Skip to main content

Implementasi Maqashid al-Syari'ah Pada Ekonomi dan Keuangan

Implementasi Maqashid al-Syari'ah Pada Ekonomi dan Keuangan


Islam adalah agama yang syarat dengan karakter kedamaian, perlindungan, keamanan, kesucian, dan kesejahteraan lahir maupun batin. Hal ini dikarenakan, Islam dinuzulkan Allah Swt untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan tersebut, hingga pada akhirnya ia menjadirahmatan li al-'alamin (rahmat bagi seluruh alam). Dalam kitab suci Al-Qur’an Allah Swt menegaskan bahwa Muhammad adalah delegasi-Nya, yang dihadirkan Allah Swt dengan tugas utamanya adalah menebar rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam beserta isinya secara merata, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Sentuhan kedamaian dengan berorientasi kesejahteraan lahir dan batin yang diajarkan Muhammad Saw. kepada kaum Muslimin, adalah esensi dari risalahnya. Orientasi Nubuwwah (kenabian) tersebut, amat sangat beririsan dengan maqashid al-Syari'ah (tujuan-tujuan hukum Islam) itu sendiri. Para fuqaha (ahli fiqih) mengklasifikasi maqashid al-Syari'ah menjadi lima bagian penting, yaitu: hifdz al-din (perlindungan agama), hifdz al-nafs (perlindungan jiwa), hifdz al-'aql (perlindungan akal), hifdz al-nasl (perlindungan keturunan/keluarga), dan hifdz al-maal (perlindungan kepemilikan harta).
Pertama, hifdz al-din (perlindungan agama Islam); tujuan ini merupakan dasar transendental dari din al-Islam. Agama Islam yang berarti agama yang penuh dengan kedamaian, keamanan tersebut semata-mata untuk kepentingan manusia, agar ia dapat menjalani hidup dan kehidupannya dengan benar. Seluruh potensi manusia diarhkan kepada kebenaran, kebenaran yang berasal dari ajaran Islam. Dengan demikian, kesucian agama (Islam) harus dijaga dari penghinaan, pelecehan, dan keburukan lainnya.
Kedua,hifdz al-nafs (perlindungan jiwa); jiwa yang di dalamnya terdapat ruh sebagai amanah dari Allah Swt, merupakan kendali yang sesungguhnya dari seluruh pergerakan lahir dan batin manusia. Hal itulah yang menjadi alasan betapa penting dan mendesaknya menjaga jiwa tetap sehat, suci dan fungsional dengan baik.
Ketiga,hifdz al-'aql (perlindungan akal); koridor ini merupakan garis utama kedua yang berfungsi sebagai leading (pengemuka), dan selalu terlibat dalam berbagai pengambilan keputusan. Secara manusia, keterlibatan akal dalam segala hal cukup dominan, sehingga akal ini berpotensi tetap, tidak mudah untuk berubah. Dengan kata lain, jika menurut akal baik dan benar, maka sebuah amal atau pekerjaan itu baik dan benar dan mestilah dilakukan atau ditinggalkan. Oleh karena itu akal membutuhkan pendamping, yaitu wahyu (agama), agar keputusan logis dan rasionalnya itu senafas dengan jiwa agama (Islam).
Keempat, hifdz al-'nasl (perlindungan katurunan/keluarga); Keturunan adalah karunia yang teramat mulia dan indah sebagai amanat dari Allah Swt. Keturunan yang baik akan terlahir dari keturunan yang baik pula. Dengan begitu agar keturunan dan keluarga tetap baik, maka pastikan kehadiran keturunan dengan cara-cara yang baik dan benar menurut ajaran Islam. Tidak dibenarkan mengkondisikan keturunan dengan cara yang abnormal, keluar dari koridor wahyu ilahiyah.
Kelima, hifdz al-maal (perlindungan kepemilikan harta); Harta adalah alat dan perlengkapan serta atribut manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai ridha Allah swt. Sebab itulah harta sejatinya didapat dengan syari'at dan cara yang halal, baik dan benar. Melindungi harta benda dari najis dan ribawi adalah niscaya, agar pengabdian manusia kepada Tuhannya yang dilakukan dengan harta dan benda diterima.
Kelima perlindungan tersebut di atas, sesungguhnya adalah hak asasi manusia. Betapa Islam menghargai dan menghormati eksistensi manusia, agar ia tetap pada posisi yang baik bahkan sangat baik. Posisi tersebut dapat dicapai hanya dengan implementasi maqashid al-Syari'ah dalam seluruh bentuk dan wujud kehidupan manusia, termasuk di dalamnya adalah ekonomi dan keuangan.
