takarannya harus sama dan harus tunai. Jika benda yang dipertukarkan berbeda, maka takarannya boleh sesuka hati kalian, asalkan tunai.” (HR. Muslim 2970)
Anda bisa perhatikan kalimat yang terakhir,
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika benda yang dipertukarkan berbeda, maka takarannya boleh sesuka hati kalian, asalkan tunai.
Ketika kita beli emas, berarti terjadi pertukaran uang dengan emas. Dan ini dua benda ribawi yang berbeda, namun satu kelompok, dan dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan harus dilakukan secara tunai.
Dalam keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami dinyatakan,
بخصوص أحكام العملات الورقية : أنها نقود اعتبارية ، فيها صفة الثمنية كاملة ، ولها الأحكام الشرعية المقررة للذهب والفضة من حيث أحكام الربا والزكاة والسلم وسائر أحكامهما
“Terkait hukum mata uang kartal: Mata uang ini termasuk alat tukar yang sah, memiliki karakter alat tukar yang sempurna. Mata uang ini berlaku hukum sebagaimana yang berlaku pada emas, perak, seperti aturan benda ribawi, aturan zakat, salam, dan semua aturan lainnya. (Majallah al-Majma’ – Volume 3, hlm. 1650)
Jika pertukaran uang dengan emas ini dilakukan secara tidak tunai, maka melanggar larangan riba nasiah.
Menabung Emas di Pegadaian
Dari skema yang disampaikan di atas, ada 2 tahapan akad yang terjadi:
[1] Akad jual beli emas
Akad jual beli emas dibolehkan, selama dilakukan secara tunai. Karena itu, jika pegadaian hanya menyediakan emas batangan ukuran 5gr, maka nasabah yang ingin membeli emas, harus menyediakan uang yang cukup untuk menebus emas 5gr itu. Artinya, emas 5gr ini harus dibeli secara tunai.
Jika nasabah tidak memiliki dana yang cukup senilai emas 5gr, bisa dipastikan dia akan membeli emas 5gr itu secara tidak tunai (dicicil). Terlebih pihak pegadaian menerima cicilan senilai minimal emas 0,1gr.
Sebagai ilustrasi,
Jika harga emas 500rb/gr, berarti nasabah yang ingin membeli emas secara tunai, dia harus memiliki dana 2,5jt. Sehingga 2,5jt ditukar dengan emas 5gr secara tunai.
Jika nasabah membayar dengan cara dicicil, misalnya 50rb/hari, berarti terjadi pertukaran emas dengan uang secara tidak tunai. Dan ini hukumnya dilarang, termasuk riba nasiah.
[2] Akad wadiah (titip barang)
Nasabah boleh saja menitipkan emasnya di pegadaian, sesuai ketentuan yang berlaku di sana. Dan pegadaian boleh menetapkan biaya administrasi untuk akad ini. Pegadaian berhak mendapatkan upah, karena telah menyediakan jasa penitipan.
Kesimpulannya
Skema menabung emas di pegadaian termasuk akad bermasalah, karena terdapat RIBA NASI’AH, yaitu pembelian emas secara kredit. Solusi yang kami berikan, layanan pembelian emas hanya berlaku bagi nasabah yang bisa membeli emas secara tunai, dan tidak dicicil.
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah?

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah? By  Nizar Alshubaily Editor: Ust Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Recent debates in social media still point to a level of unease about what constitutes currency in Shariah and doubts remain about paper money.  Some claim that paper money is Haram, and insist that only gold and silver are legitimate currencies. Others demand that paper money must be backed by gold and silver. Some see paper money as a product of the interest-bearing international banking system, and therefore non-Shariah compliant.  Some of the statements made concerning currencies in Shariah claim that Fiat currencies are Haram since they are based on debt and interest, while other statements claim that Shariah requires a currency to have intrinsic value. Yet others believe gold and silver are Sunnah, specifically Sunnah Taqririya, one of the three types of Sunnah, more related to tacit approval.  Nothing could be further from the truth....