Skip to main content

Membangun Mindset Enterpreneurship Sejak Dini

Membangun Mindset Enterpreneurship Sejak Dini


Menurut terminologi bahasa, mindset berarti pola pikir atau cara pandang. Maksudnya cara seseorang dalam melihat, menentukan dan mengambil keputusan terhadap masalah atau objek tertentu. Keputusan yang diambil tersebut sebagai buah dari pola dan suasana pikirannya,sehingga baik dan buruknya buah pikiran, tergantung kepada pola pikir sebelumnya.
Terdapat hadits dalam Islam yang cukup populer, yaitu tentang sebab akibat dari keadaan hati (qalbu), yang dikatakan Nabi: "Ingatlah, sesunguhnya dalam jasad ini terdapat segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan jika segumpal daging tersebut buruk, maka buruklah seluruh tubuh, segumpal daging tersebut adalah hati".
Pertanyaannya adalah apakah ada hubungan yang signifikan antara hati dengan akal sebagai alat untuk berpikir?
Jawabannya adalah terdapat hubungan yang sangat erat antara akal dengan hati. Hati (qalbu) adalah core manusia dan berada pada lapis ketiga. Jadi manusia adalah makhluk dwi kutub, jasmaniyah dan rohaniyah. Ia tersusun atas tujuah subtansi dua yang peratama merupakan unsur jasmaniyah, yaitu qashr dan shadr. Empat berikutnya merupakan unsur rohaniyah yaitu qalbu, shaghaf, fuad, nur, dan iman.
Hati merupakan hulu, sedangkan akal adalah hilir. Situasi hilir setidaknya akan sangat dipengaruhi oleh keadaan hulunya, jika hulunya jernih, maka ada indikasi pancaran yang jernih menuju ke hilir. Jadi amat sangat penting untuk mempastikan hati dalam keadaan jernih, stabil, sehat dan baik, agar ia akan melanjutkan informasinya ke akal sesuatu yang positif pula. 
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka langkah sistematis untuk membangun jiwa yang unggul, kreatif, inovatif, dan enterpreneur adalah pendidikan, pelatihan, riyadhah, pembinaan, kontemplasi, pembiasaan, peneladanan, dan pengamalan serta konsistensi (istiqamah). Untuk dapat konsisten, maka perlu pengawasan dan kontrol yang bagus.
Fungsi kontrol dapat dilakukan oleh kerjasama antara akal dan hati, sebagai pancaran dari semua komponen mualai dari iman, nur, fuad, shagaf, qalbu, shadr, sampai qashr. Semua adalah ekspresi dari kualitas iman.
Iman adalah anugrah terbesar yang Allah berikan kepada manusia. Sehingga dengan potensi spiritualitas ini, manusia dapat menjaga jati diri dan kesuciannya, karena sadar bahwa ia berasal dari Yang Maha Suci, maka selamanya akan melakukan kinerja yang suci.
Pendidikan dan pelatihan, pembinaan dan pengasuhan yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal, akan berhasil dengan baik jika dilakukan dengan memadukan keenam substansi tadi secara integral dan simultan. Sinergisitas keenam unsur manusia tersebut akan membantu tumbuh kembangnya potensi manusia lainnya.
Salah satu potensi manusia yang perlu mendapat perhatian serius adalah potensi akal. Akal dapat melahirkan berbagai kreativitas, inovasi dan jiwa semangat menemukan sesuatu yang lebih baru, langkah-langkah pembaharuan dan sebaginya.
Semangat enterpreneur tidak kalah pentingnya untuk juga mendapat perhatian dan pupuk yang baik, kontinyu dan terkendali. Kendali yang paling efektif bagi semangat entrpreneur adalah pendidikan hati. Dengan kata lain pendidikan iman harus menajdi dasar dan pondasi, agar enterpreneurnya tidak keluar dari nilai-nilai ilahiyah.
Waktu yang paling baik dan efektif untuk mendidikan dan mengawal jiwa enterpreneurship yang Islami adalah sejak dini. Sejak dini di sini maksudnya adalah sejak awal adanya kehidupan. Awal kehidupan itu berarti sebelum lahir, semenjak Allah Swt memasukan roh ke dalam rahim, manusia (wanita), yaitu pada usia empat bulan. Sejak itulah Suami atau ayah harus melakukan pendidikan. Inilah yang disebut dengan pendidikan prenatal.
Secara psikologis, janin yang masih dalam kandungan perlu sentuhan langsung dari orang tuanya, baik ibunya sendiri maupun ayahnya. Kata-kata, kebiasaan, tingkah laku orang tua bayi tersebut adalah secara otomatis pendidikan bagi bayi tersebut. Bahkan profesi ayah pun akan menjadi referensi bagi anak, anak akan melihat dan mencotoh orang tuanya sebagai informasi awal tentang bekerja.
Dari sini akan muncul, tumbuh dan berkembang, alam mindset anak tentang pekerjaan. Jiwa dan etos kerja akan mulai dirasakan oleh seorang anak setiap ia melihat dan mendapatkan komunikasi kerja dengan orang tuanya.
Oleh karena itu orang tua perlu mulai membuat perencanaan yang baik untuk menualrkan jiwa usaha, bisnis atau enterpreneur sejak dini, agar sejak dini anak telah mengenal, bahkan merasakan pentingnya bekerja yang bermanfaat. 
Tulisan: mugni muhit

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Portfolio and Default Risk of Islamic Microfinance Institutions

Portfolio and Default Risk of Islamic Microfinance Institutions By: Dr. Luqyan Tamanni, MEc Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Abstract Islamic microfinance is a growing sector that is expected to provide a long-term solution to poverty in the Muslim world. The role of microfinance institutions in poverty alleviation is still debatable, however, established literature provides assurance that microfinance does contribute to the development of the financial sector and reduction of poverty in developing countries. The rise of competition in the microfinance sector has forced many microfinance institutions to resort to commercial funding and lending activities, which according to some studies has led microfinance institutions to become riskier. The paper explores portfolio and default risk of Islamic Microfinance Institutions (IMFIs) and finds that they are facing relatively lower risks than conventional MFIs. Using Ordinary Least Squares regression to analyse port...