IJARAH
(SEWA MENYEWA)
Oleh:
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Ijarah
secara bahasa berarti al-itsaabah (pengupahan), dikatakan aajartuhu dengan
mad (panjang) dan tanpa mad artinya atsabtuhu (aku mengupahnya). Secara istilah
yaitu pemilikan manfaat seseorang dengan imbalan. Allah
Ta’ala berfirman:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“…Dan
jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin…” [Ath-Talak: 6]. Allah Ta’ala juga
berfirman:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ
اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai bapakku, ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat serta dapat
dipercaya.” [Al-Qashash:
26]
Dan
juga Allah berfirman:
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا
يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ
أَجْرًا
“…
Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh,
maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya
kamu mengambil upah untuk itu.” [Al-Kahfi: 77]
Dari
‘Aisyah Radhiyallahu anhua (ia berkata),
وَاسْتَأْجَرَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلاً مِنْ بَنِي الدَّيْلِ
ثُمَّ مِنْ بَنِي عَبْدِ بْنِ عَدِيٍّ هَادِيًا خِرِّيْتًا الْخِرِّيْتُ
الْمَاهِرُ بِالْهِدَايَةِ.
“Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta Abu Bakar menyewa (mengupah) seorang
penunjuk jalan yang mahir dari Bani ad-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi.” [1]
Apa
Saja Yang Boleh Disewakan? Segala sesuatu yang memungkinkan untuk diambil
manfaatnya bersama utuhnya barang tersebut, maka sah untuk disewakan selama
tidak ada larangan syar’i yang menghalanginya. Dan disyaratkan hendaklah barang
yang disewakan jelas dan upahnya jelas, demikian pula lama (waktu) penyewaan
dan jenis pekerjaannya. Allah Ta’ala berfirman menghikayatkan tentang sahabat
Musa bahwa ia berkata:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ
أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ
“Sesungguhnya
aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu…” [Al-Qa-shash: 27]
Dari
Hanzhalah bin Qais ia berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij
tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak? Ia menjawab, “Tidak mengapa
dengannya, hanyalah orang-orang di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyewakan dengan imbalan (apa yang tumbuh) di tepian-tepian sungai dan
sumber-sumber air serta sesuatu dari pertanian, maka yang sisi (petak) ini
hancur dan petak yang lainnya selamat, dan petak yang ini selamat petak yang
lain hancur. Dan orang-orang tidak menyewakan tanah kecuali dengan cara ini,
oleh karena itulah dilarang. Adapun sesuatu yang jelas dan dijamin, maka tidak
mengapa dengannya.” [2]
Dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَعْطُوا اْلأَجِيْرَ
أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.
“Berilah
upah kepada para pekerja sebelum mengering keringatnya.’” [3]
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman.
ثَلاَثَةٌ أَنَا
خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ
ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُوفِهِ
أَجْرَهُ.
“Tiga
orang yang Aku akan menjadi musuhnya pada hari Kiamat; (1) seseorang yang
memberikan janji kepada-Ku lalu ia mengkhianati, (2) seseorang yang menjual
orang merdeka lalu memakan hartanya, dan (3) seseorang yang menyewa pekerja
lalu ia menunaikan kewajibannya (namun) ia tidak diberi upahnya.’” [4]
Allah
Ta’ala berfirman:
وَلَا تُكْرِهُوا
فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوا عَرَضَ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَن يُكْرِههُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِن بَعْدِ
إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“…
Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa
(itu).” [An-Nuur:
33]
Dari
Jabir (ia berkata) bahwa ‘Abdullah bin Ubay bin Salul memiliki seorang budak
wanita yang bernama Masikah dan seorang budak lain yang bernama Amimah.
‘Abdullah menyewakan keduanya untuk berzina, maka kedua budak tersebut mengadu
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hal tersebut, lalu Allah
menurunkan ayat
وَلَا تُكْرِهُوا
فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوا عَرَضَ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَن يُكْرِههُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِن بَعْدِ
إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“…
Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa
(itu).” [An-Nuur:
33] [5]
Dari
Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ
الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ.
“Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengambil uang (hasil)
penjualan anjing, upah pelacuran dan upah perdukunan.” [6]
Dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ.
“Bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ‘asbul fahl (yaitu mengambil upah
dari menyewakan pejantan binatang untuk mengawini).” [7]
Dari
‘Abdurrahman bin Syabl al-Anshari, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِقْرَءُوا الْقُرْآنَ
وَلاَ تَأْكُلُوا بِهِ وَلاَ تَسْتَكْثِرُوا بِهِ وَلاَ تَجْفُوا عَنْهُ وَلاَ
تَغْلُوْا فِيْهِ.
“Bacalah
al-Qur”an dan janganlah kalian mencari makan dengannya, janganlah kalian
memperbanyak harta dengannya, janganlah kalian menjauh darinya dan janganlah
kalian berkhianat padanya.’” [8]
Dari
Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar menemui kami saat kami sedang membaca al-Qur-an dan di
antara kami ada orang Badui dan orang ‘Ajam (non Arab), maka beliau bersabda:
اِقْرَءُوا فَكُلٌّ حَسَنٌ
وَسَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يُقِيمُونَهُ كَمَا يُقَامُ الْقِدْحُ يَتَعَجَّلُونَهُ وَلاَ
يَتَأَجَّلُوْنَهُ.
