Skip to main content

Investasi Dana Haji Pada Sukuk Infrastruktur

Investasi Dana Haji Pada Sukuk Infrastruktur

 
1. Prasyarat penempatan dana haji
Adanya penumpukan dana haji dalam jumlah yang sangat masif merupakan dampak dari semakin meningkatnya keinginan masyarakat untuk menunaikan ibadah haji dan jadwal tunggu keberangkatan yang semakin lama karena keterbatasan kuota haji. Menurut info dari Kementerian Agama waktu tunggu tercepat  adalah 10 tahun untuk wilayah Sulawesi Utara, sedangkan waktu terlama adalah 24 tahun yaitu untuk wilayah Sulawesi Selatan. Jika diurut per kota/kabupaten maka kabupaten Sanggau memiliki waktu tunggu tercepat yaitu 5 tahun dan kabupaten Sidrap merupakan kabupaten dengan waktu tunggu terlama yaitu 32 tahun. Untuk memperoleh daftar tunggu, jamaah haji harus melunasi  setoran awal senilai kurang lebih Rp 25 juta. Dapat dibayangkan dana yang terkumpul apabila saat ini calon jamaah haji yang masih berada di dalam daftar tunggu mencapai 1,96 juta orang. Pada akhir tahun 2016, diperkirakan total setoran dana haji ke Kementerian Agama mencapai Rp76 triliun dan tidak lama lagi akan menembus angka Rp100 triliyun.
Nilai sebesar itu, bukan hanya menyimpan nilai ekonomis yang sangat tinggi tetapi juga menyimpan nilai politis yang tinggi pula. Untuk menjaga agar dana haji dapat dikelola dengan baik, UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, mengamanahkan untuk membuat suatu badan khusus pengelolan keuangan haji (Badan Pengelola Keuangan Haji atau BPKH) yang bertugas mengelola penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban keuangan haji. Dalam pengembangan keuangan haji, BPKH harus menempatkan dana umat ke dalam instrumen investasi syariah, secara hati-hati, aman dan bermanfaat. BPKH merupakan badan yang menurut UU menerima amanat untuk mengelola dana umat sebaik-baiknya.
Akhir-akhir ini di media mucul suatu polemik mengenai boleh tidaknya dana haji diinvestasikan ke dalam pembiayaan infrastruktur. Sebetulnya menurut UU di atas, BPKH hanya mempunyai batasan investasi pada instrumen syariah yang aman dan bermanfaat. Jadi tidak ada batasan pada sektor apa dana tersebut akan diinvestasikan. Namun yang lebih ditekankan adalah pada sisi keamanan, kemanfaatan dan kehati-hatiannya (prudensial). Jangan sampai dana tersebut diinvestasikan pada instrumen yang kurang aman hanya karena mengejar imbal hasil yang cukup tinggi. Kepentingan jamaah untuk memperoleh manfaat tambahan atas dananya yang tersimpan sekian lama harus memperoleh prioritas, bukan sekedar mengejar keuntungan berinvestasi. Sadangkan dari sisi Jamaah Haji, sebenarnya jamaah sudah memberikan amanah melalui Akad Wakalah ketika membayara setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).
Saat ini,  dana haji yang telah terkumpul biasanya diinvestasikan ke deposito di beberapa perbankan syariah di Indonesia dan pada Sukuk Negara. Penempatan dana haji pada perbankan syariah memberikan dampak positif karena perbankan syariah memperoleh dana yang jumlah besar sehingga dapat mengembangkan fungsi intermediasinya terhadap sektor riil. Namun, dana haji yang sangat besar jumlahnya tersebut tidak dapat ditempatkan semuanya ke dalam perbankan syariah karena keterbatasan perbankan syariah mengelola dana tersebut. Sehingga alternatif lain yang paling baik adalah menempatkannya pada Sukuk Negara.
2. Penempatan pada Sukuk Infrastruktur
Penempatan dana haji pada Sukuk Negara bukan merupakan barang baru. Inisiasi penempatan dana haji pertama pertama kali dilakukan pada periode tahun 2009. Ketika itu Menteri Keuangan dan Menteri Agama melakukan penandatanganan kesepakatan (MoU) pada tanggal 22 April 2009. Isi dari MoU tersebut yaitu kesepakatan untuk penempatan dana haji dan dana abadi umat ke Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan cara private placement. Selanjutnya sukuk tersebut disebut sebagai Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI). Sampai dengan tanggal 12 Januari 2017 outstanding SDHI masih senilai Rp36,7 triliun. Jadi penempatan dana haji pada Sukuk Negara bukan merupakan hal yang baru, tetapi sudah dilakukan sejak tahun 2010. Penempatan dana haji pada Sukuk Negara sebenarnya membantu Kementerian Agama dalam memberikan alternatif investasi yang aman dan menguntungkan. Selain itu juga membantu dalam transparansi penempatan dana haji yang selama ini sering mendapat sorotan masyarkat.