Tata kelola ekonomi dan keuangan niscaya dikerjakan dengan penuh keihklasan, semata-mata karena Allah Swt. Setiap amal dan pekerjaan yang dilakukan semata karena Allah Swt., akan berimplikasi kepada keikhlasan, dan keikhlasan akan melahirkan kekhusyuan, lalu muncul kenyamanan dan kedamaian.
Dalam ikhtiar pengembangan ekonomi dan keuangan pun haruslah dilakukan dalam situasi yang nyaman dan damai sebagai bagian akhir dari maqashid al-syari'ah. Berikut ini adalah beberapa indikator tata kelola ekonomi dan keuangan yang senapas dengan maqashid al-syari'ah:
1. Setiap amal diawali dengan mengucapkan kalimat "bismillahirrahmanirrahiim",
2. Senantiasa memastikan keamanan kerja di lingkungan sekitar dari hal-hal yang mengganggu atau membahayakan jiwa,
3. Selalu mengerjakan pekerjaan yang logis dan masuk akal, sehingga dalam pelaksanaannya benar-benar penuh dengan keyakinan dan kepercayaan diri,
4. Keluarga senantiasa diposisikan sebagai motivasi dan dorongan lahiriyah maupun batiniyah dalam seluruh pekerjaan.
5. Harta yang didapat senantiasa ditasyarufkan pada yang seharusnya dan sebaiknya.
Bagaimana tata kelola ekonomi dan keuangan tidak kontra produktif dengan maqashid al-syari'ah?
Model penataannya haruslah dilakukan secara tertib, artinya mendahulukan pekerjaan/pelayanan yang seharusnya dipenuhi di awal, dan mengahirkan pekerjaan/pelayanan yang seharusnya di akhir. Konsep penataan yang ditawarkan Islam adalah ketertiban/keteraturan/kerapihan/keindahan/ketepatan tanpa mengenyampingkan prinsip-prinsif dari tujuan hukum Islam.
Selanjutnya kelola; kelola ini menyangkut manajerial yang dikemas dalam pola-pola profesional dan proporsional, dan manajerial terkait dengan sumber daya manusia, SDM pun terhubung dengan komitmen teologis (aqidah islamiyah). Inilah yang yang disebut dengan istiqamah. Seseorang yang komitmen dan konsen dalam kekuatan istiqamah ini, akan mendapat jaminan kesejahteraan dan kenyamanan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Maqashid al-Syari'ah sebagai tujuan sekaligus rambu-rambu, juklak dan juknis implementasi ekonomi dan keuangan yang diridhai-Nya. Sehebat dan sebesar apapun konsep dan strategi pengelolaan ekonomi dan keuangan, tatkala tidak dimbangi dan tanpa pengawalan teologis (al-diin al-Islam), maka berkah dan al-fallah yang sejatinya tercapai, akan menjauh. Yang datang adalah mafsadat dan masyaqat, baik secara individual maupun interpersonal, bahkan institusional dalam sekala nasional dan intertnasional.
Bersyukur umat Islam sudah memiliki payung hukum syari'ah dan penegak hukum ekonomi syari'ah. untuk kepentingan itu, sinergisitas dan harmoni serta tanggunggungjawab vertikal dan horizontal para pengawas syari'ah, dewan syari'ah nasional, majelis ulama indonesia adalah niscaya, demi tumbuhkembang dan pencapaian peradaban ekonomi syari'ah yang lebih baik, benar dan indah. Mafhum mukhalafahnya adalah ketika tiga otoritas tersebut tidak kompeten, dengan basik dan latar belakang yang kontraproduktif dengan syari'ah, maka peradaban ekonomi syari'ah selalu akan terhambat.Wallahu a'alam bi shawab.
Tulisan: mugni muhit

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah?

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah? By  Nizar Alshubaily Editor: Ust Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Recent debates in social media still point to a level of unease about what constitutes currency in Shariah and doubts remain about paper money.  Some claim that paper money is Haram, and insist that only gold and silver are legitimate currencies. Others demand that paper money must be backed by gold and silver. Some see paper money as a product of the interest-bearing international banking system, and therefore non-Shariah compliant.  Some of the statements made concerning currencies in Shariah claim that Fiat currencies are Haram since they are based on debt and interest, while other statements claim that Shariah requires a currency to have intrinsic value. Yet others believe gold and silver are Sunnah, specifically Sunnah Taqririya, one of the three types of Sunnah, more related to tacit approval.  Nothing could be further from the truth....