Skip to main content

Hukum Koperasi Simpan Pinjam Yang Menerapkan Bunga Pada Pembayaran

Hukum Koperasi Simpan Pinjam Yang Menerapkan Bunga
Pertanyaan:
1. Assalamu ‘alaikum. Sekarang ini, banyak sekali “koperasi simpan pinjam” atau pegadaian yang menerapkan bunga pada pembayarannya. Yang mau saya tanyakan, apakah hasil dari itu halal? Seumpama haram/dilarang oleh agama, bagaimana cara mensucikan harta hasil dari transaksi tersebut? 
2. Ustadz, ada seorang ustadz di sini yang bilang bahwa koperasi simpan-pinjam itu boleh. Katanya, ada fatwa ulama (saya belum tanya siapa ulamanya) yang berfatwa: ada wajib zakat dan ada wajib infak. Jika ada suatu badan usaha, seperti koperasi, yang anggotanya meminjam uang maka dia wajib infak 2,5 persen, dan itu bukan termasuk riba. Di tempat saya, banyak yang ikut koperasi simpan-pinjam karena ucapan Ustadz tersebut. Tapi, saya tetap berkeyakinan bahwa itu adalah riba. Bagaimana tentang hal tersebut?

Jawaban: Wa’alaikumussalam. Bismillah
1. Saudara … (Nama Dirahasiakan, Red), semoga Allah Ta’ala merahmati Saudara dan memberkati keluarga dan usaha Saudara. Simpan-pinjam yang banyak beredar di masyarakat, dalam syariat dikategorikan ke dalam akad utang-piutang. Dengan demikian, keuntungan atau pertambahan apa saja yang didapatkan oleh kreditur (pemberi piutang) adalah RIBA, sebagaimana yang ditegaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan adalah riba.”
Untuk membersihkannnya, Saudara cukup memungut pokok simpanan Saudara, tanpa ada lebih atau kurang sedikit pun. Hal ini berdasarkan ayat 279, surat Al-Baqarah (yang artinya), “BIla kalian telah bertobat maka pungutlah pokok harta piutangmu, sehingga kalian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi.” Adapun bila bunga telah terlanjur ditambahkan pada rekening atau tabungan Saudara, maka bunga tersebut dapat disalurkan pada kegiatan-kegiatan sosial, semisal disalurkan ke fakir miskin, yatim piatu yang membutuhkan, untuk pembangunan jalan, sekolah Islam, jembatan, atau fasilitas umum lainnya.
Namun, ingat: ketika menyalurkan dana tersebut hendaknya TIDAK DALAM RANGKA BERSEDEKAH, tetapi dalam rangka melepasakan diri dari/membuang harta haram, sehingga tidak ada niatan mengharapkan pahala dari penyaluran tersebut, selain pahala berlepas diri dari harta haram. 

2. Pertama: Kaidah baku dalam memahami riba adalah perkataan Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu, yang mengatakan,
كل قرض جر منفعة فهو ربا
“Setiap piutang yang memberikan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba.” Demikiaan juga keterangan Abdullah bin Sallam. Beliau mengatakan, “Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi itu memberikan fasilitas layanan membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari). Berdasarkan keterangan di atas maka apa pun bentuk kelebihan yang diberikan oleh orang yang berutang karena konsekuensi utangnya maka statusnya adalah riba, baik yang menerima itu adalah pihak perorangan atau organisasi, semacam koperasi.
Yang kami maksud dengan “konsekuensi utang” adalah semua sebab yang mengakibatkan kreditor memberikan kelebihan–apa pun bentuknya–kepada debitor, baik disepakati di awal atau hanya sebatas karena perasaan “tidak enak” kepada yang mengutangi. Artinya, andai bukan karena adanya utang tersebut, dia tidak akan memberikan apa pun kepada debitor.
Kedua: Kewajiban harta yang Allah bebankan kepada hamba-Nya hanya satu: Zakat.
Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk mendakwahi ahli kitab, beliau berpesan untuk mengajarkan semua syarat sehingga seseorang bisa disebut muslim. Salah satunya: “… Sesungguhnya, Allah MEWAJIBKAN ZAKAT terhadap harta mereka ….” (HR. Bukhari, Abu Daud, Turmudzi, dan lain-lain).
Andaikan ada kewajiban harta yang lainnya dalam Islam, tentu akan dipesankan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz. Karena itu, tidak ada yang namanya “kewajiban infak” 2,5%. Jika itu ditetapkan maka itu bukan kewajiban syariat, tetapi kewajiban iuran bagi setiap anggota koperasi yang meminjam uang. Jika demikian, berarti kewajiban infak yang dibebankan kepada peminjam, pada hakikatnya, adalah riba.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ust. Ammi Nur Baits, (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

( Sumber:  https://konsultasisyariah.com/5068-bagaimana-cara-menyucikan-harta.html dan https://konsultasisyariah.com/4603-hukum-koperasi-simpan-pinjam.html )

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah?

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah? By  Nizar Alshubaily Editor: Ust Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Recent debates in social media still point to a level of unease about what constitutes currency in Shariah and doubts remain about paper money.  Some claim that paper money is Haram, and insist that only gold and silver are legitimate currencies. Others demand that paper money must be backed by gold and silver. Some see paper money as a product of the interest-bearing international banking system, and therefore non-Shariah compliant.  Some of the statements made concerning currencies in Shariah claim that Fiat currencies are Haram since they are based on debt and interest, while other statements claim that Shariah requires a currency to have intrinsic value. Yet others believe gold and silver are Sunnah, specifically Sunnah Taqririya, one of the three types of Sunnah, more related to tacit approval.  Nothing could be further from the truth....