Fee Makelar
Bolehkah
makelar memakelarkan tugasnya ke orang lain? Bolehkah makelar dapat fee dari
penjual dan sekaligus pembeli?
Jawab:
Bismillah was
shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Pada dasarnya
posisi makelar adalah dari penjual atau pembeli. Dia bisa menjadi wakil penjual
ketika dia diminta penjual untuk memasarkan barangnya. Dan dia juga bisa
menjadi wakil pembeli ketika dia diminta pembeli untuk mencarikan barang untuk
dibeli. Dan dalam aturan wakalah, seorang wakil boleh mewakilkan kepada yang
lain dengan izin orang yang mewakilkan dengan sepakat ulama.
Ibnu Qudamah
mengatakan,
لا
يخلو التوكيل من ثلاثة أحوال
أحدها
: أن ينهي الموكل وكيله عن التوكيل فلا يجوز له ذلك بغير خلاف …
الثاني
: أذن له في التوكيل فيجوز له ذلك لأنه عقد اذن له فيه فكان له فعله كالتصرف
المأذون فيه ولا نعلم في هذين خلافا
"Kasus
mewakilkan orang lain ada 3 keadaan:
[1] Orang yang mewakilkan melarang si wakil
untuk mewakilkan ke orang lain. Maka wakil tidak boleh mewakilkan kepada
siapapun tanpa ada perbedaan pendapat…
[2] Orang yang
mewakilkan mengizinkan wakil untuk mewakilkan ke orang lain, maka dia boleh
mewakilkan ke orang lain. Karena ini adalah akad perizinan sehingga wakil
berhak melakukan sesuai izin. Dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat dalam masalah ini. (al-Mughni, 5/216).
Ketika makelar
menyerahkan tugas marketingnya ke orang lain, berarti dia mewakilkan tugasnya
ke orang lain. Dan wakil boleh mewakilkan ke orang lain selama dia mendapatkan
izin dari orang yang mewakilkan.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan,
إذا
كان التاجر الذي يسلم ماله إلى الدلال قد علم أنه يسلمه إلى غيره من الدلالين ورضي
بذلك لم يكن بذلك بأس بلا ريب ؛ فإن الدلال وكيل التاجر، والوكيل له أن يوكل غيره
كالموكل باتفاق العلماء. وإنما تنازعوا في جواز توكيله بلا إذن الموكل على قولين
مشهورين للعلماء
"Ketika seorang
penjual (pemilik barang) yang menyerahkan barang dagangannya ke makelar sudah
mengetahui bahwa makelar ini akan menyerahkannya ke para makelar yang lain, dan
penjual ini ridha, maka hukumnya tidak masalah. Karena makelar adalah wakil
dari pedagang, dan wakil berhak untuk menyerahkan tugasnya ke orang lain,
dengan sepakat ulama. Hanya saja mereka berbeda pendapat, bolehkah mewakilkan
ke orang lain tanpa izin dari orang yang mewakilkan pertama, ada dua pendapat
yang masyhur di kalangan ulama dalam hal ini." (Majmu’ al-Fatawa, 30/98).
Bagaimana cara
pembagian hasilnya?
Ketika makelar
bekerja sama dengan kawan-kawannya yang lain para RCTI (Rombongan Calo Tanah
Indonesia) untuk memasarkan sekian unit perumahan, maka pada hakekatnya mereka
melakukan syirkah abdan atau syirkah a’mal. Dan dalam syirkah abdan, semuanya
berkerja dengan porsi yang sama atau sesuai kesepakatan dan jika ada salah satu
yang berhasil maka keuntungan dibagi bersama sesuai kesepakatan.
