Skip to main content

Geliat Rumah Sakit Syariah di Indonesia

Geliat Rumah Sakit Syariah di Indonesia

SEMANGAT untuk hidup di bawah payung dan lindungan Allah SWT dengan mengikuti semua contoh dari Rasul SAW makin meningkat di masyarakat. Semangat ini ringkasnya dikatakan sebagai syariah. Hal ini tercermin dari meningkatnya berbagai pertemuan bertajuk ekonomi syariah, pariwisata dan hotel syariah dan lain-lain.
Rumah sakit (RS) sebagai tempat merawat pasien juga tidak ketinggalan untuk mengikuti jalan syariah ini sebagai bagian dari jihad berkhidmat kepada umat. RS syariah bukan berarti rumah sakit tersebut diskiminatif dalam melayani pasien, atau hanya melayani pasien dan keluarga yang muslim saja tetapi RS Syariah terbuka untuk semua golongan dan agama. Di RS syariah ini pelayanan kepada umat lain sama baik dan berkualitasnya dengan pelayanan yang diberikan kepada umat Islam sebagaimana amanat Islam yang rahmatan lil alamin, berdiri disemua umat secara adil.
Hak-hak pasien yang non muslim di RS syariah termasuk menjalankan ibadahnya juga sangat diperhatikan. RS syariah juga bisa menjadi sarana dakwah untuk semua orang terutama umat Islam sendiri. Ada kisah-kisah menarik di sejumlah RS yang sudah berupaya mendapat sertifikat (terakreditasi) syariah dari DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI. Seperti sebuah RSU J Bogor, karena sudah mulai menerapkan dasar-dasar syariah maka semua kerja sama dengan dokter dan perawat disusun berdasarkan aturan Islam yang trasparan dan akuntabel sesuai syariah, dengan akad-akad kerja sama yang sudah diatur dalam perkara muamalah dalam Islam.
Tidak ada yang ditutupi dan disembunyikan. Pembagian jasa medis bisa dilihat dengan transparan. Ternyata hal ini justru menarik dokter-dokter non Muslim bergabung dengan RS ini, karena para dokter merasa nyaman dengan sistem ini yang tidak mereka dapatkan pada RS-RS lain. Adalagi RS Syariah lain di Bogor, yang kebetulan merawat pasien karena peyakitnya sudah berat sehingga berakhir dengan kematian. Keluarga ahli waris mayit merasa sangat puas dengan pelayanan RS dan ingin pihak RS menuntaskan pelayanan sampai dengan memandikan mayit tersebut, tentu saja akan dikerjakan secara Islami.
Adalagi cerita dari RS Syariah di Jogja, ada pasien yang mengalami komplikasi perdarahan pascaoperasi karena indikasi untuk dilakukan re-operasi (operasi kembali) tidak tegas, maka dokter bedahnya hanya menyarankan pasien untuk berdoa dan mengucapkan “Allah Allah”, sambil menunggu perkembangann esok harinya, ajaib, besoknya setelah dilakukan evaluasi ulang, perdarahan berhenti dan kondisi pasien membaik, dan lucunya setelah belakangan melihat rekam medis pasien barulah dokter sadar bahwa pasien yang dirawat dan disuruh mengucapkan kata “Allah” tersebut beragama hindu. Begitulah, jika Istiqomah melaksanakan sesuatu sesuai perintah Allaw SWT, mungkin akan banyak keajaiban-keajaiban yang segera ditampakkan di dunia.
Kenapa Rumah Sakit Syariah ?
Kenapa rumah sakit perlu berlabel dan mendapat sertifikat syariah, karena kita memerlukan suatu layanan islami yang terstandarisasi di RS. Sebagai contoh saat menginjeksi pasien, bisa jadi ada perawat yang mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiim dan ada yang tidak mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiim. Bila sudah dijadikan standar maka ini akan menjadi suatu keharusan di RS tersebut. Kenyatannya RS yang berlabel Islam bisa jadi tidak lebih islami dari RS yang tidak berlabel Islam. Dan pelaksanaan kehidupan di dunia termasuk merawat pasien sakit secara syariah seharusnya menjadi acuan setiap umat Islam sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS Al Jathriyah (45) ayat 18 yang artinya : “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

Dasar pemikiran dari rumah sakit syariah adalah Maqoshid al-Syariah al-Islamiyah (menurut Imam Satibi) yaitu memelihara agama (khifdz ad-diin), memelihara jiwa (khifdz an-nafs), memelihara keturunan (khifdz an-nasl), memelihara akal (khifdz al-aql) dan memelihara harta (khifdz al-mal)
Pasien-pasien yang datang di RS syariah sejak datang sampai pulang diharapkan benar-benar berada dalam payung syariah, sehingga sakit yang diderita akan benar-benar menjadi penghapusan dosa (al-hadist), bila pasien ditakdirkan sembuh dari sakit akan membawa keberkahan dan bertambah keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT, dan bila berakhir dengan kematian, maka akhir hidupnya dihantarkan dalam keadaan khusnul khotimah.
Proses Akreditasi Syariah
Rumah Sakit yang sudah terakreditasi dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang dalam menjalankan operasional RS (manajemen dan pelayanan) semua harus sesuai dengan standar-standar nasional yang telah ditetapkan oleh KARS. Ujungnya untuk peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Hasil capaian terhadap standar ini dinilai oleh KARS denan hasil bisa paripurna, madya atau pratama.