“Bacalah,
(karena) semuanya adalah baik, dan akan datang kaum-kaum yang meluruskan
al-Qur-an sebagaimana diluruskannya anak panah, mereka tergesa-gesa (ingin
mendapatkan ganjaran dunia) dan tidak mau menunda (untuk mendapatkan ganjaran
akhirat).’” [9]
Dari
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ
وَسَلُوْا بِهِ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَنْ يَتَعَلَّمَهُ قَوْمٌ يَسْأَلُوْنَ بِهِ
الدُّنْيَا فَإِنَّ الْقُرْآنَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلاَثَةٌ: رَجُلٌ يُبَاهِي بِهِ،
وَرَجُلٌ يَسْتَأْكُلُ بِهِ وَرَجُلٌ يَقْرَأُهُ ِللهِ.
“Belajarlah
al-Qur-an, serta mohonlah Surga kepada Allah dengannya sebelum ada kaum yang
mempelajarinya untuk mencari dunia dengannya, maka sesungguhnya al-Qur-an itu
dipelajari oleh tiga (jenis orang); (1) seseorang yang pamer dengannya, (2)
seseorang yang mencari makan dengannya, dan (3) seseorang yang membacanya
karena Allah.” [10]
[Disalin
dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul
Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama
Ramadhan 1428 – September 2007M]
____________
Footnote
[1]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1489)], Shahiih al-Bukhari (IV/442, no. 2263)
[2]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1498)] telah disebutkan takhrijnya.
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1980)], Sunan Ibni Majah (II/817, no. 2443)
[4]. Hasan: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1489)], Shahiih al-Bukhari (IV/417, no. 2227)
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 2155)], Shahiih Muslim (IV/3220, 3029 (27)).
[6]. Telah disebutkan takhrijnya.
[7]. Telah disebutkan takhrijnya.
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1168)], Ahmad (Fat-hur Rabbaani, XV/125, no. 398).
[9]. Shahih: [Ash-Shahiihah (no. 259)], Sunan Abi Dawud (III/58, no. 815) dan makna sabdanya, “Dan akan datang kaum-kaum yang meluruskan al-Qur-an.” Maksudnya, membenarkan lafazh-lafazhnya dan kalimat-kalimatnya dan terlalu berlebih-lebihan dalam memperhatikan makhraj-makhrajnya dan sifat-sifatnya. “Sebagaimana diluruskannya anak panah,” yaitu sangat berlebih-lebihan dalam membaca karena riya’, sum’ah, pamer dan syuhrah (bangga). “Mereka tergesa-gesa,” yaitu (mempercepat) ganjarannya di dunia. “Dan tidak mau menunda,” yaitu dengan memohon pahala akhirat bahkan mereka mengutamakan (mendahulukan) dunia atas akhirat, dan mereka me-makannya serta tidak bertawakkal, (selesai). Diambil dari ‘Aunul Ma’buud (III/59).
[10]. Shahih: [Ash-Shahiihah (no. 463)], diriwayatkan oleh Ibnu Nashr dalam Qi-yaamul Lail, hal. 74.
Footnote
[1]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1489)], Shahiih al-Bukhari (IV/442, no. 2263)
[2]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1498)] telah disebutkan takhrijnya.
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1980)], Sunan Ibni Majah (II/817, no. 2443)
[4]. Hasan: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1489)], Shahiih al-Bukhari (IV/417, no. 2227)
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 2155)], Shahiih Muslim (IV/3220, 3029 (27)).
[6]. Telah disebutkan takhrijnya.
[7]. Telah disebutkan takhrijnya.
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1168)], Ahmad (Fat-hur Rabbaani, XV/125, no. 398).
[9]. Shahih: [Ash-Shahiihah (no. 259)], Sunan Abi Dawud (III/58, no. 815) dan makna sabdanya, “Dan akan datang kaum-kaum yang meluruskan al-Qur-an.” Maksudnya, membenarkan lafazh-lafazhnya dan kalimat-kalimatnya dan terlalu berlebih-lebihan dalam memperhatikan makhraj-makhrajnya dan sifat-sifatnya. “Sebagaimana diluruskannya anak panah,” yaitu sangat berlebih-lebihan dalam membaca karena riya’, sum’ah, pamer dan syuhrah (bangga). “Mereka tergesa-gesa,” yaitu (mempercepat) ganjarannya di dunia. “Dan tidak mau menunda,” yaitu dengan memohon pahala akhirat bahkan mereka mengutamakan (mendahulukan) dunia atas akhirat, dan mereka me-makannya serta tidak bertawakkal, (selesai). Diambil dari ‘Aunul Ma’buud (III/59).
[10]. Shahih: [Ash-Shahiihah (no. 463)], diriwayatkan oleh Ibnu Nashr dalam Qi-yaamul Lail, hal. 74.
Comments
Post a Comment