Ibnu Mas’ud
menceritakan,
اشْتَرَكْتُ
أَنَا وَسَعْدٌ وَعَمَّارٌ يَوْمَ بَدْرٍ فِيمَا نُصِيبُ فَلَمْ أَجِئْ أَنَا
وَلاَ عَمَّارٌ بِشَىْءٍ وَجَاءَ سَعْدٌ بِرَجُلَيْنِ
“Saya, Saad bin
Abi Waqqash, dan Ammar bin Yasir berkongsi pada perang badar untuk mendapatkan
tawanan. Saya dan Ammar tidak memperoleh seorangpun. Sementara Sa’ad membawa
dua orang.” (HR. Nasai 3954, Abu Daud 3390, Ibnu Majah 2376, dan didhaifkan
al-Albani)
Syirkah yang
dilakukan Ibnu Mas’ud, Sa’d dan Ammar adalah syirkah dalam memperoleh tawanan.
Selanjutnya mereka akan membagi hasil rampasan pada tawanan itu. Mereka tidak
berkongsi dalam modal usaha, namun mereka kongsi dalam usaha. Dan ketika salah
satu mendapatkan hasil, maka hasilnya ini dibagi bersama sesuai kesepakatan.
Ibnu Qudamah
menjelaskan,
إن
عمل أحدهما دون صاحبه فالكسب بينهما. قال ابن عقيل: نص عليه أحمد في رواية إسحاق
بن هانئ. وقد سئل عن الرجلين يشتركان في عمل الأبدان فيأتي أحدهما بشيء ولا يأتي
الآخر بشيء؟ قال: نعم, هذا بمنزلة حديث سعد وابن مسعود. يعني حيث اشتركوا فجاء سعد
بأسيرين وأخفق الآخران
“Jika yang satu berhasil, yang satu gagal maka hasil dibagi
bersama. Ibnu Aqil mengatakan, ‘Ini ditegaskan oleh Imam Ahmad menurut riwayat
Ishaq bin Hani’.’ Imam Ahmad juga pernah ditanya tentang dua orang yang bekerja
sama dengan modal usaha, lalu yang satu menghasilkan dan yang satu tidak
menghasilkan?
“Boleh,
ini seperti yang disebutkan dalam hadis Sa’d dan Ibnu Mas’ud.” Yang beliau
maksud adalah kejadian ketika 3 sahabat bekerja sama, lalu Sa’ad bisa menangkap
2 tawanan, sementara Ibnu Mas’ud dan Ammar tidak mendapat apapun. (al-Mughni,
5/114)
Kesimpulannya
bahwa makelar boleh memakelarkan ke orang lain selama mendapatkan izin dari
pemilik. Dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan.
Bolehkah
makelar dapat fee dari penjual dan sekaligus pembeli?
Upah makelar
atau perantara boleh dari penjual, boleh juga dari pembeli, tergantung aturan
yang berlaku di masyarakat. Jika dia diminta penjual untuk memasarkan barang,
maka pada asalnya beban biaya makelar menjadi tanggung jawab penjual.
Sebaliknya, ketika pembeli yang meminta untuk dicarikan tanah ke makelar, maka
biaya makelar ditanggung pembeli.
Dr. Abdurrahman
bin Soleh al-Athram – dalam disertasi beliau tentang perantara dalam bisnis –
yang berjudul: al-Wasathah at-Tijariyah fi al-Mu’amalat al-Maliyah –
menyatakan,
فإذا
لم يكن شرط ولا عرف ، فالظاهر أن يقال : إن الأجرة على من وسّطه منهما ، فلو وسطه
البائع في البيع كانت الأجرة عليه ، ولو وسطه المشتري لزمته الأجرة ، فإن وسطاه
كانت بينهما
“Jika tidak ada
kesepakatan atau aturan yang berlaku di masyarakat maka yang lebih tepat, upah
makelar menjadi tanggung jawab orang yang menyuruhnya. Jika dia menjadi
pemasaran bagi penjual untuk menjual barang maka upah makelar menjadi beban
baginya. Dan jika dia menjadi wakil dari pembeli, maka kewajibannya untuk
memberikan fee. Jika dia menjadi wakil keduanya, maka upah bisa dari keduanya.” (al-Wasathah
at-Tijariyah, hlm. 382)
Sementara itu,
menurut Syafi’iyah, semua upah marketing dan makelaran adalah tanggung jawab
penjual. Karena 2 alasan:
[1] Yang
mendapatkan manfaat dari adanya pemasaran dan makelar adalah penjual. Sehingga
barangnya lebih cepat laku.