Rumah sakit syariah juga demikian dalam pelaksanaannaya harus berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI no 107/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip Syariah. Syarat utama RS untuk mendapatkan sertifikat syariah harus terlebih dahulu terakreditasi oleh KARS. Setelah itu baru bisa dinilai oleh MUI melalui MUKISI (Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia) untuk mendapatkan sertifikat syariah. Sehingga ada muncul anekdot kalau KARS bertujuan untuk mutu dan keselamatan pasien di dunia, sedangkan syariah bertujuan untuk mutu dan keselamatan pasien di dunia dan akhirat.
Fatwa DSN-MUI tentang pedoman pelaksanaan rumah sakit syariah kemudian memunculkan 13 standar RS syariah yang terdiri dari 173 elemen penilian RS syariah. Jauh lebih sedikit dari lebih dari seribu elemen penilaian yang disyaratkan oleh KARS untuk mencapai predikat RS terakreditasi.

RS Syariah memiliki 3 Indikator mutu wajib syariah yaitu; Pertama, pasien sakaratul maut terdampingi dengan Talqin. Kedua, mengingatkan waktu salat bagi pasien dan keluarga. Ketiga, pemasangan kateter sesuai gender (yang lelaki dipasang perawat lelaki demikian juga sebaliknya).
Juga memiliki 8 Indikator SPM (standar pelayanan minimal) syariah yaitu; Pertama, membaca Basmalah pada pemberian obat dan tindakan. Kedua, hijab untuk pasien. Ketiga, mandatory training untuk fikih pasien. Keempat, adanya edukasi islami (leaflet atau buku kerohanian). Kelimat, pemasangan EKG sesuai gender. Keenam, pemakaian hijab menyusui. Ketujuh, pemakaian hijab di kamar operasi. Kedelapan, penjadwalan operasi elekif (terencana) tidak terbentur waktu salat.
Sampai saat ini baru 10 buah rumah sakit seluruh Indonesia yang mengajukan sertifikat syariah dan 3 diantaranya sudah diterbitkan sertifikat syariah. Semuanya berada di pulau Jawa. Untuk di luar pulau Jawa nampaknya pemerintah Nangroe Aceh Darusalam bersemangat mendaftarkan rumah sakit pemerintahnya untuk dinilai kesesuaiannya dengan konsep syariah. Proses menuju rumah sakit syariah bisa jadi memerlukan perjuangan berat dan tidak mudah karena penilaian syariah tidak hanya berkaitan dengan pelayanan kepada pasien saja tetapi juga meliputi penyediaan obat dan makanan yang harus terjamin dan terjaga thoyiban dan kehalalannya yang dibuktikan dengan sertifikat dari LPPOM MUI.
Kerjasama-kerjasama RS dengan pihak ketiga juga harus sesuai dengan prinsip muamalah, tidak ada suap, tips, KKN dan lain-lain, apalagi wanprestasi (tidak sesuai janji) kedua belah pihak sangat tidak dibenarkan. Kerja sama RS dengan pihak asuransi dan pihak Bank benar-benar memerlukan upaya keras untuk memastikan kehalalannya.
(Sumber: http://www.ekonomisyariah.org/6767/geliat-rumah-sakit-syariah-di-indonesia/)

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Agriculture Finance for Rural Economy

Islamic Agricultural Finance is an Ideal  Product for the Development of Rural  Economy  The agriculture sector lacks financial resources, due to which small-scale farmers are facing a lot of problems, consequently affecting the agriculture and livestock sector. But in Muslim countries including Pakistan, the primary the reason behind the lack of financial inclusion in the agricultural sector is unavailability of such financial products that are in correlation with the religious and social belief of the Muslims and if we want to promote agriculture and livestock then we have to introduce such financial products which are in accordance with their religious beliefs, therefore, the use of Islamic Agriculture Finance is necessary for the development of the rural economy especially in Muslim majority countries. These thoughts were expressed by Mr. Muhammad Zubair Mughal, the Chief Executive Officer of Al Huda Center of Islamic Banking and Economics in a seminar in ...

The Usurers: How Medieval Europe circumvented the Church’s ban on Usury

The Usurers: How Medieval Europe Circumvented the Church’s Ban on Usury Some observers may see resemblances between the Medieval European methods of circumventing the Church’s ban on interest, and some financial structures utilized today by Islamic Banks. To be fair, while a very small number may be true, it’s certainly in my experience very limited and is not representative of Islamic banking institutions. Any resemblances are superficial but may seem to be the same for the observer with limited knowledge of Shariah rules. We must not however underestimate the will of people to circumvent the law for their personal profit. This is a common feature in humanity, regardless of the geography or religion. Christianity had a ban on interest, very similar to Shariah. It also had its share of those who played financial tricks to illegitimately profit from earning forbidden interest. Some observers belittle the role the prohibition of interest had in Europe, and may view i...

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah?

Paper Money: What Constitutes Currency in Shariah? By  Nizar Alshubaily Editor: Ust Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Recent debates in social media still point to a level of unease about what constitutes currency in Shariah and doubts remain about paper money.  Some claim that paper money is Haram, and insist that only gold and silver are legitimate currencies. Others demand that paper money must be backed by gold and silver. Some see paper money as a product of the interest-bearing international banking system, and therefore non-Shariah compliant.  Some of the statements made concerning currencies in Shariah claim that Fiat currencies are Haram since they are based on debt and interest, while other statements claim that Shariah requires a currency to have intrinsic value. Yet others believe gold and silver are Sunnah, specifically Sunnah Taqririya, one of the three types of Sunnah, more related to tacit approval.  Nothing could be further from the truth....