Beberapa tahun terakhir, Kementerian Keuangan tengah menggalakkan pembiayaan infrastruktur melalui penerbitan Sukuk Negara berbasis pembiayaan proyek (Project Based Sukuk atau PBS). Salah satu kementerian yang cukup banyak memperoleh pembiayaan dari Sukuk PBS adalah Kementerian Agama, terutama untuk pembangunan gedung baru (gedung UIN atau IAIN dan gedung KUA yang jumlahnya ratusan). Sehingga masyarakat menghubungkan praktik penempatan dana haji pada SDHI selama ini dengan pembiayaan proyek-proyek Kementerian Agama. Sebenarnya pemanfaatan proceeds penerbitan SBSN SDHI maupun SBSN PBS bukan merupakan wilayah dari Kementerian Agama, sehingga tidak dapat secara otomatis dana haji dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur Kementerian Agama. Penentuan penggunaan proceeds adalah kewenangan Kementerian Keuangan sebagaimana tersebut dalam UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam aturan ini dijelaskan bahwa pemanfaatan dana hasil penerbitan SBSN (proceeds) dapat digunakan untuk pembiayaan umum APBN dan pembangunan proyek-proyek Pemerintah. Jadi apabila dana haji ditempatkan dalam SBSN, maka penentuan penggunaannya ada pada Kementerian Keuangan dan tidak dapat diarahkan langsung ke proyek infrastruktur Kementerian Agama. Apabila Kementerian Agama menginginkan proyek infrastrukturnya dibiayai dengan penerbitan SBSN, maka pengusulannya harus sesuai dengan mekanisme APBN yang telah ada termasuk harus melalui Bappenas.
Penempatan dana haji ke dalam SBSN sebenarnya lebih didasarkan pada keamanan dalam berinvestasi dan keuntungan berupa imbalan dari SBSN. Selama ini dengan menggunakan SDHI yang bersifat private placement (penempatan sendiri) memberikan keuntungan bagi Kementerian Agama dalam menentukan tenor SDHI yang disesuaikan dengan rencana pemanfaatan dana tersebut. Namun SDHI merupakan instrumen non-tradeable (tidak dapat diperdagangkan) sehingga tidak bisa di-redeem setiap saat.  Sebenarnya Kementerian Agama dapat pula menempatkan dana haji ke Sukuk Negara seri PBS yang bersifat tradeable (dapat diperdagangkan). Dengan memegang instrumen yang tradeable maka kelak pengelola keuangan haji dapat lebih leluasa dalam mengatur likuiditasnya karena bisa di-redeem setiap saat melalui pasar sekunder.
Kredo Pemerintah dalam memperbanyak pembangunan infrastruktur memang memerlukan dana yang sangat besar. Saat ini sudah banyak pihak yang diminta untuk ikut andil didalamnya, baik BUMN maupun BUMS. Dana haji yang jumlahnya sangat besar tersebut memang sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam mendukung pembangunan infrastruktur melalui mekanisme penempatan dana yang telah ada. Dana haji sebenarnya menyimpan multiplier effects yang sangat banyak. Disatu sisi, ketika dana tersebut ditempatkan dalam Sukuk PBS maka akan membantu pembangunan infrastruktur yang mampu menggulirkan pertumbuhan ekonomi dengan banyaknya lapangan kerja baru yang dibuka dan masyarakat yang dibuat sejahtera. Di sisi lain, penempatan pada Sukuk Negara juga memberikan imbalan yang cukup kompetitif. Hasil imbalan ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas layanan haji sehingga masyarakat Indonesia lebih nyaman dan aman dalam menjalankan ibadah haji. Apabila kebaikan-kebaikan ini disampaikan kepada masyarakat pemilik dana haji, diyakini masyarakat ikhlas terhadap penempatan dana haji yang transparan dan dapat mengundang keberkahan dari Allah SWT bagi bangsa.
=================
Oleh: Eri Hariyanto, pegawai DJPPR Kementerian Keuangan*) , *)Tulisan adalah pendapat pribadi dan bukan kebijakan dari instansi dimana penulis bekerja

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah?

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah? By  Nizar Alshubaily Editor: Ust Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Recent debates in social media still point to a level of unease about what constitutes currency in Shariah and doubts remain about paper money.  Some claim that paper money is Haram, and insist that only gold and silver are legitimate currencies. Others demand that paper money must be backed by gold and silver. Some see paper money as a product of the interest-bearing international banking system, and therefore non-Shariah compliant.  Some of the statements made concerning currencies in Shariah claim that Fiat currencies are Haram since they are based on debt and interest, while other statements claim that Shariah requires a currency to have intrinsic value. Yet others believe gold and silver are Sunnah, specifically Sunnah Taqririya, one of the three types of Sunnah, more related to tacit approval.  Nothing could be further from the truth....