[2] Ketika
pembeli telah membeli barang dengan harga sekian, berarti sudah termasuk di
dalamnya adalah semua beban biaya yang dikeluarkan untuk objek itu. Misalnya,
ketika pembeli telah sepakat dengan harga 1jt/m, berarti harga ini sudah
termasuk semua biaya yang dibutuhkan untuk objek itu.
Dalam Hasyiyah
al-Jamal – literatur Syafiiyah – dinyatakan,
الدلالة
على البائع فلو شرطها على المشتري فسد العقد ومن ذلك قوله بعتك بعشرة مثلا سالما
فيقول اشتريت لأن معنى قوله سالما أن الدلالة عليك فيكون العقد فاسدا
Biaya makelar
menjadi tanggung jawab penjual. Jika disyaratkan, biaya makelar harus
ditanggung pembeli, maka akad batal. Misalnya, ada orang menyatakan, ‘Saya jual
beli dengan harga 10 dirham net.’ Lalu pembeli mengatakan, ‘Baik saya beli.’
maka makna ‘net’ menunjukkan bahwa makelaran menjadi tanggung jawabmu. Karena
itu, jika dibebankan ke pembeli, akad menjadi batal. (Hasyiyah al-Jamal,
5/781).
Namun pendapat
yang lebih tepat bahwa upah makelar bisa saja dibebankan ke penjual ataupun
pembeli, tergantung kesepakatan atau aturan yang berlaku di masyarakat.
Karena yang
mendapat manfaat dari makelar tidak hanya penjual, namun pembeli juga bisa
mendapatkannya. Dan terkadang ada biaya tambahan yang perlu dibebankan ke
pembeli di luar harga objek. Selama pembeli ridha, ini dibolehkan.
Ada pertanyaan
yang diajukan ke Lajnah Daimah mengenai aturan nilai fee untuk para makelar.
Jawaban Lajnah Daimah,
إذا
حصل اتفاق بين الدلال والبائع والمشتري على أن يأخذ من المشتري أو من البائع أو
منهما معا سعيا معلوما جاز ذلك، ولا تحديد للسعي بنسبة معينة ، بل ما حصل عليه
الاتفاق والتراضي ممن يدفع السعي جاز
Jika ada
kesepakatan antara makelar dengan penjual dan pembeli bahwa biaya makelar akan
dibebankan kepada pembeli atau penjual atau beban bersama, dengan nilai yang
diketahui, hukumnya dibolehkan.
Dan tidak ada
batasan untuk upah dengan angka tertentu. Namun boleh sesuai kesepakatan dan
saling ridha dari semua pihak ketika menyerahkan upah.
Kemudian Lajnah
Daimah menganjurkan agar disesuaikan dengan kondisi pasar dan mengedepankan
prinsip tidak memberatkan penjual maupun konsumen.
لكن
ينبغي أن يكون في حدود ما جرت به العادة بين الناس ، مما يحصل به نفع الدلال في
مقابل ما بذله من وساطة وجهد لإتمام البيع بين البائع والمشتري، ولا يكون فيه ضرر
على البائع أو المشتري بزيادته فوق المعتاد
"Hanya saja,
selayaknya upah disesuaikan dengan batasan (pasaran) yang berlaku di
masyarakat, dimana makelar bisa mendapatkan ganti manfaat atas upayanya menjadi
perantara dan usahanya dalam memfasilitasi transaksi antara penjual dan
pembeli, dan tidak memberatkan penjual maupun pembeli, karena adanya penambahan
harga melebihi biasanya". (Fatwa Lajnah Daimah, 13/129).
Demikian, Allahu
a’lam.
Comments
Post a Comment